Kamis, 13 Desember 2012

Penghalang Utama Bisnis


Penghalang Utama Bisnis
Nugroho SBM  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, serta Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip Semarang
SUARA MERDEKA, 11 Desember 2012


MENJELANG peringatan Hari Antiko-rupsi Sedunia tiap tanggal 9 Desember, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi ”hadiah istimewa” berupa penetapan status tersangka dan pencekalan Menpora Andi Alifian Mallarangeng terkait dengan kasus korupsi pada pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang Sentul Kabupaten Bogor Jabar. Ini untuk kali pertama KPK mengenakan status tersebut terhadap menteri yang masih aktif.

Sebelumnya, komisi antikorupsi itu menahan perwira tinggi Polri yang juga masih aktif, Irjen Djoko Susilo, terkait kasus korupsi pengadaan simulator kemudi roda dua dan empat di Korlantas Mabes Polri. Banyak pihak memuji langkah berani itu mengingat selama ini sebagian kalangan meragukannya.

Penetapan Andi sebagai tersangka juga menambah deret panjang aparatur pemerintah yang terjerat kasus korupsi. Tak salah bila World Economic Forum  (WEF) dalam publikasi terbaru tahun 2012 masih menempatkan korupsi sebagai hambatan utama menjalankan bisnis di Indonesia.

Korupsi merupakan penghalang utama bisnis. Pertama; korupsi memperbesar biaya karena perusahaan harus mengeluarkan biaya tidak resmi dan tambahan. Penelitian Mudrajad Kuncoro (2004) pada industri berorientasi ekspor yang padat karya di 10 kabupaten/ kota di Indonesia menyimpulkan biaya tambahan karena korupsi mencapai 7,3% dari biaya perusahaan.

Penelitian Ari Kuncoro (2001) terhadap 1.736 perusahaan di 285 kabupaten/ kota di Indonesia menemukan besar biaya tambahan akibat korupsi mencapai 10% dari biaya total perusahaan. Biaya tambahan ini tentu mengurangi keuntungan dan efisiensi. Penelitian menarik di Afrika yang dilakukan Arthur dan Teal (2004) menyimpulkan produktivitas perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari yang tak pernah menuap.

Kedua; efek dari adanya biaya tambahan, perusahaan menggeser beban itu ke konsumen dengan cara menaikkan harga barang. Kenaikan harga itu akan mengurangi daya beli konsumen, dan pengusaha menanggung akibat dari penurunan daya beli konsumen karena omzet penjualan menurun.

Ketiga; biaya tambahan akibat korupsi lebih ”merugikan;; dibanding pajak. Dalam tulisan berjudul ”Why is Corruption So Much More Taxing than Tax?” (”Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?”) sebagai hasil penelitian di 45 negara, Shang Jin Wei (1997) menyatakan korupsi lebih merugikan daripada pajak.

Balas Jasa

Pasalnya, biaya tambahan sebagai hasil korupsi tak diimbangi dengan balas jasa apa pun dari oknum pemungut. Sementara jika pengusaha taat membayar pajak, ia mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik dan infrastruktur yang dibutuhkan.
Di samping menyumbang angka korupsi, aparat pemerintah menyumbang  birokrasi yang tidak efisien dan tak punya semangat melayani. Dalam survei dan publikasi yang sama, WEF menyebut setelah korupsi, hambatan kedua bisnis di Indonesia adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien. Tidak efisien karena jumlah PNS saat ini 4 juta dari 235 juta total penduduk.

Belanja untuk PNS pun sangat besar. Pada APBN 2013 alokasi belanja pegawai Rp 241,12 triliun atau 14,54% dari total belanja, sedangkan belanja modal hanya Rp 193,8 triliun (11,69%).

Padahal belanja modal sangat dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tahun 2013 dipatok 6,5%. Pemerintah pun sudah mencanangkan program reformasi birokrasi secara bertahap dengan memberi insentif gaji sesuai kompetensi dan kinerja, yang dikenal sebagai program renumerasi.

Soal ketidakefisienan kinerja PNS terungkap dalam keluhan Kepala BKPM Chatib Basri pada acara ”Kompas100 CEO Forum” (Kompas, 06/12/12). Dia mengungkapkan,  ”Masak saya telepon ke kantor saya, tidak ada yang menjawab. Bagaimana kalau ada investor dari luar mau meminta informasi investasi? Saya coba email juga nggak dibalas. Bagaimana kita mau bicara investasi kalau aparaturnya begini?”

Keluhan Chatib dicoba dibenahi oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jateng Ihwan Sudrajat. Dalam artikel ”Jangan Relokasi karena Upah” (SM, 30/11/12), dia menulis UMK di Jateng masih relatif rendah dibanding daerah/ provinsi lain.
Tetapi upah tersebut jangan dijadikan faktor utama menarik investasi ke Jateng. Upah yang belum layak memang harus dinaikkan. Tetapi kenaikan UMK hendaknya harus diimbangi dengan pelayanan, baik oleh pemprov maupun pemkab/pemkot, secara  transparan, efektif, akuntabel, dan efisien.

Sehari sebelumnya, penulis bertemu dengan dia sebelum acara talkshow di stasiun swasta. Dari obrolannya, terlihat tekad Ihwan mewujudkan birokrasi yang melayani investor dan masyarakat di lingkungan dinasnya. Dia mengatakan teleponnya selalu terbuka untuk pengusaha dan investor yang mengeluhkan berbagai hal.

Menanggapi berbagai masalah, Ihwan sering langsung menelepon atasan di Jakarta meminta kejelasan atau penyelesaian. Kadang ia membantu pengusaha menyelesaikan masalah secara lintas departemen atau dinas. Langkah itu dikatakan untuk mengompensasi berbagai kesulitan berusaha di Jateng, infrastruktur yang buruk, seperti jalan, pelabuhan, dan bandara yang masih perlu pembenahan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar