Demokrasi Gila
Pangkat
Moh Faiz Maulana ; Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
(STAINU) Jakarta
|
SUARA
KARYA, 11 Desember 2012
Ketika masalah mulai
berdatangan di negeri ini selalu saja rakyat yang menjadi korban. Entah
masalah itu bersifat alami (natural
problem) yang memang "dihadiahkan" Tuhan kepada hambanya, atau
masalah yang memang sengaja dibuat (artificial
problem) oleh penguasa.
Bahwa Tuhan tidak akan
menguji hambanya di atas kemampuannya adalah suatu pembuktian sesungguhnya
Tuhan Maha Jujur. Tetapi, tidak dengan elite pemerintah kita. Mereka malah
lebih senang bukan menguji, malah menganiaya rakyatnya melebihi kemampuan
rakyat. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan elite pemerintahan kita yang
cenderung tidak berpihak kepada rakyat, kebijakan yang cenderung bersifat
kapitalistik, berpihak pada asing, yang membuat kedaulatan bangsa mulai
terkikis habis. Sesungguhnya manusia tempatnya khilaf dan lupa, hanya
alasanlah yang mampu membenarkannya.
Padahal, dalam sebuah
demokrasi mengharuskan adanya sikap saling percaya (mutual truth) dan saling
menghargai (mutual respect) di antara sesama warga masyarakat. Karena, ada
tujuan yang lebih besar di balik semua itu, yakni kemaslahatan umum, bukan
kesengsaraan umum.
Demokrasi tidak pernah
membenarkan sikap yang mengorbankan satu dari yang lain, yang memilih di
antara semua atau tidak, diambil atau ditinggalkan. Tetapi sebaliknya,
demokrasi - seperti dalam kaidah fiqih - harus mencakup semuanya, yang tidak
semua bisa didapat, tidak semua harus ditinggalkan.
Sebab, demokrasi
adalah kompromi antara individu dan kepentingan orang banyak, personal dan
lingkup sosial. Kompromi mengandaikan adanya "keunggulan yang
positif", baik dari individu maupun dari masyarakat, yang bisa
digabungkan menjadi suatu sistem yang terpadu dan positif adanya. Karena,
demokrasi tidak mungkin disertai dengan absolutisme dan sikap-sikap yang mau
menang sendiri.
Karena itu, demokrasi
juga menuntut adanya kesediaan dari pihak-pihak yang bersangkutan untuk
kemungkinan terjadinya kompromi atas dasar pertimbangan prinsipal, bukan
karena oportunisme.
Namun, apa yang kita
lihat tidak pernah bisa sejalan dengan teori yang ada. Semua jauh panggang
dari api. Akibatnya, rakyat yang menanggung risiko semua masalah karena
ditimpakan padanya. Para pejabat tampak tidak mau tahu dengan apa yang
terjadi, sifat feodalisme penghambaan, antara rakyat kepada pemerintah masih
menjadi alasan yang pasti, bahwa rakyat selalu dalam kuasa pemerintah.
Paradigma yang seperti
inilah yang tampaknya telah menguasai "nurani" elite penguasa kita.
Hasilnya, rakyat tak lagi jadi perioritas utama. Pancasila mulai dimaknai
dari pribadi masing-masing sesuka hati, Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi)
mulai diamandemen sesuai kebutuhan masing-masing, dan akhirnya semuanya pun
masing-masing. Rakyat masing-masing dengan kesengsaraannya dan elite penguasa
pun masing-masing dengan kemewahannya. Di mana demokrasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara?
Domain Elite
Demokrasi hanya
berlaku untuk orang-orang yang berkuasa, dan "diharamkan" bagi
orang yang tidak mampu berkuasa, termasuk rakyat. Sila "Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan",
tidak lagi menjadi landasan berfikir di tengah masyarakat terutama elite kita
dalam berdemokrasi.
Tak ayal, banyak orang
menganggap bahwa demokrasi bangsa ini telah gagal total. Kaidah, 'Democracy
is government of the people, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat'
tampaknya telah menjadi kredo semata, yang telah menjejali berbagai ruang
pencerahan di negeri kita. Sayangnya, bangsa kita memang memiliki kebebalan
rasa yang sudah sedemikian parah. Beribu kredo, slogan, motto berderet, semua
hanya menjadi pajangan. Demokrasi masih menjadi domain penguasa, tak lagi
bisa dinikmati oleh rakyat biasa.
Kaitan masalah ini
dengan realita yang ada adalah bahwa dalam masyarakat kita masih marak
unsur-unsur feodalistik yang menghambat terwujudnya negara-bangsa atau nation
state menurut cita-cita para pendiri bangsa.
Mungkin tanpa
disadari, penampilan kita masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
feodalistik, seperti tekanan berlebihan kepada unsur prestise dan gengsi,
untuk kemudian menempuh hidup tidak sesuai dengan prestasi dan kemampuan
kerja.
Karena itu,
"pejabatisme" sangat menggejala dalam masyarakat kita, yaitu cara
pandang penuh gengsi para pemegang tugas kenegaraan yang tidak lagi bertindak
sebagai pelayan publik (public servants),
tetapi justru sebaliknya, bertingkah laku seperti juragan publik yang serba
minta dilayani dan dihormati. Feodalisme penghambaan, antara rakyat kepada
pemerintah juga masih menjadi alasan yang pasti, bahwa rakyat selalu dalam
kuasa pemerintah.
Kekeliruan cara
pandang semacam inilah yang membuat makna demokrasi semakin dipersempit,
menguatkan makna bahwa demokrasi memang tak lagi milik bersama, tetapi sudah
dikuasai oleh segelintir orang saja. Demokrasi sudah bias menjadi elitis yang
mengagungkan jabatan.
Masyarakat kita telah
mengidap penyakit gila pangkat. Elite penguasa kita tak lagi perduli nasib
rakyat, sifat penghambaan dan pejabatisme telah menjadi bukti nyata, bahwa
elite pemerintah tak lagi mampu melayani suara rakyat. Tak ada amanat yang
mampu ditepati. Yang ada hanya martabat dan pangkat yang terus dicari. Apa
yang dulu mereka janjikan telah dilupakan begitu saja. Rakyat hanya
dimanfaatkan, dieksploitasi oleh kepentingan. 'Habis manis sepah dibuang',
barangkali itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan nasib rakyat saat
ini. Di mana demokrasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar