Kamis, 13 Desember 2012

Demokrasi Gila Pangkat


Demokrasi Gila Pangkat
Moh Faiz Maulana ;  Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta
SUARA KARYA, 11 Desember 2012


Ketika masalah mulai berdatangan di negeri ini selalu saja rakyat yang menjadi korban. Entah masalah itu bersifat alami (natural problem) yang memang "dihadiahkan" Tuhan kepada hambanya, atau masalah yang memang sengaja dibuat (artificial problem) oleh penguasa.
Bahwa Tuhan tidak akan menguji hambanya di atas kemampuannya adalah suatu pembuktian sesungguhnya Tuhan Maha Jujur. Tetapi, tidak dengan elite pemerintah kita. Mereka malah lebih senang bukan menguji, malah menganiaya rakyatnya melebihi kemampuan rakyat. Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan elite pemerintahan kita yang cenderung tidak berpihak kepada rakyat, kebijakan yang cenderung bersifat kapitalistik, berpihak pada asing, yang membuat kedaulatan bangsa mulai terkikis habis. Sesungguhnya manusia tempatnya khilaf dan lupa, hanya alasanlah yang mampu membenarkannya.
Padahal, dalam sebuah demokrasi mengharuskan adanya sikap saling percaya (mutual truth) dan saling menghargai (mutual respect) di antara sesama warga masyarakat. Karena, ada tujuan yang lebih besar di balik semua itu, yakni kemaslahatan umum, bukan kesengsaraan umum.
Demokrasi tidak pernah membenarkan sikap yang mengorbankan satu dari yang lain, yang memilih di antara semua atau tidak, diambil atau ditinggalkan. Tetapi sebaliknya, demokrasi - seperti dalam kaidah fiqih - harus mencakup semuanya, yang tidak semua bisa didapat, tidak semua harus ditinggalkan.
Sebab, demokrasi adalah kompromi antara individu dan kepentingan orang banyak, personal dan lingkup sosial. Kompromi mengandaikan adanya "keunggulan yang positif", baik dari individu maupun dari masyarakat, yang bisa digabungkan menjadi suatu sistem yang terpadu dan positif adanya. Karena, demokrasi tidak mungkin disertai dengan absolutisme dan sikap-sikap yang mau menang sendiri.
Karena itu, demokrasi juga menuntut adanya kesediaan dari pihak-pihak yang bersangkutan untuk kemungkinan terjadinya kompromi atas dasar pertimbangan prinsipal, bukan karena oportunisme.
Namun, apa yang kita lihat tidak pernah bisa sejalan dengan teori yang ada. Semua jauh panggang dari api. Akibatnya, rakyat yang menanggung risiko semua masalah karena ditimpakan padanya. Para pejabat tampak tidak mau tahu dengan apa yang terjadi, sifat feodalisme penghambaan, antara rakyat kepada pemerintah masih menjadi alasan yang pasti, bahwa rakyat selalu dalam kuasa pemerintah.
Paradigma yang seperti inilah yang tampaknya telah menguasai "nurani" elite penguasa kita. Hasilnya, rakyat tak lagi jadi perioritas utama. Pancasila mulai dimaknai dari pribadi masing-masing sesuka hati, Undang-Undang Dasar 1945 (konstitusi) mulai diamandemen sesuai kebutuhan masing-masing, dan akhirnya semuanya pun masing-masing. Rakyat masing-masing dengan kesengsaraannya dan elite penguasa pun masing-masing dengan kemewahannya. Di mana demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Domain Elite
Demokrasi hanya berlaku untuk orang-orang yang berkuasa, dan "diharamkan" bagi orang yang tidak mampu berkuasa, termasuk rakyat. Sila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", tidak lagi menjadi landasan berfikir di tengah masyarakat terutama elite kita dalam berdemokrasi.
Tak ayal, banyak orang menganggap bahwa demokrasi bangsa ini telah gagal total. Kaidah, 'Democracy is government of the people, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat' tampaknya telah menjadi kredo semata, yang telah menjejali berbagai ruang pencerahan di negeri kita. Sayangnya, bangsa kita memang memiliki kebebalan rasa yang sudah sedemikian parah. Beribu kredo, slogan, motto berderet, semua hanya menjadi pajangan. Demokrasi masih menjadi domain penguasa, tak lagi bisa dinikmati oleh rakyat biasa.
Kaitan masalah ini dengan realita yang ada adalah bahwa dalam masyarakat kita masih marak unsur-unsur feodalistik yang menghambat terwujudnya negara-bangsa atau nation state menurut cita-cita para pendiri bangsa.
Mungkin tanpa disadari, penampilan kita masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai feodalistik, seperti tekanan berlebihan kepada unsur prestise dan gengsi, untuk kemudian menempuh hidup tidak sesuai dengan prestasi dan kemampuan kerja.
Karena itu, "pejabatisme" sangat menggejala dalam masyarakat kita, yaitu cara pandang penuh gengsi para pemegang tugas kenegaraan yang tidak lagi bertindak sebagai pelayan publik (public servants), tetapi justru sebaliknya, bertingkah laku seperti juragan publik yang serba minta dilayani dan dihormati. Feodalisme penghambaan, antara rakyat kepada pemerintah juga masih menjadi alasan yang pasti, bahwa rakyat selalu dalam kuasa pemerintah.
Kekeliruan cara pandang semacam inilah yang membuat makna demokrasi semakin dipersempit, menguatkan makna bahwa demokrasi memang tak lagi milik bersama, tetapi sudah dikuasai oleh segelintir orang saja. Demokrasi sudah bias menjadi elitis yang mengagungkan jabatan.
Masyarakat kita telah mengidap penyakit gila pangkat. Elite penguasa kita tak lagi perduli nasib rakyat, sifat penghambaan dan pejabatisme telah menjadi bukti nyata, bahwa elite pemerintah tak lagi mampu melayani suara rakyat. Tak ada amanat yang mampu ditepati. Yang ada hanya martabat dan pangkat yang terus dicari. Apa yang dulu mereka janjikan telah dilupakan begitu saja. Rakyat hanya dimanfaatkan, dieksploitasi oleh kepentingan. 'Habis manis sepah dibuang', barangkali itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan nasib rakyat saat ini. Di mana demokrasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar