Pendidikan
Perdamaian Positif
Titik Firawati ; Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Desember 2012
ANAK muda (usia 10-29 tahun sesuai dengan WHO
2002) itu seperti magma. Maksudnya, magma yang dikandung di perut bumi bisa
membahayakan nyawa makhluk hidup jika sebuah gunung memuntahkannya dan
menghujani mereka yang ada di sekitar gunung berapi tersebut. Magma yang sama
juga bisa memberikan manfaat yang besar bagi kesuburan tanah. Ilustrasi
bencana dan manfaat yang berasal dari magma itu melukiskan kekuatan besar
yang dimiliki oleh pemuda--ia mengandung faedah dan juga bahaya.
Dikatakan faedah memang benar kenyataannya
seperti itu. Masih ingat dengan peristiwa reformasi 1998 di Jakarta? Hampir
semua orang yang berani protes damai di jalan-jalan, termasuk mereka yang
menduduki Gedung MPR/ DPR, menentang rezim otoriter menguasai Indonesia
kembali, ialah anak-anak muda. Potret sejarah itu baru sebagian kecil yang
membuktikan anak muda memberikan kontribusi positif dalam membangun bangsa
Indonesia yang lebih baik. Kegiatan-kegiatan positif pemuda yang tidak
terekam kamera televisi tak terhitung jumlahnya.
Sebaliknya, kekuatan anak muda juga bisa
berujung pada bahaya. Siapa yang paling sering terlibat tawuran (apa pun
macamnya)? Siapa yang paling emosional ketika tersenggol oleh goyangan orang
lain di arena konser dangdut dan kemudian memicu baku pukul? Siapa yang
direkrut kelompok teroris? Semua jari akan menunjuk kepada pemuda. Anak muda
itu tidak lebih dari pembuat onar, seseorang yang gampang emosional,
seseorang yang punya nyali, atau seseorang yang mudah diperdayai karena
idealismenya yang tinggi dan energinya yang besar.
Hasil temuan riset kerja sama UNDP, Bappenas,
PSKP UGM, Labsosio UI, dan LIPI (2005) menunjukkan 40% dari kekerasan
kelompok di Indonesia yang berakhir dengan kematian sejak 1990 dipicu insiden
perkelahian antarpemuda. Informasi penting lainnya juga menyebutkan mereka
yang menjadi pelaku bom bunuh diri dalam tindakan terorisme ialah terutama
anak-anak muda yang punya nyali, berpendidikan, dan dari latar belakang
keluarga bermacam-macam, termasuk keluarga yang `normal'. Dalam sejarah
terorisme di Indonesia, tidak ada pelaku bom bunuh diri seorang tua renta;
selalu anak muda.
Kekuatan Dahsyat
Begitu dahsyatnya kekuatan anak muda, baik
positif maupun negatif, telah terbukti dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia sejauh ini. Kedua sisi kekuatan itu telah samasama kita saksikan
dampaknya dan yang demikian itu menjadi sesuatu yang perlu kita pikirkan
bersama apa jadinya negeri ini di tangan kekuatan anak-anak muda yang
mendukung kekerasan daripada perdamaian. Oleh karenanya, tak ada jalan lain
selain sebaikbaiknya memberdayakan akal dan energi mereka melalui pendidikan
perdamaian positif demi membangun Indonesia yang damai.
Yang dimaksud dengan pendidikan perdamaian
positif ialah pendidikan formal tingkat dasar dan menengah yang mengacu pada
perdamaian positif--artinya, situasi masyarakat yang menggambarkan ketiadaan
kekerasan (fisik/langsung, struktural, dan kultural). Pendidikan perdamaian
positif menjadi penting dan mendesak mengingat Indonesia di level makro ialah
masyarakat majemuk yang merupakan lahan subur menumbuhkan konflik kekerasan.
Sementara itu, di level mikro, anak muda sangat mudah dimobilisasi oleh
pihakpihak lain yang memancing di dalam air keruh.
Menurut Betty Reardon, pakar pendidikan
perdamaian dari AS, tujuan utama dari pendidikan perdamaian (positif ) ialah to strengthen the capacity to care, to
develop a sincere concern for those who suffer because of the problems, and a
commitment to resolving them through action--artinya, memperkuat
kapasitas personal untuk peduli terhadap orang lain, mengembangkan rasa
perhatian yang sungguh-sungguh kepada mereka yang menderita mereka yang
menderita akibat masalah yang mereka hadapi, dan memperkuat komitmen untuk
menyelesaikan masalah tersebut melalui aksi nyata. Dengan kata lain,
pendidikan perdamaian bertujuan menumbuhkan kesadaran baru yang
termanifestasi ke dalam aksi damai yang nyata.
Reardon menyebutkan ada tiga macam kurikulum
pendidikan perdamaian positif yang bisa dikembangkan: (1) pendidikan
lingkungan, (2) pendidikan pembangunan, dan (3) pendidikan HAM. Contoh
beberapa pengalaman pendidikan perdamaian positif di AS yang merujuk ke
kurikulum tersebut ialah pendidikan internasional (studi kawasan dan
pendidikan multikultural) dan pendidikan global. Bagaimana
mengimplementasikan kurikulum tersebut? Kurikulum pendidikan perdamaian bisa
diterapkan dengan cara, antara lain, membuat kurikulum/mata pelajaran baru
yang fokusnya khusus pada perdamaian positif, mengintegrasikan nilai-nilai
perdamaian positif ke dalam mata pelajaran yang sudah ada, membuat kegiatan
ekstrakurikuler berbasis pada perdamaian positif, dan mengintegrasikan nilai-nilai
perdamaian positif ke dalam EBET a budaya sekolah.
Menengok pengalaman pendidikan perdamaian
positif di 1) Indonesia, sejumlah sekolah ) di Tanah Air--baik dirancang
dengan sengaja maupun tidak--telah mengaplikasikan pendiidikan perdamaian
positif. Ada di sekolah-sekolah yang menjadi kan multikulturalisme ke dalam
kurikulum muatan lokal. Ada juga sekolah-sekolah yang mengintegrasikan
nilai-nilai perdamaian ke dalam mata pelajaran kewarganegaraan, pendidikan
agama, matematika, dan mata pelajaran lainnya.
Beberapa sekolah telah
membangun perdamaian melalui budaya sekolah, misalnya budaya no violence.
Maksudnya, semua warga sekolah menyepakati dan men jalankan prinsip
nirkekerasan di lingkungan sekolah, seperti menghindari tawuran antar
pelajar, perundungan (bullying), dan hukuman fisik.
Secara umum, pendidikan perda pendidikan perda
maian positif sudah dijalankan di Indonesia dengan berbagai macam
implementasinya seperti yang telah disebutkan. Meskipun demikian, persoalan
yang menyangkut perdamaian di level sekolah masih terjadi dan itu menjadi
tantangan tersendiri bagi kita semua. Sebagian tantangan tersebut ditunjukkan
di dalam laporan WHO 2002 World Report
on Violence and Health. Di situ disebutkan bahwa tawuran antarpelajar,
perundungan (bullying), dan membawa
senjata ialah perilaku-perilaku anak muda yang berisiko menimbulkan kekerasan.
Di samping itu, berdasarkan laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
2007, misalnya, disebutkan bahwa dari 555 kasus kekerasan yang menimpa anak,
18% pelakunya ialah orang terdekat dan 11,8% ialah guru (Vivanews, 24 Oktober
2008).
Pendekatan Alternatif
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut
dan mempertajam pendidikan perdamaian positif yang sudah dijalankan oleh
sekolah-sekolah di Indonesia, pendekatan alternatif yang lebih sistematis yang
bisa diuji coba ialah pendidikan perdamaian positif yang bersandar pada
pendekatan manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS) dengan lima pilarnya:
(1) budaya sekolah, (2) kurikulum yang damai, (3) kelas yang damai, (4)
mediasi sejawat, dan (5) partisipasi masyarakat.
Pertama, warga sekolah perlu menyepakati
nilai, norma, dan kebiasaan prososial macam apa yang hendak ditanamkan di
sekolah. Supaya budaya sekolah itu terpelihara dengan baik, semua pihak perlu
membuat slogan, menyusun tata tertib, merancang mekanisme penghargaan dan
sanksi, merayakan keberhasilan sekolah dalam menjalankan budaya damai, dan
lain-lain yang konsisten dengan budaya perdamaian yang dipilih.
Kedua, mengintegrasikan nilai-nilai yang
berorientasi ke perdamaian (pemecahan masalah, toleran, menghargai keragaman,
dan seterusnya) ke dalam kurikulum sekolah menjadi cara alternatif yang dapat
sekolah tempuh. Nilai-nilai tersebut dikolaborasikan ke dalam unsur-unsur
kurikulum: tujuan, materi, dan strategi pembelajaran serta sistem evaluasi.
Ketiga, kelas yang damai mempunyai lima ciri
utama, yaitu kerja sama, komunikasi, ekspresi emosional, apresiasi terhadap
perbedaan, dan resolusi konfl ik. Guru yang mampu merangsang kreativitas murid
dalam berpikir, berkarya, dan berinteraksi membuat suasana kelas akan
menyenangkan dan sebaliknya.
Keempat, murid secara aktif mempraktikkan
keterampilan mediasi sejawat. Pengetahuan dan keterampilan mediasi bisa juga
dilembagakan di sekolah, contohnya melalui kegiatan ekstrakurikuler dan
pelatihan rutin untuk seluruh warga sekolah. Manfaatnya, antara lain, guru
fokus dengan urusan mengajar, sedangkan murid menjadi lebih mandiri dan
bertanggung jawab dalam menyelesaikan konfliknya sendiri.
Kelima, masyarakat memiliki peran sentral
dalam memastikan anak-anak tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab.
Masyarakat bekerja sama untuk memastikan lingkungan sekitar sekolah bebas
dari kekerasan, seperti tindak kejahatan dan mabukmabukan. Contoh upaya
lainnya ialah anggota masyarakat atau orangtua bersedia menjadi narasumber di
kelas membicarakan topik-topik yang relevan dengan pekerjaan dan pengalaman
mereka.
Kesimpulannya, pendidikan ialah a slow but powerful force, kata
senator AS J William Fulbright. Semangat pendidikan yang sejati itu tecermin
dalam pendidikan perdamaian positif. Jika Indonesia bermimpi menjadi pemimpin
dunia yang peduli perdamaian, sudah saatnya Indonesia mengadopsi pendidikan
perdamaian positif sepenuhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar