Kurikulum yang
Damai
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Desember 2012
DAMAI adalah karakter. Untuk mencapainya,
dibutuhkan laku sikap dan cara berpikir positif yang dirancang melalui sebuah
skenario. Jika skenario adalah sebuah rencana, pendidikan adalah domain yang
mampu mewadahi setiap orang untuk menggali potensi damai dalam diri
masing-masing. Dalam pendidikan, seseorang harus bersedia belajar tentang
semua hal, termasuk menggali rasa dan situasi damai. Seperti semua ajaran
agama, rasa dan situasi damai merupakan pesan abadi yang dibawa setiap nabi
dengan agama masing-masing. Karena itu, pendidikan ialah sarana keselamatan
setiap orang.
Rencana pemerintah yang akan melakukan revisi
terhadap kurikulum tingkat satuan pendidikan dan memasukkan kompetensi sikap
(attitude) sebagai landasan pengembangan kurikulum yang baru patut mendapat
respons positif. Setidaknya ada empat alasan pengembangan kurikulum versi
pemerintah ini dilakukan. (1) Fenomena yang mengemuka seperti maraknya
tawuran dan praktik kekerasan lainnya di tingkat sekolah, serta
ketidakjujuran dalam penyelenggaraan ujian nasional. (2) Persepsi masyarakat
yang menyangkut beratnya beban kurikulum, nirkarakter, dan terlalu kognitif.
Dua alasan terakhir ialah (3) tantangan masa
depan berupa globalisasi dan kemajuan informasi/teknologi serta (4)
kompetensi masa depan yang di antaranya diperlukan kemampuan komunikasi yang
baik terutama dalam menimbang aspek moralitas dari setiap peristiwa yang
terjadi dengan kemampuan berpikir kritis. Keempat alasan itu penting untuk
dicermati, terutama menyangkut persepsi masyarakat soal minimnya karakter
siswa. Karena itu, memasukkan isu pendidikan damai dan toleransi merupakan
imperatif bagi usaha penubuhan dan implementasi kurikulum baru.
Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk
menumbuhkan sikap dan karakter siswa yang positif ialah melalui kurikulum
yang damai. Dengan lebih mengedepankan sikap dan karakter, bisa dibayangkan
bahwa proses belajar-mengajar akan mengalami banyak perubahan. Jika dalam
kurikulum lama peran guru dan buku teks sangat dominan, dalam perspektif
kurikulum baru penelusuran minat dan bakat siswa jauh lebih utama untuk diidentifikasi
terlebih dahulu oleh para guru. Itu artinya tingkat kreativitas guru harus
menjadi prioritas utama untuk ditingkatkan melalui sebuah skenario professional development yang akurat.
Terus Belajar
Pengembangan kemampuan profesional (professional development) sesungguhnya
merupakan usaha sadar dan berkesinambungan untuk meningkatkan mutu tenaga
pendidikan di sebuah lembaga pendidikan. Di antara beberapa prinsipnya ialah,
pertama, manajemen sekolah harus senantiasa berusaha menumbuhkan kesadaran
dan minat di kalangan guru untuk terus-menerus belajar agar mereka dapat
merespons tuntutan (standar) profesionalitas dan dapat mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan yang berjalan secara dinamis. Peran kepala sekolah sangat
penting dalam menangani isu itu.
Kedua, proses pembelajaran merupakan kunci
utama untuk meraih hasil pendidikan yang optimal. Oleh sebab itu, penting
bagi setiap sekolah untuk memberikan prioritas pada proses belajar-mengajar
yang bermutu. Untuk itu, penguasaan tentang bidang studi yang diajarkan
(kompetensi) dan keragaman pendekatan pembelajaran, termasuk metode,
merupakan bagian yang menyatu dalam setiap upaya untuk meningkatkan kemampuan
profesional guru.
Ketiga, interaksi antara guru dan murid di
dalam proses pembelajaran merupakan bagian yang menentukan pembelajaran yang
efektif. Keberhasilan murid dalam memahami atau menguasai apa yang
disampaikan guru dalam pembelajaran (konsep atau bahan ajar) tidak dapat
dipisahkan dari kemampuan guru dalam mengomunikasikannya. Untuk itu,
diperlukan kemampuan atau keterampilan guru berkomunikasi secara efektif
dalam menyelenggarakan pembelajaran yang bermutu (quality teaching).
Keempat, murid sebagai subjek dari
pembelajaran. Efektivitas pembelajaran dicirikan atau mensyaratkan adanya
peran serta aktif murid dalam pembelajaran. Kemampuan guru untuk mendorong
para murid aktif dalam proses pembelajaran menjadi faktor penting dalam
menciptakan pembelajaran yang bermutu. Untuk itu, diperlukan kemampuan guru
dalam menerapkan dan mengembangkan pendekatan-pendekatan partisipatif (active learning).
Pengembangan kemampuan komunikasi guru yang
efektif itu cukup menarik, apalagi jika dikaitkan dengan konsep self-training yang pernah dijabarkan
oleh Thomas Gordon (2000), pakar pendidikan yang dikenal luas sebagai pionir
dalam kemampuan komunikasi guru. Gordon pakar di bidang penggunaan
metode-metode resolusi konfl ik terhadap hubungan sekolah murid-guru-orangtua,
yang tergambar dalam bukunya, Teacher
Effectiveness Training (TET). Guru diharapkan mampu membekali diri dengan
keterampilan dan metode komunikasi efektif agar dapat menciptakan suatu
tujuan diri (self-direction),
tanggung jawab pada diri sendiri (selfresponsibility), penentuan nasib
sendiri (self-determination),
pengontrolan diri sendiri (selfcontrol),
dan evaluasi diri sendiri (self-evaluation).
Saya membayangkan,
dalam proses belajar-mengajar para guru secara terbuka mendiskusikan
perbedaan budaya, toleransi, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Guru juga
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial
siswa yang mampu meningkatkan nilainilai kedamaian. Di atas semuanya,
kemampuan guru untuk menumbuhkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan
mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan konflik dan kekerasan di
lingkungan sekolah. Karena itu, kurikulum yang damai merupakan tuntutan yang
tidak dapat dihindari dalam strategi dan implementasi kurikulum baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar