Pemilu 2014
dan Masa Depan Partai Islam
Ridho Imawan Hanafi ; Peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate
|
SINAR
HARAPAN, 10 Desember 2012
Pemilu 2014 tidak lama lagi. Partai-partai politik sudah
mempersiapkan diri berkontestasi. Yang menarik adalah bagaimana nasib partai
politik Islam. Dalam perkabaran
hasil survei yang dilakukan beberapa lembaga sampai November 2012, nasib partai
Islam dalam Pemilu 2014 nanti
diperkirakan suram.
Popularitas dan elektabilitas mereka berada di bawah partai politik yang
berhaluan nasionalis. Bahkan, posisi mereka berada di antara lolos dan tidak
melewati ambang batas parlemen (parliemantary threshold) sebesar 3,5 persen. Hasil survei tersebut menjadi
“alarm” peringatan bagi partai
Islam untuk berbenah.
Saat ini, partai politik yang
memiliki kursi di Senayan dan masuk
dalam kelompok partai Islam adalah Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional
(PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dua partai pertama merupakan partai yang secara terbuka
menjadikan Islam sebagai asas dan ideologinya. Sementara itu, dua yang terakhir tidak secara tegas menyebut
Islam, tetapi memiliki basis konstituen yang sebagian besar berasal dari umat
Islam.
Dalam politik kepartaian kita, sejarah mencatat meskipun
mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, potret sosiologis tersebut tidak
berkorelasi positif terhadap jumlah perolehan mayoritas suara partai Islam di
pemilu.
Pada Pemilu 1955, jumlah perolehan total suara partai berbasis
Islam sebesar 43,5 persen. Pemilu 1999, jumlah total perolehan suara hanya
meraup 36,7 persen. Pada Pemilu 2004 sempat mengalami kenaikan menjadi 38,3
persen dan pada Pemilu 2009 mengalami penurunan kembali menjadi 29,2 persen.
Catatan jumlah perolehan suara partai Islam dari pemilu ke
pemilu tersebut sepertinya masih meneguhkan apa yang pernah dirumuskan oleh
Deliar Noer mengenai realitas relasi Islam dan politik di negeri ini, bahwa
Islam adalah mayoritas secara sosiologis, tetapi minoritas secara politik.
Dengan kata lain, meskipun hampir 90 persen jumlah penduduk Indonesia
merupakan pemeluk Islam, dalam realitas politik hampir selalu dalam posisi
minoritas (Haris, 2011).
Makin Rasional
Penulis melihat bahwa rendahnya popularitas dan elektabilitas
partai Islam saat ini dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Dari faktor
eksternal, pemilih Indonesia seperti dijelaskan Liddle dan Mujani (1999) saat
ini sudah tidak lagi melihat aliran politik sebagai suatu daya tarik yang
kuat, untuk tidak dikatakan pudar sama sekali.
Hal ini juga didukung mencairnya diskursus politik yang tidak
lagi mengedepankan pertentangan ideologi antara Islam maupun nasionalis.
Masyarakat saat ini kian terbuka dan rasional akan pilihan-pilihan politik.
Faktor eksternal lain yang bisa dilihat adalah bahwa wacana atau
isu-isu agenda yang terkait umat Islam sekarang ini sudah tidak lagi menjadi
dominasi partai-partai Islam. Partai-partai nasionalis sudah bisa
mengakomodasi kepentingan umat.
Partai nasionalis mulai bergerak ke tengah (political centrism)
menjemput pemilih muslim sambil tetap juga merawat pemilih tradisional mereka
(captive market).
Cara mengakomodasi isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan
umat seperti itu seperti dijelaskan Rizal Sukma dalam Problems of
Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society (Aspinall and Mietzner, 2010) diwujudkan melalui sayap atau
organ partai yang bernuansa Islam. Hal ini yang kemudian menyebabkan
kontestasi perebutan basis dukungan.
Dari sisi internal, setidaknya pertama, ketidakmampuan partai
Islam dalam menerjemahkan identitas keislaman mereka ke dalam realisasi
program-program riil di masyarakat.
Ketidakmampuan ini membuat partai Islam tidak memiliki
diferensiasi yang jelas dengan partai-partai nasionalis; sehingga yang tampak
kemudian partai Islam lebih bermain dalam wilayah simbolik daripada harus
mengedepankan hal-hal yang lebih bernilai substansi. Dengan kata lain,
terdapat kesenjangan antara simbol dan substansi.
Kedua, partai-partai Islam tidak memperlihatkan peran yang
signifikan dalam praktik politik koalisi yang mereka bangun dalam mendukung
pemerintah. Keempat partai, PKS,
PPP, PAN, dan PKB, saat ini berada dalam kekuasaan bersama Partai Demokrat
dan Golkar.
Sejauh ini, dua partai terakhir itulah yang lebih mewarnai
dinamika internal koalisi. Partai-partai Islam terkesan hanya menjadi
pengikut. Implikasinya, ketika muncul penilaian positif terhadap koalisi yang
memetik hasilnya bukan partai Islam.
Ketiga, perilaku kader-kader partai Islam sebagian di antara
mereka juga terjebak dalam praktik politik yang mengingkari nilai-nilai
keagamaan, seperti korupsi. Praktik korupsi ini berakibat pada keterpurukan
citra partai.
Publik akan menilai bahwa kader-kader partai Islam yang mengusung
identitas agama ternyata tidak
berbeda perilakunya dengan
partai yang lain. Saat itu terjadi, hukuman maupun respons publik akan lebih
keras, dibanding dengan kader dari partai yang tidak membawa identitas
keagamaan.
Keempat, partai Islam tidak memiliki pemimpin atau tokoh sentral
yang mampu mengakselerasi wibawa dan pengaruhnya tidak saja di lingkungan
internal, namun juga ke luar.
Padahal, aspek kepemimpinan
partai (leadership) menurut Less-Marshment dan Rudd (2003) menjadi salah satu elemen produk
partai yang menjadi pusat perhatian publik. Leadership di sini antara lain
meliputi image dan karakter pemimpin partai yang bisa meningkatkan kemampuan
elektoral (elective ability). Partai Islam saat ini tidak memiliki pemimpin
yang berkemampuan elektoral tinggi dibanding tokoh-tokoh dari partai-partai
nasionalis.
Untuk itu, upaya tempuh yang bisa dilakukan dalam mengejar ketertinggalan
popularitas dan elektabilitas salah satunya
adalah revitalisasi ideologi keislaman dengan cara mengimplementasikan ke
dalam kehidupan riil di masyarakat.
Dalam bahasa lain, seluruh penopang partai harus bergerak dengan
cara merefleksikan semangat dan nilai-nilai keislaman sehingga tidak
terkungkung dalam simbol maupun jargon. Cara itu harus didukung dengan
komunikasi politik yang muaranya memuat isu maupun agenda politik yang
memihak kepentingan rakyat.
Tidak cukup itu, kebutuhan untuk memunculkan figur yang bisa
mendongkrak popularitas partai juga mendesak diupayakan. Kebutuhan itu hanya
bisa dipenuhi jika dalam proses kaderisasi dan sistem rekrutmen partai
berjalan dengan baik.
Hasil dari proses tersebut diharapkan akan melahirkan
kader-kader partai yang mumpuni untuk memperjuangkan cita-cita partai.
Kader-kader inilah yang nantinya juga diharapkan bisa melengkapi ketiadaan
figur populer. Tanpa ikhtiar pembenahan internal tersebut, Pemilu 2014 bisa
jadi akan menjadi ladang keterpurukan partai-partai Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar