Overdosis
Kecanduan Minyak
Arfanda Siregar ; Dosen
Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan
|
KORAN
TEMPO, 10 Desember 2012
Apakah
Indonesia tengah mengalami krisis bahan bakar minyak (BBM)? Jawabannya tidak!
Di depan mata, perilaku bangsa ini sama sekali tidak mengindikasikan bangsa
yang mengalami krisis BBM. Baik pemerintah maupun rakyat masih menjadi
pecandu minyak yang luar biasa.
Meskipun anggaran negara bolak-balik jebol
menutupi ledakan konsumsi BBM, kesadaran berhitung menyedotnya tak kunjung
tiba. Kecanduan BBM bagai kecanduan narkoba yang akut, overdosis. Meski
ancaman kehancuran berada di pelupuk mata, tuntutan tubuh untuk menghirupnya
membuat risiko dipandang sebelah mata.
Gara-gara kecanduan BBM, anggaran negara
kerap jebol untuk membayar kerakusan menghirup aroma khas BBM. Awalnya
pemerintah menetapkan kuota BBM bersubsidi sebesar 40,04 juta kiloliter
mengalami defisit, sehingga memutuskan menambah kuota 4 juta kiloliter. Kini,
di pengujung tahun, kuota itu terancam jebol lagi hingga mencapai 1,25 juta
kiloliter sehingga pemerintah terpaksa menambah dana subsidi BBM mencapai Rp
6 triliun.
Pemerintah terlalu memanjakan pengguna BBM,
selalu mengikuti kemauan mereka. Banderol harga Premium yang tergolong murah
di dunia membuat pengguna Premium tak berhitung menyedot salah satu energi
yang keberadaannya mulai menipis di perut bumi, boros. Menurut catatan Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, intensitas (pemborosan) penggunaan energi
di Indonesia menepis angka 400 atau empat kali lebih besar dibanding Jepang.
Indonesia juga masih lebih boros ketimbang negara-negara Amerika Utara (300).
Coba saja lihat ketika anggaran negara
bolak-balik jebol untuk menutupi kerakusan pengguna BBM. Malah, penjualan
kendaraan bermotor meningkat drastis. Tahun ini diperkirakan transaksi mobil
baru tembus angka 1 juta unit, tahun lalu hanya 900 ribu unit. Bukannya
menunjukkan orang Indonesia kaya raya, tapi kemudahan dalam berkredit membuat
siapa pun berpeluang membawa kendaraan idaman pulang ke rumah.
Sekarang, bukan hanya di Jakarta yang
merasakan kemacetan, di kota-kota lain, seperti Medan, Surabaya, Bandung, dan
Makassar, pun sudah merasakan betapa pengap udara yang bercampur dengan asap
knalpot. Orang mudah berdalih, "uangku sendiri kok yang membeli Premium,
mengapa mesti dilarang-larang".
Karena Premium murah, orang tak peduli
kalau kebutuhan minyak bisa diminimalkan dengan mengurangi pemakaian
kendaraan dan peralatan berbahan bakar minyak. Kecanduan pada minyak sudah
seperti kecanduan pada obat bius. Kreativitas dan aktivitas bisa mogok
sebelum "mengkonsumsi" minyak. Padahal, berjalan kaki, bersepeda,
mematikan peralatan elektronik, dan berangkat lebih pagi ke tempat aktivitas
dapat mengurangi pemakaian minyak yang berujung pada penghematan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah pun gagal memberi teladan betapa
penting berhemat energi kepada masyarakat. Tak sulit mengambil contoh. Betapa
banyak minyak yang disedot oleh mobil presiden dan rombongan yang setiap hari
mengantarnya dari Cikeas, Bogor, ke Istana Negara. Baik Premium yang disedot
kendaraan mereka maupun Premium yang terbuang sia-sia akibat kemacetan yang
terjadi ketika mobil presiden melintasi jalan. Segeralah presiden tinggal di
Istana Negara. Paling tidak, di depan mata sudah menunggu penghematan nyata
ribuan liter BBM sebulan.
Bukan hanya presiden, hampir seluruh
pejabat negara senang dikawal oleh rombongan mobil ketika melakukan
perjalanan dinas. Jika Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan
aman-aman saja menggunakan kendaraan umum, itu pertanda sesungguhnya tak
perlu takut berbaur bersama rakyat menggunakan transportasi masal.
Rendah
Jauh sebelum sekarang, kaum
apokaliptik-saintifik telah meramalkan bahwa masyarakat dunia telah mencapai
puncak konsumsi minyak. Kemampuan bumi menghasilkan minyak sudah tidak setara
dengan kebutuhan manusia. Dalam buku The
Age of Oil: What They Don't Want You to Know About the World's Most
Controversial Resource karangan Leonardo Maugeri, yang merupakan
penasihat perusahaan energi di Italia, dikatakan bahwa, sejak awal abad ke-20
(1919), bumi tidak lama lagi kehabisan minyak.
Bagi Amerika Serikat, peringatan Maugeri
merupakan ultimatum supaya rakyatnya tidak kecanduan minyak. Di AS, hemat
energi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Berbagai
informasi tentang kian habisnya minyak bumi begitu gencar dilakukan. Bahkan,
kampanye para calon presiden selalu menjadikan ketahanan energi, produksi
bahan bakar nabati, dan anjuran kehidupan yang bebas polusi serta
berkesinambungan sebagai tema utama kampanye.
Karena itu, tak usah heran ketika 1970-an
terjadi boom minyak bagi negara-negara penghasil minyak, AS sebagai negara
penghasil minyak malah melakukan penghematan besar-besaran. Pemakaian mobil
pribadi berkurang drastis dan pemilik mobil beralih ke kendaraan umum, yakni
bus di kota-kota atau subway.
Sementara itu, Indonesia malah sebaliknya. Ketika
boom minyak terjadi, malah menjadi pemadat minyak. Para pejabat negara yang
menikmati "tetesan" minyak malah membangun showroom pribadi di
rumah masing-masing, berlomba menjadi penenggak minyak.
Meski terlambat, pemerintah harus berani
membuat kebijakan tidak populis demi merehabilitasi bangsa ini dari overdosis
minyak bumi. Kalau dibiarkan, efeknya akan sama dengan para pecandu narkoba,
sulit keluar dari ketergantungan. Pemerintah harus berani mencabut subsidi
minyak. Apalagi fakta berbicara: lebih dari 60 persen konsumsi BBM masyarakat
Indonesia, khususnya di perkotaan, merupakan subsidi untuk orang kaya, bukan
orang miskin, seperti nelayan atau petani.
Sebagai barang
yang inelastis seperti halnya makanan pokok, masyarakat pasti mencari bahan
bakar alternatif ketika minyak bumi mahal. Peran utama pemerintah adalah
memproduksi bahan bakar alternatif yang murah dan meriah. Apa pun jenisnya,
pemerintah harus segera menyiapkan energi alternatif yang dapat digunakan
masyarakat sebagai pengganti BBM. Bukankah dana subsidi BBM yang mencapai Rp
300 triliun itu dapat dialokasikan untuk menciptakan energi alternatif yang
tak mengandung candu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar