Pemekaran
Kepentingan Elite
Syarif Hidayat ; Peneliti Utama Bidang
Otonomi Daerah
pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
30 November 2012
Diskursus tentang pemekaran daerah dalam
tiga bulan terakhir ini terlihat semakin mengerucut. Di antara isu sentral
yang banyak mendapat sorotan adalah mengungkap ”kepentingan implisit” para
elite di balik upaya pembentukan daerah otonom baru.
Menariknya, keresahan tentang hal itu mulai
disuarakan oleh kubu pemerintah, antara lain, dapat disimak pada pernyataan
yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah dan Menteri Dalam
Negeri (Kompas, 20-21/11/2012).
Di antara poin penting yang menarik untuk dicatat
dari pernyataan dua petinggi pemerintah ini adalah adanya kesan yang kuat
untuk merekatkan realitas bias kepentingan elite dalam pemekaran daerah hanya
pada elite daerah.
Sementara, di kalangan para elite
pemerintah pusat, khususnya di lingkungan Kementerian Dalam Negeri sendiri,
terkesan ”steril” dari praktik perburuan kepentingan ekonomi-politik jangka
pendek tersebut. Menurut hemat penulis, Kemendagri dalam kapasitasnya sebagai
salah satu ”pintu masuk” bagi proposal pemekaran daerah sulit dipercaya untuk
tidak terlibat dalam spektrum bias kepentingan elite tersebut.
Oleh karena itu, tantangan bagi Pak Menteri
dan Dirjen Otda adalah ”bersih-bersih rumah sendiri” sebelum melangkah lebih jauh mengelola dan
mengendalikan bias kepentingan elite pada konteks yang lebih luas.
Bias Kepentingan Elite
Sejatinya keberadaan dari kepentingan
implisit para elite di balik ”proyek” pemekaran daerah tersebut bukanlah
sesuatu yang luar biasa, tatkala kecenderungan ini diartikulasi pada konteks
praktik politik praktis. Bias kepentingan elite di Indonesia, kemudian,
terkesan sangat masif karena secara kebetulan berkoinsidensi dengan realitas
transisi demokrasi yang sedang terjadi.
Secara teoretis, di antara karakteristik
penting dari periode transisi adalah, proses pengambilan keputusan ataupun
implementasi kebijakan, baik di tingkat nasional maupun daerah, lebih banyak
diwarnai oleh koalisi dan tawar-menawar kepentingan antara elite masyarakat
(societal actors) pada satu sisi dan elite penyelenggara negara (state actors)
pada sisi lain. Oleh karena itu, apa yang dapat kita lakukan bukanlah
menihilkan bias kepentingan elite, melainkan lebih pada upaya meminimalkan
keberadaannya.
Pengendalian bias kepentingan elite memang
bukan pekerjaan mudah karena aktor yang terlibat sangat kompleks dan sifatnya
multilevel. Kegagalan kebijakan moratorium pemekaran daerah, yang sedikitnya
telah dua kali dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007 dan
2010), antara lain, karena sulitnya mendeteksi dan memutus ”jaringan multilevel”
para elite tersebut. Apa kemudian yang terjadi?
Kebijakan moratorium telah melahirkan
praktik ”politik buka-tutup pintu”. Pihak eksekutif, dalam hal ini Kemendagri
dan Kementerian Keuangan, menginginkan untuk sementara menutup pintu
pemekaran daerah setelah mempertimbangkan biaya sosial, politik, dan anggaran
yang ditimbulkannya. Sementara pihak ”Senayan” (DPR dan DPD) membuka pintu
untuk itu.
Hentikan Pemekaran Daerah?
Menutup sama sekali peluang untuk pemekaran
daerah sejatinya bukanlah solusi yang terbaik atau bahkan cenderung melanggar
prinsip tata pemerintahan. Artinya, pemekaran daerah boleh saja dilakukan
bila memang secara riil dapat menjamin terwujudnya peningkatan pelayanan
publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan terciptanya tatanan
kehidupan demokratis di daerah.
Namun, untuk meminimalkan kemungkinan
terjadinya bias pemekaran daerah, maka dua prinsip lainnya—penggabungan dan
penghapusan daerah—juga harus ditegakkan. Tiga prinsip inilah yang
selanjutnya saya sebut dengan terminologi ”kembar siam” pemekaran,
penggabungan, dan penghapusan daerah.
Persoalannya adalah, sejauh ini, di
Indonesia hanya getol merealisasikan prinsip pemekaran daerah, sementara
prinsip penggabungan dan penghapusan daerah sama sekali tidak mendapat
perhatian. Akibatnya, tidak mengherankan jika kemudian pemekaran daerah telah
menjadi komoditas yang menggiurkan bagi para elite dan cenderung tidak
terkendali karena tidak ada sanksi untuk penggabungan kembali atau bahkan
penghapusan daerah.
Inisiatif yang telah dilakukan oleh pihak
pemerintah pusat, khususnya Kemendagri, untuk menerapkan ”status bertahap”
bagi daerah otonom baru hasil pemekaran pada revisi Undang-Undang
Pemerintahan Daerah adalah langkah yang patut diapresiasi.
Dengan status sebagai ”daerah administratif”
pada tahap awal terbentuknya daerah baru hasil pemekaran tersebut (tidak
langsung berstatus sebagai daerah otonom), diharapkan tidak saja akan
berimplikasi pada penghematan anggaran pemerintah (mengingat belum memerlukan
eksistensi DPRD, pilkada, dan dinas-dinas daerah terlalu banyak), tetapi juga
dapat mengurangi ”syahwat politik” para elite (elite massa ataupun penguasa)
untuk ”memprovokasi” pemekaran daerah.
Namun, langkah yang telah dilakukan oleh
Kemendagri tersebut akan memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap upaya
pengendalian bias kepentingan elite, jika juga disertai dengan tindakan nyata
dalam merealisasikan prinsip penggabungan dan penghapusan daerah.
Untuk itu, seyogianya, pihak Kemendagri
tidak perlu ragu untuk mengumumkan kepada publik tentang hasil evaluasi yang
telah dilakukan terhadap daerah otonom baru hasil pemekaran, dan selanjutnya
mengambil langkah konkret dalam menangani daerah-daerah yang termasuk pada
kategori tidak berhasil atau gagal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar