Sabtu, 01 Desember 2012

Pemekaran Kepentingan Elite


Pemekaran Kepentingan Elite
Syarif Hidayat ; Peneliti Utama Bidang Otonomi Daerah 
pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 30 November 2012


Diskursus tentang pemekaran daerah dalam tiga bulan terakhir ini terlihat semakin mengerucut. Di antara isu sentral yang banyak mendapat sorotan adalah mengungkap ”kepentingan implisit” para elite di balik upaya pembentukan daerah otonom baru.

Menariknya, keresahan tentang hal itu mulai disuarakan oleh kubu pemerintah, antara lain, dapat disimak pada pernyataan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah dan Menteri Dalam Negeri (Kompas, 20-21/11/2012). 

Di antara poin penting yang menarik untuk dicatat dari pernyataan dua petinggi pemerintah ini adalah adanya kesan yang kuat untuk merekatkan realitas bias kepentingan elite dalam pemekaran daerah hanya pada elite daerah.

Sementara, di kalangan para elite pemerintah pusat, khususnya di lingkungan Kementerian Dalam Negeri sendiri, terkesan ”steril” dari praktik perburuan kepentingan ekonomi-politik jangka pendek tersebut. Menurut hemat penulis, Kemendagri dalam kapasitasnya sebagai salah satu ”pintu masuk” bagi proposal pemekaran daerah sulit dipercaya untuk tidak terlibat dalam spektrum bias kepentingan elite tersebut.

Oleh karena itu, tantangan bagi Pak Menteri dan Dirjen Otda adalah ”bersih-bersih rumah sendiri” sebelum melangkah lebih jauh mengelola dan mengendalikan bias kepentingan elite pada konteks yang lebih luas.

Bias Kepentingan Elite

Sejatinya keberadaan dari kepentingan implisit para elite di balik ”proyek” pemekaran daerah tersebut bukanlah sesuatu yang luar biasa, tatkala kecenderungan ini diartikulasi pada konteks praktik politik praktis. Bias kepentingan elite di Indonesia, kemudian, terkesan sangat masif karena secara kebetulan berkoinsidensi dengan realitas transisi demokrasi yang sedang terjadi.

Secara teoretis, di antara karakteristik penting dari periode transisi adalah, proses pengambilan keputusan ataupun implementasi kebijakan, baik di tingkat nasional maupun daerah, lebih banyak diwarnai oleh koalisi dan tawar-menawar kepentingan antara elite masyarakat (societal actors) pada satu sisi dan elite penyelenggara negara (state actors) pada sisi lain. Oleh karena itu, apa yang dapat kita lakukan bukanlah menihilkan bias kepentingan elite, melainkan lebih pada upaya meminimalkan keberadaannya.

Pengendalian bias kepentingan elite memang bukan pekerjaan mudah karena aktor yang terlibat sangat kompleks dan sifatnya multilevel. Kegagalan kebijakan moratorium pemekaran daerah, yang sedikitnya telah dua kali dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007 dan 2010), antara lain, karena sulitnya mendeteksi dan memutus ”jaringan multilevel” para elite tersebut. Apa kemudian yang terjadi?

Kebijakan moratorium telah melahirkan praktik ”politik buka-tutup pintu”. Pihak eksekutif, dalam hal ini Kemendagri dan Kementerian Keuangan, menginginkan untuk sementara menutup pintu pemekaran daerah setelah mempertimbangkan biaya sosial, politik, dan anggaran yang ditimbulkannya. Sementara pihak ”Senayan” (DPR dan DPD) membuka pintu untuk itu.

Hentikan Pemekaran Daerah?

Menutup sama sekali peluang untuk pemekaran daerah sejatinya bukanlah solusi yang terbaik atau bahkan cenderung melanggar prinsip tata pemerintahan. Artinya, pemekaran daerah boleh saja dilakukan bila memang secara riil dapat menjamin terwujudnya peningkatan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan terciptanya tatanan kehidupan demokratis di daerah.

Namun, untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya bias pemekaran daerah, maka dua prinsip lainnya—penggabungan dan penghapusan daerah—juga harus ditegakkan. Tiga prinsip inilah yang selanjutnya saya sebut dengan terminologi ”kembar siam” pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah.

Persoalannya adalah, sejauh ini, di Indonesia hanya getol merealisasikan prinsip pemekaran daerah, sementara prinsip penggabungan dan penghapusan daerah sama sekali tidak mendapat perhatian. Akibatnya, tidak mengherankan jika kemudian pemekaran daerah telah menjadi komoditas yang menggiurkan bagi para elite dan cenderung tidak terkendali karena tidak ada sanksi untuk penggabungan kembali atau bahkan penghapusan daerah.

Inisiatif yang telah dilakukan oleh pihak pemerintah pusat, khususnya Kemendagri, untuk menerapkan ”status bertahap” bagi daerah otonom baru hasil pemekaran pada revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah langkah yang patut diapresiasi.

Dengan status sebagai ”daerah administratif” pada tahap awal terbentuknya daerah baru hasil pemekaran tersebut (tidak langsung berstatus sebagai daerah otonom), diharapkan tidak saja akan berimplikasi pada penghematan anggaran pemerintah (mengingat belum memerlukan eksistensi DPRD, pilkada, dan dinas-dinas daerah terlalu banyak), tetapi juga dapat mengurangi ”syahwat politik” para elite (elite massa ataupun penguasa) untuk ”memprovokasi” pemekaran daerah.

Namun, langkah yang telah dilakukan oleh Kemendagri tersebut akan memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap upaya pengendalian bias kepentingan elite, jika juga disertai dengan tindakan nyata dalam merealisasikan prinsip penggabungan dan penghapusan daerah.

Untuk itu, seyogianya, pihak Kemendagri tidak perlu ragu untuk mengumumkan kepada publik tentang hasil evaluasi yang telah dilakukan terhadap daerah otonom baru hasil pemekaran, dan selanjutnya mengambil langkah konkret dalam menangani daerah-daerah yang termasuk pada kategori tidak berhasil atau gagal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar