Mursi dan
Dekritnya
Rhevy Adriade Putra ; Mahasiswa Post-graduate Kingston University London
|
REPUBLIKA,
29 November 2012
Sangat
menarik bagi kita untuk mengamati peristiwa yang saat ini tengah terjadi di
Mesir. Semakin jelas, Mesir telah berhasil menjadi pusat perhatian dunia yang
baru. Hal ini dimulai ketika munculnya fenomena Arab spring di beberapa
negara Timur Tengah di mana khusus bagi negara Mesir, sejarah telah mencatat
bahwa Muhammad Mursi adalah orang sipil pertama yang memegang jabatan
presiden Mesir melalui pemilu yang demokratis.
Pada
masa pemerintahan Mursi, kita juga melihat Mesir telah memainkan peran utama
sebagai mediator konflik Israel-Palestina baru-baru ini bersama dengan
Amerika Serikat. Kemudian, tidak lama setelah kesepakatan gencatan senjata
antara Israel dan Hamas berhasil dipenuhi, dunia kembali menyoroti Mesir
akibat dekrit Mursi yang dikeluarkan pada Kamis lalu (22/12).
Banyak
diskusi setelah dekrit tersebut dikeluarkan, baik pro-Mursi maupun kontra-Mursi.
Bahkan, lapangan Tahrir pun kembali ramai dengan para pengunjuk rasa yang
tidak setuju dengan dekrit Mursi, meskipun tidak seramai demonstrasi
besar-besaran mendesak Mubarak lengser ke prabon.
Terkait
dua mainstream diskusi atas keputusan Mursi, apa pun alasan yang disampaikan
oleh pro-Mursi, saya percaya bahwa apa yang telah dilakukan Mursi melalui
dekritnya berten tangan dengan esensi demokrasi. Hal ini karena Mursi melalui
dekritnya telah menempatkan dirinya di atas hukum, sedangkan semangat
demokrasi adalah berdasarkan kepada gagasan keseimbangan kekuasaan (balance of power).
Namun, sementara banyak pengamat serta media yang tampaknya terinspirasi oleh apa yang el-Baradai tuliskan di dalam akun twitter miliknya, dengan mengatakan bahwa Mursi telah menjadi Firaun yang baru di Mesir baru, saya lebih memilih untuk mempertimbangkan Mursi sebagai seorang Cincinnatus, bukan Firaun baru. Saya juga percaya bahwa Mursi melalui otoritas ini bisa melindungi sebuah proses yang bertujuan untuk membangun suatu sistem demokrasi, meskipun ini adalah cara yang tidak lazim untuk membangun demokrasi (Brown, 2012).
Ada
beberapa alasan yang mendasari argumen ini. Pertama, sejarah memberi tahu
kita bahwa meskipun kedua tokoh di atas --Firaun dan Cincinnatus--
adalah sama-sama seorang diktator. Secara esensi mereka berdua saling berbeda. Cincinnatus (Lucius Quinctius Cincinnatus, 520 SM-430 SM) adalah seorang pahlawan Romawi yang menggunakan kekuasaan absolut karena itu adalah satu-satunya pilihan yang harus diambil akibat situasi Romawi yang sengit, dan di saat yang bersamaan pejabat-pejabat Romawi juga bersepakat untuk menunjuk seorang diktator.
Meskipun
ia seorang diktator, menariknya adalah Cincinnatus segera mengundurkan diri
dari kekuasaan absolutnya seiring dengan berakhirnya krisis. Hal inilah yang
kemudian menjadi alasan mengapa bangsa Romawi menganggap Cincinnatus sebagai
orang terhormat, yang rendah hati dan tidak memiliki ambisi pribadi
(Hillyard, 2001). Apa yang dilakukan oleh Cincinnatus tentu jelas berbeda
dengan Firaun yang mempertahankan kekuasaannya seumur hidupnya.
Kedua,
beberapa pasal yang disebutkan oleh Mursi di dalam dekritnya sudah jelas
mengatakan kepada publik bahwa dengan diterbitkannya dekrit tersebut, bukan
berarti Mursi berkeinginan untuk menjadi orang yang paling berkuasa di Mesir
seumur hidup. Pasal kedua contohnya (dari tujuh pasal yang ada di dalam dekrit).
Pada pasal ini, kita bisa menangkap pesan sederhana yang mengatakan meskipun
keputusan tersebut membuatnya `kebal' hukum, karena tidak ada yang bisa
membatalkan peraturan yang ia buat, kekuasaan itu hanya berlaku sementara
waktu. Keputusan berlaku hingga majelis konstituante menyelesaikan tugas
untuk merumuskan konstitusi baru kemudian memilih kembali anggota legislatif
baru, yang sebelumnya telah dibubarkan oleh militer.
Setelah tujuan ini tercapai, secara otomatis dekrit dengan sendirinya menjadi
batal. Dengan demikian, Mursi ingin menyampaikan pesan kepada publik bahwa
mereka tidak perlu merasa khawatir, tetapi perlu mendukung dekrit ini untuk
mempertahankan revolusi.
Ketiga,
dalam hal revolusi, menurut saya, apa yang telah dilakukan Mursi sebenarnya
tidak sepenuhnya salah dan dalam batas tertentu masih dapat diterima.
Revolusi dalam pengertian perubahan yang fundamental dalam struktur kekuasaan
politik dan sistem sosial (Tanter & Midlarsky, 1967) sepertinya sudah
menjadi kesepakatan bersama bahwa untuk mencapai tujuan revolusi, pemerintah
yang baru harus memastikan pembersihan unsur-unsur rezim sebelumnya, terutama
elemen-elemen yang dapat menghambat tujuan revolusi.
Hal ini penting untuk
memastikan revolusi yang akan membawa negara itu ke pemerintahan yang lebih
baik dan kemajuan pembangunan ekonomi dapat terlaksana.
Hal
yang sama, misalnya, ketika terjadi revolusi bunga di Portugal pada
1974. Pada saat itu militer dan sipil
berhasil menggulingkan rezim otoritarian Estado Novo, kemudian mengubahnya
menjadi rezim baru yang demokratis (Fishman, 2011). Dan, gagasan ini sangat
jelas dalam pasal 1, yakni Mursi menegaskan kembali usaha penegakan hukum
terhadap elemen rezim lama dan pasukan keamanan yang bertangungjawab atas
korban jiwa semasa revolusi 25 Januari. Hal ini kembali ditegaskan oleh Mursi
karena kasus ini sempat ‘dibersihkan’ oleh jaksa agung yang lama.
Pada
akhirnya, meskipun argumen-argumen di atas bisa kita jadkan pembenaran
terhadap alasan Mursi mengeluarkan dekrit untuk kepentingan melindungi
revolusi, apa yang telah dilakukan Mursi jelas adalah cara yang tidak lazim,
jika tidak aneh, untuk membangun demokrasi. Apa yang bisa kita lakukan ke
depan, sebagai pengamat dan publik pada umumnya, hanyalah berusaha seoptimal
mungkin untuk memantau jalannya revolusi Mesir agar tetap berada pada jalur
yang benar, serta menghindari terjadinya peningkatan eskalasi bentrokan
antarmassa, antara kelompok pro-Mursi dan kontra-Mursi.
Bersamaan
dengan itu, Mursi juga harus bisa menjamin dan meyakinkan publik bahwa ia
enggan menjadi Firaun. Tapi, tunjukkan
dirinya sebagai pemimpin yang berusaha sekuat tenaga menjadikan Mesir lebih
baik layaknya Cincinnatus, yang menjadikan bangsa Romawi sebagai bangsa yang
kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar