Sabtu, 01 Desember 2012

Mursi dan Dekritnya


Mursi dan Dekritnya
Rhevy Adriade Putra ; Mahasiswa Post-graduate Kingston University London
REPUBLIKA, 29 November 2012


Sangat menarik bagi kita untuk mengamati peristiwa yang saat ini tengah terjadi di Mesir. Semakin jelas, Mesir telah berhasil menjadi pusat perhatian dunia yang baru. Hal ini dimulai ketika munculnya fenomena Arab spring di beberapa negara Timur Tengah di mana khusus bagi negara Mesir, sejarah telah mencatat bahwa Muhammad Mursi adalah orang sipil pertama yang memegang jabatan presiden Mesir melalui pemilu yang demokratis.

Pada masa pemerintahan Mursi, kita juga melihat Mesir telah memainkan peran utama sebagai mediator konflik Israel-Palestina baru-baru ini bersama dengan Amerika Serikat. Kemudian, tidak lama setelah kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas berhasil dipenuhi, dunia kembali menyoroti Mesir akibat dekrit Mursi yang dikeluarkan pada Kamis lalu (22/12).

Banyak diskusi setelah dekrit tersebut dikeluarkan, baik pro-Mursi maupun kontra-Mursi. Bahkan, lapangan Tahrir pun kembali ramai dengan para pengunjuk rasa yang tidak setuju dengan dekrit Mursi, meskipun tidak seramai demonstrasi besar-besaran mendesak Mubarak lengser ke prabon.

Terkait dua mainstream diskusi atas keputusan Mursi, apa pun alasan yang disampaikan oleh pro-Mursi, saya percaya bahwa apa yang telah dilakukan Mursi melalui dekritnya berten tangan dengan esensi demokrasi. Hal ini karena Mursi melalui dekritnya telah menempatkan dirinya di atas hukum, sedangkan semangat demokrasi adalah berdasarkan kepada gagasan keseimbangan kekuasaan (balance of power).

Namun, sementara banyak pengamat serta media yang tampaknya terinspirasi oleh apa yang el-Baradai tuliskan di dalam akun twitter miliknya, dengan mengatakan bahwa Mursi telah menjadi Firaun yang baru di Mesir baru, saya lebih memilih untuk mempertimbangkan Mursi sebagai seorang Cincinnatus, bukan Firaun baru. Saya juga percaya bahwa Mursi melalui otoritas ini bisa melindungi sebuah proses yang bertujuan untuk membangun suatu sistem demokrasi, meskipun ini adalah cara yang tidak lazim untuk membangun demokrasi (Brown, 2012).

Ada beberapa alasan yang mendasari argumen ini. Pertama, sejarah memberi tahu kita bahwa meskipun kedua tokoh di atas --Firaun dan Cincinnatus--
adalah sama-sama seorang diktator. Secara esensi mereka berdua saling berbeda. Cincinnatus (Lucius Quinctius Cincinnatus, 520 SM-430 SM) adalah seorang pahlawan Romawi yang menggunakan kekuasaan absolut karena itu adalah satu-satunya pilihan yang harus diambil akibat situasi Romawi yang sengit, dan di saat yang bersamaan pejabat-pejabat Romawi juga bersepakat untuk menunjuk seorang diktator.

Meskipun ia seorang diktator, menariknya adalah Cincinnatus segera mengundurkan diri dari kekuasaan absolutnya seiring dengan berakhirnya krisis. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa bangsa Romawi menganggap Cincinnatus sebagai orang terhormat, yang rendah hati dan tidak memiliki ambisi pribadi (Hillyard, 2001). Apa yang dilakukan oleh Cincinnatus tentu jelas berbeda dengan Firaun yang mempertahankan kekuasaannya seumur hidupnya.

Kedua, beberapa pasal yang disebutkan oleh Mursi di dalam dekritnya sudah jelas mengatakan kepada publik bahwa dengan diterbitkannya dekrit tersebut, bukan berarti Mursi berkeinginan untuk menjadi orang yang paling berkuasa di Mesir seumur hidup. Pasal kedua contohnya (dari tujuh pasal yang ada di dalam dekrit). Pada pasal ini, kita bisa menangkap pesan sederhana yang mengatakan meskipun keputusan tersebut membuatnya `kebal' hukum, karena tidak ada yang bisa membatalkan peraturan yang ia buat, kekuasaan itu hanya berlaku sementara waktu. Keputusan berlaku hingga majelis konstituante menyelesaikan tugas untuk merumuskan konstitusi baru kemudian memilih kembali anggota legislatif baru, yang sebelumnya telah dibubarkan oleh militer.

Setelah tujuan ini tercapai, secara otomatis dekrit dengan sendirinya menjadi batal. Dengan demikian, Mursi ingin menyampaikan pesan kepada publik bahwa mereka tidak perlu merasa khawatir, tetapi perlu mendukung dekrit ini untuk mempertahankan revolusi.

Ketiga, dalam hal revolusi, menurut saya, apa yang telah dilakukan Mursi sebenarnya tidak sepenuhnya salah dan dalam batas tertentu masih dapat diterima. Revolusi dalam pengertian perubahan yang fundamental dalam struktur kekuasaan politik dan sistem sosial (Tanter & Midlarsky, 1967) sepertinya sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa untuk mencapai tujuan revolusi, pemerintah yang baru harus memastikan pembersihan unsur-unsur rezim sebelumnya, terutama elemen-elemen yang dapat menghambat tujuan revolusi. 

Hal ini penting untuk memastikan revolusi yang akan membawa negara itu ke pemerintahan yang lebih baik dan kemajuan pembangunan ekonomi dapat terlaksana.

Hal yang sama, misalnya, ketika terjadi revolusi bunga di Portugal pada 1974.  Pada saat itu militer dan sipil berhasil menggulingkan rezim otoritarian Estado Novo, kemudian mengubahnya menjadi rezim baru yang demokratis (Fishman, 2011). Dan, gagasan ini sangat jelas dalam pasal 1, yakni Mursi menegaskan kembali usaha penegakan hukum terhadap elemen rezim lama dan pasukan keamanan yang bertangungjawab atas korban jiwa semasa revolusi 25 Januari. Hal ini kembali ditegaskan oleh Mursi karena kasus ini sempat ‘dibersihkan’ oleh jaksa agung yang lama.

Pada akhirnya, meskipun argumen-argumen di atas bisa kita jadkan pembenaran terhadap alasan Mursi mengeluarkan dekrit untuk kepentingan melindungi revolusi, apa yang telah dilakukan Mursi jelas adalah cara yang tidak lazim, jika tidak aneh, untuk membangun demokrasi. Apa yang bisa kita lakukan ke depan, sebagai pengamat dan publik pada umumnya, hanyalah berusaha seoptimal mungkin untuk memantau jalannya revolusi Mesir agar tetap berada pada jalur yang benar, serta menghindari terjadinya peningkatan eskalasi bentrokan antarmassa, antara kelompok pro-Mursi dan kontra-Mursi.

Bersamaan dengan itu, Mursi juga harus bisa menjamin dan meyakinkan publik bahwa ia enggan menjadi Firaun.  Tapi, tunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang berusaha sekuat tenaga menjadikan Mesir lebih baik layaknya Cincinnatus, yang menjadikan bangsa Romawi sebagai bangsa yang kuat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar