BP Migas dan
Ilusi Kedaulatan
Giri Ahmad Taufik ; Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia
|
KOMPAS,
30 November 2012
Pernyataan hak penguasaan negara atas
sumber daya alam dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menandakan dua pernyataan
politik penting terhadap pengelolaan sumber daya alam Indonesia.
Pertama, bahwa negara memiliki peran luas
di dalam pemanfaatan sumber daya alam. Kedua, kedaulatan negara terhadap
kekayaan sumber daya. Keduanya sejatinya adalah litmus test (pernyataan uji)
untuk menilai kesesuaian setiap produk undang-undang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam dengan UUD 1945. Konstruksi dari keduanya
merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan dan saling terkait satu sama lain.
Banyak kalangan menilai bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU/2012 terkait dengan Pengujian UU Migas
merupakan sebuah kemenangan konstitusional penting bagi penguasaan negara
atas sumber daya alam. Namun, jika kita menggunakan konstruksi tafsir di
atas, penilaian tersebut tidak sepenuhnya benar, bahkan dapat dikatakan
merupakan sebuah ilusi.
Penilaian itu muncul karena MK justru
menolak permohonan subtantif dari pemohon (PP Muhammadiyah dan kawan-kawan)
terkait dengan konstitusionalitas Kontrak Kerja Sama Lainnya dalam UU Migas.
Penolakan terhadap permohonan ini merupakan pengingkaran terhadap pernyataan
kedaulatan negara sebagai representasi rakyat Indonesia atas minyak dan gas
yang terkandung di dalam bumi Indonesia.
Status Hukum BP Migas
Salah satu pertimbangan utama dari MK dalam
menyatakan BP Migas inkonstitusional adalah bahwa keberadaan BP Migas
menghalangi pengelolaan oleh pemerintah secara langsung terhadap migas. Lebih
lanjut MK menjelaskan bahwa fungsi pengelolaan dan fungsi pengawasan
seharusnya dilakukan oleh pemerintah atau BUMN. Pemisahan yang demikian
menyebabkan terjadinya inefisiensi dan lepasnya kontrol pemerintah terhadap
tahap pengelolaan pada tingkat pertama dan paling utama, yaitu eksplorasi dan
eksploitasi migas secara langsung.
Jika kita mengonstruksikan argumentasi di
atas ke dalam pernyataan uji pertama, BP Migas seharusnya merupakan lembaga
yang konstitusional. Hal ini karena BP Migas merupakan representasi
pemerintah sebagai badan hukum milik negara.
Pemisahan antara pengelolaan oleh badan
usaha/badan usaha tetap dengan pengawasan yang dilakukan oleh BP Migas,
justru merupakan poin konstitusional penting dari keberadaan BP Migas. Hal
ini merupakan implementasi dari keberadaan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945
Amandemen IV, terkait dengan demokrasi ekonomi.
Kegagalan MK menafsirkan sistematik terkait
dengan keberadaan Pasal 33 Ayat (4) tersebut, justru menimbulkan komplikasi
konstitusional karena MK seolah-olah menafikan keberadaan pasal tersebut
dalam UUD 1945, yang kedudukannya setara dengan Pasal 33 Ayat (3).
Demokrasi ekonomi merupakan amanat penting
dari reformasi untuk mengoreksi praktik oligarki penguasaan sumber-sumber
ekonomi yang terjadi pada era Orde Baru. Pada industri migas, oligarki
tersebut terjadi ketika Pertamina, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1971, mengambil peran sebagai regulator sekaligus pengelola.
Pada praktiknya, pengelolaan yang demikian
hanya menciptakan kemakmuran bagi—meminjam istilah Goenawan
Mohamad—”kapitalis-kapitalis birokrat” yang mengendalikan Pertamina pada saat
itu.
Putusan MK menjadi problematik ketika MK
menolak permohonan terkait dengan permohonan pembatalan pasal-pasal terkait
Kontrak Kerja Sama Lainnya, di luar Kontrak Bagi Hasil. Salah satu
argumentasi MK di dalam menolak permohonan adalah bahwa hal tersebut menjadi
konstitusional karena terdapat kontrak kerja sama lain di luar Kontrak Bagi
Hasil, yang dapat memberikan keuntungan negara, seperti Kontrak Jasa.
Lebih lanjut, di dalam pertimbangan MK
terkait dengan Kontrak Kerja Sama disebutkan bahwa konstruksi kontrak kerja
sama karena bersifat keperdataan hanya dapat dilakukan antara swasta dan
swasta tidak dapat dilakukan antara pemerintah dan swasta.
Konsensi
Pemerintah harus memberikan konsensi/izin
seluruh wilayah kerja sama migas kepada swasta (BUMN) agar dapat melakukan
hubungan Kontrak Kerja Sama dengan pihak swasta lainnya (asing ataupun
nasional). Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa MK ingin
mengembalikan konstruksi pengelolaan migas pada konstruksi UU No 8/1971.
Padahal, jika kita dikonstruksikan dengan
litmus test kedaulatan negara atas migas, justru konstruksi Kontrak Kerja
Sama yang bersifat keperdataan adalah yang inkonstitusional. Kedaulatan migas
menghendaki negara sebagai pemilik migas yang dikeluarkan dari bumi
Indonesia.
Konsekuensi dari konstruksi ini adalah
negara sebagai pemilik, memiliki wewenang mutlak untuk menentukan harga
penjualan, menentukan jumlah produksi migas, dan menentukan area penjualan
migas. Dalam model-model kontrak pengelolaan migas di dunia, yang memberikan
kedaulatan terbesar bagi negara/pemerintah di dalam memiliki hasil migas
adalah model kontrak negara-negara Amerika Latin. Secara umum, negara-negara
Amerika Latin memiliki karakter konstitusi mirip dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD
1945.
Model kontrak yang dikembangkan adalah
Kontrak Jasa (service agreement).
Pada model kontrak ini, swasta, baik nasional maupun asing, diperlakukan
sebagai kontraktor pengebor migas sedangkan pemerintah sebagai entitas
pemberi kerja pengeboran (jure
gestionis). Model kontrak jasa ini memperlakukan kontraktor migas hanya
sebagai rekanan untuk melaksanakan suatu kegiatan layaknya penyelenggaraan
barang dan jasa pada umumnya oleh pemerintah.
Model kontrak ini mencegah pemberian
kepemilikan atas migas yang dihasilkan kepada swasta. Sehingga pemerintah
berdaulat penuh untuk menentukan harga jual, alokasi produksi, dan area
penjualan migas tersebut. Hal ini berbeda dengan kontrak-kontrak lainnya,
seperti model Kontrak Bagi Hasil, Perjanjian Partisipasi atau Joint Venture, yang masih mengakui
kepemilikan swasta terhadap migas yang dihasilkan. Seharusnya, yang perlu MK
lakukan ialah menegaskan prinsip kedaulatan migas ini dengan menyatakan bahwa
satu-satunya kontrak kerja sama yang konstitusional berdasarkan Pasal 33 Ayat
(2) adalah Kontrak Jasa.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa
putusan MK terkait dengan pembubaran BP Migas tidaklah memberikan harapan
sebesar yang terlihat. Justru sebaliknya, putusan tersebut hanya memberikan
ilusi terhadap berdaulatnya negara atas sumber daya migas untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pembubaran BP Migas oleh MK bahkan
menimbulkan tanda tanya besar mengingat konstruksi putusan MK menginginkan
pengembalian pengelolaan migas berdasarkan konstruksi UU No 8/1971 tentang
Pertamina. Jika memang demikian maksud dan tujuan MK, sangat disayangkan
bahwa MK telah melanggar konstitusi dengan mengabaikan ketentuan Pasal 33
Ayat (4) UUD 1945 Amandemen IV. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar