Pemberdayaan
Pemerintahan Desa
Tasroh ; Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Desember 2012
UNJUK rasa perangkat desa menuntut pengesahan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Desa di depan kompleks parlemen, Jumat (14/12), dengan
cara-cara anarkistis benar-benar jauh dari spirit membangun tata kelola desa
sesuai dengan amanat RUU Desa itu sendiri. Lantaran perilaku yang demikian
kasar dipertontonkan para perangkat desa itu, antipati pun datang
bertubi-tubi.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo, misalnya, tak bisa
membayangkan seandainya pemerintah benar-benar mengabulkan perangkat desa
seluruh Indonesia diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Di samping
butuh duit tak kurang dari Rp57 triliun, juga menjadi kian mustahil apabila
caloncalon PNS dari unsur perangkat desa model demikian menjadi PNS. Dari
sekilas perilaku brutal yang ditampilkan beberapa kasus demo perangkat desa
selama ini, tak layak lagi mereka menjadi PNS.
Sebaliknya, seperti disebutkan pakar komunikasi politik
dari UI, Effendy Ghozali, (2012) sikap kasar dan anarkistis yang ditampilkan
perangkat desa selama ini merupakan titik kulminasi perangkat desa yang
selama ini selalu merasa ‘dikibuli’ elite politik dan pemerintahan. Banyak
elite politik yang menjadikan perangkat desa sebagai basis dukungan politik
dengan memberikan dan menjanjikan ‘pepesan kosong’ terkait dengan status
perangkat desa yang diprovokasi dapat menjadi PNS.
Terlepas dari pro-kontra demo perangkat desa beberapa
waktu lalu, kehadiran RUU Desa yang digagas pemerintah setelah didesak elite
politik tertentu sebenarnya menjadi ‘bola api’ baru bagi implementasi otonomi
daerah itu sendiri. Disebut demikian karena spirit RUU Desa justru
kontradiktif dengan amanat otonomi daerah bahwa otonomi hanya berada di level
kabupaten/kota, bukan desa.
Pakar hukum tata negara Saldi Isra menyebutkan, RUU Desa
banyak menyimpan bom waktu kekacauan tata kelola otonomi daerah. Hal itu
terjadi karena RUU Desa yang kini masih menjadi alat politik elite parpol di
Senayan justru memancing kekacauan tata kelola daerah versus desa. Padahal
spirit agung adanya UU Desa sebenarnya untuk memberdayakan potensi dan
kemampuan sumber daya desa agar dapat menjadi motor utama implementasi daerah
(kabupaten/kota). Sayang, misalnya, pasal tentang otonomi pengelolaan
keuangan (Pasal 23) RUU Desa justru terkesan memprovokasi desa supaya
`menuntut' hak budgeting, dan menjauhkan diri dari upaya desa melakukan
pengembangan dan pemberdayaan potensi serta sumber dayanya sebagai
manifestasi otonomi desa itu sendiri.
Predikat Disclaimer
Padahal, diakui atau tidak, 100% desa di Indonesia yang
diperkirakan mencapai lebih dari 9 juta desa notabene belum mampu mandiri
dalam mengembangkan dan memberdayakan sumber-sumber pembangunan,
pemerintahan, dan layanan publiknya, karena berbagai kendala internal dan eksternal
pemerintahan desa itu sendiri.
Bukti paling nyata ialah temuan BPK RI (2012) yang
menyebutkan bahwa selama periode 2004-2009, laporan keuangan pemerintah desa
seluruh Indonesia yang telah diberi kewenangan untuk membelanjakan dana
alokasi desa (DAD)--per desa sejak 2004 minimal mendapatkan jatah dana
pembangunan desa dari pemerintah kabupaten/kota mencapai Rp20 juta-200 juta
(tergantung PAD kabupaten/ kota)--80% mendapat predikat disclaimer. Sebagian besar keuangan desa-desa itu dikelola
amburadul.
Dari kasus gagalnya tata kelola pemerintahan desa,
termasuk kemampuan pengelolaan keuangan desa yang jeblok itu, ternyata
masalahnya kompleks. Hal itu bukan semata-mata karena perangkat desa
berstatus pegawai turuntemurun yang bekerja ala ka darnya sehingga perlu
ditingkatkan status kepegawaiannya menjadi PNS sesuai harapan perangkat desa,
melainkan karena mental dan kompetensi perangkat desa sendiri yang masih
babak belur.
Tidak bisa dibayangkan seandainya model perangkat
pemerintah demikian secara otomatis diangkat menjadi PNS. Apa sebenarnya yang
perlu dikembangberdayakan perangkat dan pemerintah desa ke depan untuk
merespons dinamika masyarakat dan tuntutan otonomi desa dengan spirit RUU
desa itu?
Bukan Status Kepegawaian
Berangkat dari persoalan tersebut, hemat penulis, kemelut
dan sengkarut tata kelola pemerintahan desa bukanlah pada persoalan karena
perangkat desa bukan PNS. Hal itu lantaran justru ketika perangkat desa
dijadikan PNS, pemerintah akan mengulangi kesalahan kembali seperti kasus
pengangkatan guru dan pegawai honorer menjadi CPNS beberapa waktu lalu.
Kini kebijakan `politis' pemerintah yang mengangkat tenaga
honorer menjadi CPNS pun belum 100% rampung. Sebab faktanya tak hanya
menguras anggaran negara/daerah, tetapi juga model pengangkatan sekadar
berdasarkan `belas kasihan'. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (2012), menyebutkan mutu PNS kita amat jeblok. Hal itu
lantaran model seleksi tanpa seleksi ketat dan cenderung mengangkat tenaga
honorer yang dekat kekuasaan/ penguasa daerah.
Riset LPM UI juga menyebutkan, 80% tenaga honorer yang
diangkat menjadi PNS berkinerja buruk dengan ciri semakin pemalas dan kurang
berorientasi kepada prestasi kerja dan kinerja. Untuk alasan tersebut, diakui
atau tidak, di sisi yang lain, pemerintah daerah sebagai pihak terdekat dalam
pendelegasian tugas dan kewenangan tata kelola desa kepada perangkat desa
masih berjalan tanpa gereget.
Kondisi tersebut khususnya dalam distribusi
kesejahteraan dan kemakmuran warga desa pada umumnya. Banyak potensi dan
kemampuan desa justru `dimakan habis' oleh pemkab/kota tanpa empati kepada
rakyat dan perangkat desa. Padahal dalam hal peran sertanya pemerintahan desa
terhadap pelayanan publik di desa serta partisipasi aktif menggalang
pemasukan pendapatan asli daerah serta pajak negara, perangkat desa juga tak
boleh dianggap remeh.
Namun faktanya, perlakuan yang mereka terima kerap quo
vadis! Bahkan di banyak kabupaten/kota, seperti riset Fitra (2012), banyak
desa yang dibiarkan tanpa anggaran dan bantuan keuangan kabupaten/ kota
sehingga terputuskan mekanisme kerja antara pemerintah kabupaten/kota dan
desa. Akibatnya, konflik dan perseteruan bagi-bagi kue pemerintah pusat
antara kabupaten/kota dan desa selalu muncul.
Oleh karena itu, simpulan penulis, kemelut aparat desa
sebenarnya bukanlah semata soal ketidakjelasan status kepegawaian perangkat
desa, melainkan lebih karena berjalannya diskriminasi penghargaan dan
keadilan antara pemerintah kabupaten/kota dan desa itu sendiri.
Pada level demikian, hanya ada dua langkah yang mendesak
dilakukan pemerintah saat ini guna mencegah eskalasi tuntutan berlebihan
perangkat desa. Pertama, pemerintah harus menegaskan kembali lewat
pasal-pasal yang realistis dalam RUU Desa yang kini sudah di tangan DPR.
Perangkat desa yang menuntut UU Desa kelak mengatur pengangkatan perangkat
desa menjadi PNS, penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8
atau 10 tahun, serta pengalokasian dana desa harus ditempatkan secara
proporsional dan profesional.
Kedua, kedua di saat yang sama pemerintah harus pula tegas
kepada para provokator elite parpol/anggota legislatif yang selama ini
menebar `pepesan kosong' RUU Desa dengan aneka janji manipulatifnya. Karena
harus diakui, lahirnya perilaku anarkistis perangkat desa lantaran banyak di
antara mereka telah mendapatkan pemahaman sesat dengan menjanjikan
memperjuangkan perangkat desa menjadi PNS.
Ke depan, perangkat desa sebagai simbol keutuhan dan
kedewasaan pemerintahan desa semestinya berunjuk rasa tanpa berbuat
anarkistis. Sikap seperti memblokade jalan tol dan merusak fasilitas umum
menjadi kontraproduktif terhadap perjuangan mereka.
Di sisi lain, aksi anarkistis itu
tak terlepas dari kegagalan pemerintah dan DPR dalam berkomunikasi dengan
perangkat desa. DPR gagal berkomunikasi karena senantiasa memberi janji dan
harapan palsu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar