Mencerdaskan
Spiritualitas Politik
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
|
SUARA
KARYA, 20 Desember 2012
Publik negeri ini tampaknya
semakin prihatin, sinis dan kecewa dengan perilaku para politisi yang jauh
dari etika dan moralitas politik. Itu karena semakin banyaknya politisi yang
terjerat kasus suap dan korupsi serta berbagai bentuk percaloan politik
lainnya yang mencederai nurani rakyat. Untuk itu pula, publik pun terus
bertanya, apa yang sebenarnya dicari para politisi itu dalam berpolitik;
apakah untuk mendapatkan kemuliaan dan kehormatan dalam berpolitik atau hanya
mengejar kekayaan dan kenik-matan hidup duniawi?
Perilaku para politisi seperti
itu, bukan saja cermin rendahnya keadaban politik dan keroposnya nurani,
tetapi juga sebagai cermin dari politisi tidak beretika dan tidak moralis,
atau tidak memiliki spiritualitas politik. Sepak terjang politik mereka
berada di luar bingkai moralis, yang tidak menjadikan moralitas sebagai
pedoman dalam setiap jejak langkah politiknya.
Padahal, sebenarnya politik itu
memiliki seni dan keindahan, sebagaimana hakikat politik yang telah dikmandangkan
filsuf klasik Yunani, Aristoteles dan Plato. Yakni, sebagai sarana untuk
menata dan mengatur negara dalam rangka menciptakan kebaikan bersama (common
goods) atau kesejahteraan rakyat. Itu pulalah cermin dari etika politik
tertinggi, yakni berjuang untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, dan tidak
hanya untuk mendapatkan keuntungan dan kehormatan diri dan kelompok.
Politisi tanpa moral, yang juga
mencerminkan rendahnya keadaban politik dan keroposnya nurani, pada
hakikatnya menggambarkan matinya kecerdasan spiritual politik. Kecerdasan
moral ini memberikan kemampuan bawaan untuk membedakan yang benar dan yang
salah. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang membawa kebenaran dan
mewartakan kebaikan, keadilan dan kesantunan dalam kehidupan politik.
Berpolitik berdasarkan nilai-nilai
spiritual, memandang politik sebagai sarana untuk meraih tujuan mulia, yaitu
menciptakan kesejahteraan rakyat. Politisi macam ini akan melihat politik
sebagai jalan luhur menuju terciptanya kesejahteraan rakyat, bukan untuk
kemuliaan diri diri. Ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam
berpolitik. Bukan sebaliknya, selalu memegahkan diri atau mementingkan
keuntungan bagi diri dan kelompoknya.
Menurut Danah Zohar dan Ian
Marshall dalam buku Spiritual Quotient (2004), seseorang yang menjalankan
hidupnya berdasarkan nilai-nilai spiritual, hidupnya akan lebih bermakna.
Sedangkan Ari Qynanjar Agustian dalam buku ESQ Power (2009) mengatakan,
sangatlah baik jika kecerdasan spiritual itu diintegrasikan dengan kecerdasan
emosional. Bahwa in-tegrasi antara kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual sangat penting untuk kedewasaan dan kematangan politik. Alam pikir
politik dan emosi yang benar hanya akan tumbuh subur pada hati seorang
politisi yang bersih.
Jadi, kecerdasan seorang politisi
secara spiritual, me-mudahkan terbangunnya emosi yang cerdas dalam
berpolitik. Dengan kecerdasan spiritual dan emosi-nya, sang politisi akan
selalu bertindak secara positif dalam berpolitik, dan menjauhkan segala
perilaku buruk yang menodai kemuliaan, kehormatan dan harga diri dengan
meletakkan etika dan moralitas politik di atas segala-galanya hingga menjadi
negarawan yang memiliki keutamaan-keutamaan moral. Politisi macam ini
memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan rakyat.
Tujuan etika politik da-lam
pandangan Paul Ricoeur (1990) adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan
untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkungan kebebasan dan membangun
institusi-institusi yang adil. Menurut Ricoeur, etika politik itu tidak hanya
menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif
(etika sosial).
Sulit, mengharapkan ke-sejahteraan
rakyat lahir dari pemikiran dan tindakan para politisi yang tidak memiliki
kecerdasan spiritual, emosional, yang bersangarkan pada moral dan etika.
Tanpa itu semua, sulit mengharapkan perilaku dan sikap yang penuh simpatik
pada rakyat, dan memperjuangkan perbaikan nasib dan kesejahteraan rakyat.
Sebab, etika politik tertinggi adalah mencipakan kesejahteraan rakyat.
Jadi, bagaimana kita bisa berharap
dapat terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran di tengah rakyat, jika para
politisi kita doyan menerima suap dan gemar berkorupsi serta berperilaku
tidak bermoral dan tidak beretika? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab oleh
para politisi kita dalam rangka pencerdasan dan pencerahan kehidupan politik
rakyat.
Yang sangat dibutuhkan saat ini
adalah perbaikan karakter dan pemenuhan spiritualitas politik bagi politisi
kita agar cerdas, santun dan beretika. Dan, mengharapkan perbaikan karakter
politisi hanya dengan imbauan-imbauan moral sama artinya dengan menggarami
lautan. Harapan ini merupakan sebuah tuntutan yang telah mencapai titik
urgensinya, tatkala nasib rakyat kecil sudah terlalu lama terabaikan dalam
tata politik negara dan kehidupan politik negara semakin jauh dari etika dan
moralitas.
Tanpa perbaikan karakter dan
pencerdasan spiritualitas politik dari para politisi, kita sulit menemukan
lorong masa depan kesejahteraan rakyat yang konkret. Para politisi mungkin
dapat berkilah bahwa mereka sudah bertindak cerdas penuh etika dalam
berpolitik. Namun, yang kembali menjadi persoalan adalah apakah kesulitan
rakyat selama ini sungguh menjadi 'energi' perjuangan politik mereka?
Kalau para politisi kita selalu
bermain-main dengan politik, bukan saja keadaban, kecerdasan dan kepencerahan
politik kita sulit terbangun, tetapi segala perkara penting bangsa ini
seperti pemberantasan korupsi, tidak serius dijalankan, dan mereka pun
semakin terjerembab jauh dalam perilaku korupsi. Akhirnya, bangsa ini kian
terkurung dalam ruang gelap, tanpa harapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar