Kepemimpinan
Tanpa Nyali
David Krisna Alka ; Peneliti Populis Institute dan Maarif Institute for Culture
and Humanity
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Desember 2012
APA makna penting dari kepemimpinan politik di tengah
berseraknya kasus korupsi di Tanah Air ini? Maknanya, ketidakpercayaan masyarakat
terhadap institusi politik makin tinggi.
Di Republik ini, ketika kader partai politik (parpol),
baik itu yang di legislatif maupun di eksekutif, terlibat korupsi, tidak ada
keputusan (ketulusan) dan peringatan yang cepat dilakukan kepemimpinan institusi
politik.
Patologi korupsi menghantui kepemimpinan di negeri ini.
Masyarakat yang dipimpin kepemimpinan yang cenderung korup bisa menjatuhkan
kepemimpinan. Dengan menarik pernyataan Xin Jinping (2012), korupsi
diibaratkan sebagai cacing yang berkembang biak di bagian yang membusuk.
Sebuah pepatah kuno China yang berarti kejatuhan bakal menimpa pihak yang
lemah. Artinya, dosa politik yang bernama korupsi bisa melemahkan
kepemimpinan dalam sebuah negeri.
Fakta menunjukkan korupsi menyebabkan pudarnya ke
percayaan masyarakat terhadap parpol. Mereka bahkan tidak percaya kepada
sebuah pemerintahan. Berpolitik bukan seperti mengunyah permen karet. Apabila
hilang rasa manisnya, lalu permen karetnya dilengketkan di atas kursi
kekuasaan. Itu berarti kekuasaan tanpa perasaan.
Pemberantasan korupsi di Indonesia terkesan begitu lambat.
Setiap pengadilan kasus korupsi tampak berlarut-larut dan memakan waktu
bertahun-tahun untuk menunggu koruptor masuk `kandang besi'. Aneh bin ajaib,
ada pula peristiwa saling gertak di antara pejabat negara soal keterlibatan
dalam korupsi.
Uji Nyali
Jadi, di mana letak kekuatan kenegarawanan seorang
pemimpin agar korupsi tak lagi menjadi masalah yang menendang-nendang hati
sanubari Ibu Pertiwi? Yang terjadi, seolah pemimpin tak punya nyali untuk
sigap memberantas korupsi. Pemimpin yang tak bernyali bikin rakyat sakit
hati.
Bayangkan, rakyat bercucuran keringat mencari sesuap nasi,
tapi teperd daya oleh pemimpin yang mereka pilih; presiden, gubernur, atau
bupati. Jika kekuasaan yang diraih dari hasil korupsi, pemimpin sebuah negeri
tak akan pernah punya nyali memberantas korupsi. Nyali pemimpin ada karena
kebersihan laku dan hati dalam berjuang meraih kekuasaan.
Bagi politisi, korupsi ialah dosa politik terberat jika
dibandingkan dengan dosa moral politik lainnya. Dosa politik yang tak akan
diampuni rakyat dan direlakan begitu saja. Jutaan rakyat Indonesia secara
langsung dimiskinkan akibat korupsi sehingga kesenjangan pendapatan,
kesenjangan pembangunan wilayah, dan kesenjangan sosial marak terjadi.
Mengibarkan tinggi-tinggi iklan antikorupsi malah menjilat
iklan sendiri. Koruptor menjadi parasit kepemimpinan politik. Uang menjadi
senjata politik paling ampuh dan alat praktis meraih puncak kepemimpinan
institusi politik. Itulah yang acap kali terjadi dalam dunia politik Indonesia
selama ini.
Menggelegaknya berahi kekuasaan dapat membuat lupa dari
mana banyaknya uang datang. Alhasil, peringatan kepada para petinggi partai
dan pejabat pemerin tah, jangan sekali-kali main-main dengan jabatan.
Mentang-mentang pejabat, seenaknya melangkahi hukum!
Sejarah sebagai sejarah kepemimpinan politik menjadi
sasaran kritik. Sejarawan Azyumardi Azra (2002: 163) mengatakan sejarah
tentang politik nyaris merupakan sejarah penguasa yang elitis, sejarah
tentang mainstream, atau mereka
yang dipandang sebagai mainstream. Maka, dalam sejarah politik seperti itu,
tak ada tempat bagi kaum papa, orang kecil, massa rakyat jelata, apalagi ke
lompok atau gerakan yang dipandang yang berada di luar mainstream.
Pemimpin politik yang membiarkan terjadinya
tindakan-tindakan korupsi ialah pemimpin yang sakit. Korupsi yang melibatkan
institusi politik dalam suatu kepemimpinan merupakan bagian dari kegagalan
pemimpin. Apalagi jika terjadi pembiaran, bakal tak ada lagi kewibawaan,
sebab tak ada kemampuan untuk meyakinkan (the
power to persuade).
Rasanya sulit bisa bernapas lega di negeri sendiri karena
pemberantasan korupsi berjalan lelet dan layu. Republik ini tak bisa hanya
berharap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Ahmad Syafii
Maarif (2011), negara ini tidak pernah serius memberantas korupsi. Mungkin
mereka mendengar, tetapi hati beku dan saraf kepekaan sudah mati.
Lambatnya memberantas berbagai persoalan kasus korupsi
karena itu dilakukan separuh hati. Ketulusan membela kebenaran-keadilan
bangsa dan negara tidak dilakukan sepenuh hati. Laku hidup bersih seolah tak
dihormati di negeri yang katanya berbudi pekerti.
Sebagian besar generasi muda belum lega hendak di ranah
politik mana semangat kebajikan kepemimpinan politik dibumikan. Sebagai
representasi semangat perubahan ke arah yang lebih baik, generasi muda
politik sebagai ahli waris masa depan kepemimpinan politik Indonesia pada
gilirannya menyiratkan keyakinan pada masa depan yang bermakna.
Esensi capaian dalam berpolitik yaitu menemukan kesadaran
baru berpolitik yang memanusiakan sehingga akan menemukan maknamakna
emansipatoris sebagai praksis pembebasan dan keadilan. Selain itu, tentu kita
menanti sosok kepemimpinan negeri yang punya nyali, bukan pemimpin yang cuma
mendengar tapi hati beku dan saraf kepekaan sudah mati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar