Sabtu, 01 Desember 2012

Kekerasan terhadap Wartawan


Kekerasan terhadap Wartawan
Agus Sudibyo ; Anggota Dewan Pers
KOMPAS, 01 Desember 2012


Pada era demokrasi dan keterbukaan, mungkinkah membayangkan suatu zona tanpa pemberitaan media? Mungkinkah memberlakukan larangan peliputan media di bidang tertentu?

Sejauh menyangkut kepentingan publik, tidak ada peristiwa yang boleh disembunyikan dari pers. Tak ada kasus publik yang luput dari pemburu berita dan setiap badan publik harus selalu siap menghadapi pemberitaan media. Kita dapat menuntut wartawan konsisten menaati kode etik dan tata krama, tetapi kita menjadi pelanggar hukum jika menghalangi wartawan mengakses fakta publik. Kita juga akan menjadi ”musuh publik” jika nekat melakukan tindak kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik.

Itulah yang tampak belum dipahami benar oleh TNI. Kekerasan terhadap wartawan oleh aparat TNI terus terjadi. Lima wartawan menjadi korban tindak kekerasan aparat TNI Angkatan Udara saat meliput jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 di Pekanbaru, Riau (16/10/2012). Video yang menggambarkan perwira TNI AU dengan bengis menendang dan mencekik wartawan lalu merampas kameranya tersebar luas. Kasus ini belum selesai, sudah terjadi insiden berikutnya. Fotografer Sumatera Ekspres mengaku dipukul aparat TNI AU ketika meliput demonstrasi warga di dekat Bandara Udara Palembang (22/11/2012).

Sikap Paradoks TNI

Kekerasan terhadap wartawan ini menunjukkan paradoks dalam sikap TNI terhadap pers. Di satu sisi TNI sesungguhnya cukup berhasil menunjukkan diri sebagai badan publik yang selalu tampil simpatik di hadapan pers. Jika badan publik lain sering kedodoran menghadapi pers, bahkan memandang wartawan sebagai momok yang perlu dihindari, tidak demikian halnya dengan TNI. Di depan wartawan, pemimpin TNI selalu siap dengan informasi dan tidak pelit pernyataan. Informasi dan pernyataan itu mungkin saja subyektif, tetapi pemimpin TNI berhasil mencitrakan diri sebagai sumber yang kooperatif.

Di sisi lain, ketika menghadapi situasi darurat, selalu terulang kejadian aparat TNI bertindak arogan atau kasar kepada warta- wan. Setiap kekerasan itu terjadi, TNI selalu dikecam dari segala penjuru. Nyatanya arogansi terulang lagi. Seakan-akan tidak segera dimaklumi bahwa kekerasan terhadap wartawan adalah isu yang sangat sensitif. Seakan-akan tidak disesali bahwa citra positif yang dibangun melalui strategi hubungan media itu pupus begitu saja hanya dalam dua hari ketika gelombang demonstrasi dan kecaman terhadap TNI terjadi di mana-mana.

Kedua, insiden kekerasan terhadap wartawan itu menunjukkan TNI belum sepenuhnya beranjak dari kultur kerahasiaan. Lembaga publik lain memang harus terbuka terhadap pers, tetapi tidak dengan instansi militer. Informasi tertentu memang akan dibagikan militer kepada wartawan, tetapi tidak untuk informasi jenis yang lain. Atas nama keamanan nasional, instansi militer adalah sebuah zona pengecualian dari kontrol publik dan pemberitaan media.

Demikianlah kurang lebih cara berpikir instansi militer yang juga tecermin dalam UU Intelijen Negara dan RUU Rahasia Negara. Instansi militer merasa memiliki semacam privasi yang tak dimi- liki badan publik lain. Jika ini dilanggar, mereka tak segan-segan melakukan kekerasan.

Asumsi tentang privasi instansi militer ini tentu saja problematis. Bagi TNI, mensterilkan lokasi jatuhnya pesawat militer barangkali dipandang sebagai hak. Namun bagi pers, meliput peristiwa jatuhnya pesawat militer itu adalah kewajiban melayani hak publik atas informasi, sebagaimana diatur dalam UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik. UU Keterbukaan Informasi Publik memang memungkinkan dilakukannya pengecualian informasi. Namun, harus melalui proses uji konsekuensi, uji kepentingan publik, dan tidak bisa diputuskan sepihak oleh badan publik, termasuk badan publik militer.

Kalaupun mau melakukan pengecualian informasi dalam bentuk larangan liputan atas obyek strategis, haruskah dengan kekerasan? Kesalahan jurnalistik mesti diselesaikan secara jurnalistik pula. Apa pun alasannya, kekerasan terhadap wartawan adalah tindakan melawan hukum dan norma universal.

Ketiga, sejauh ini kekerasan oleh personel militer tak dapat diproses berdasarkan hukum umum. Meskipun korbannya warga sipil, kekerasan itu harus diproses berdasarkan hukum militer. Penerapan hukum militer ini barangkali memberi semacam zona nyaman bagi para pelaku kekerasan di kalangan militer. Pengadilan militer kemungkinan hanya akan memutuskan tindakan kekerasan terhadap wartawan sekadar sebagai tindakan menyalahi prosedur operasional. Hukumannya lebih ringan daripada bila tindakan itu diproses melalui pengadilan umum.

Gelombang kritik masyarakat terhadap kekerasan yang terjadi semestinya menyadarkan bahwa tindakan main hakim sendiri terhadap wartawan sama sekali kontraproduktif bagi citra TNI. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar