Papua Barat
dan Pancasila
Syahrul Kirom ; Alumnus Pascasarjana Jurusan Filsafat UGM
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Desember 2012
PAPUA Barat semakin memanas. Warga Papua Barat
meminta hak kemerdekaan. Persoalan tuntutan hak-hak warga Papua Barat untuk
memisahkan diri dari NKRI bak gunung es. Keinginan tersebut sudah mengendap
lama dan baru dirasakan saat ini. Persoalan untuk meminta hak kemerdekaan itu
disebabkan warga Papua Barat sering kali mengalami eksploitasi dan
diskriminasi.
Konflik di Papua tak ubahnya seperti
neoimperialisme terhadap warga Papua yang sumber daya alam dan sumber daya
manusianya selalu dieksploitasi tanpa diberi imbalan dan kesejahteraan yang
merata. Dalam studi poskolonial, warga Papua merupakan objek yang dijajah
pengusaha asing dan pengusaha dalam negeri sehingga apa yang sejatinya warga
Papua miliki hak atas segala sumber daya alam di Papua justru dimonopoli
kelompok tertentu, lebih khususnya pihak asing. Hal itulah yang, salah
satunya, memunculkan keinginan Papua Barat menuntut kemerdekaan.
Beberapa warga Papua Barat menuntut
kemerdekaan. Pertama, persoalan marginalisasi atas warga Papua sehingga rasa
hormat dan martabat terhadap mereka sangat minim, baik itu dari segi ras dan
warna kulit. Annia Loomba dalam karyanya, Colonialism
and Postcolonialism (1998), mengatakan kasus rasialisme di Papua
merupakan konstruksi dari poskolonialisme yang berusaha menjajah orang-orang
Papua melalui wacana bahwa masyarakat Papua merupakan objek yang terjajah.
Padahal, warga Papua Barat sejatinya juga warga Indonesia yang seharusnya
diperhatikan dan diberi perlindungan.
Di sisi lain, upaya diskriminasi terhadap
masyarakat Papua menjadi faktor paling utama sebagai upaya mendiskreditkan
mereka sehingga kalau masyarakat Papua sudah didiskriminasikan bangsanya
sendiri atau pihak asing, berarti dalam konteks studi poskolonial, masyarakat
Papua menjadi objek atau dalam bahasa Jacques Derrida, seolah-olah menjadi
bangsa lain.
Kedua, persoalan pembangunan dan pemberdayaan
prasarana warga masyarakat Papua Barat yang tidak merata menimbulkan gejolak
kekerasan. Padahal, kalau kita lihat dari sumber daya alam yang melimpah,
tentunya aspek kesejahteraan mereka baik kesehatan, pendidikan, maupun
ekonomi sudah harus terpenuhi secara merata. Akan tetapi, realitasnya, masih
ada masyarakat Papua yang mengalami keterbelakangan.
Ketiga, persoalan hak asasi manusia sering
kali dilanggar polisi. Baku tembak dan gencatan senjata antarmasyarakat Papua
dan polisi sering terjadi. Bagi masyarakat Papua, itu sesungguhnya juga
bagian dari pelanggaran HAM. Kekerasan fisik dengan senjata sudah seharusnya
dihindari. Pelanggaran HAM kadang sering kali menimpa masyarakat Papua. Padahal,
masyarakat Papua menginginkan kebebasan dan kemerdekaan, dalam artian segala
sumber daya alam harus dimiliki masyarakat Papua, bukan untuk kesejahteraan
orang asing. Hal itulah yang menyebabkan objek-objek masyarakat Papua menjadi
terjajah, meminjam bahasa Homi Bhaba. Bangsa yang menja jah rakyatnya sendiri
dengan mengeruk kekayaan alam untuk kepentingan individu dan kelompok
tertentu.
Kembali ke Pancasila
Dalam konteks ini, persoalan masyarakat Papua
Barat sebenarnya dapat diselesaikan dengan kembali ke nilai-nilai luhur
Pancasila. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia dan falsafah
negara Indonesia. Dalam upaya merumuskan Pancasila, itu tentunya sudah
melalui perenungan dan refleksi secara akomodatif untuk seluruh kepentingan
masyarakat Indonesia. Pancasila terlahir dari sikap dan kehidupan yang
tertindas oleh kolonialisme untuk mencapai kemerdekaan dan dalam bingkai
meraih persatuan dan kesatuan. Dengan perasaan senasib dan sepenanggungan
untuk mengatasi segala macam persoalan politik, ekonomi, suku, ras, dan
agama, lahirlah Pancasila sebagai wujud untuk menciptakan integrasi dan
menjaga stabilitas antarsesama bangsa Indonesia.
Karena itu, kehadiran Pancasila memiliki makna
yang berarti (meaningful) bagi
warga negara Indonesia. Pancasila juga merupakan petunjuk dalam berperilaku
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila ialah kepribadian bangsa
Indonesia. Pancasila mampu meresapi kehidupan setiap anggota masyarakat
Indonesia, mendasari komunikasi antar sesama warga negara Indonesia, dan
menjadi pedoman hubungan antarmasyarakat sebagai keseluruhan dengan tiap-tiap
anggota.
Sila kedua, `Kemanusiaan yang adil dan
beradab', menekankan setiap warga negara Indonesia harus selalu menghargai
harkat dan martabat orang lain, tidak boleh berbuat tercela, menghina, atau
bahkan melecehkan. Harkat dan martabat manusia harus dijunjung secara adil
dan beradab.
Drijarkara mengatakan, “Ada bersama.“ Artinya,
`berada-bersama-dengan-sesama', mempunyai prinsip fundamental yaitu cinta
kasih. Jika manusia taat pada prinsip itu, hidup bersama merupakan
persaudaraan dan rasa perikemanusiaan, yang menjunjung tinggi sesama manusia,
menghormati setiap manusia, segala manusia.
Sila ketiga, `Persatuan
Indonesia', berupaya menyatukan di tengah-tengah konflik dan
ketercerai-beraian di antara kelompok yang lain. Berupaya menyatukan
perbedaan yang ada, baik itu perbedaan agama, ideologi, ras, maupun budaya. Perbedaan
ras, suku, agama, dan budaya harus dijadikan alat pemersatu bangsa dan cara
kita dalam menjaga keharmonisan antarwarga negara.
Upaya merajut rasa kebangsaan dan cara
mengatasi perbedaan ras, suku, atau bahkan menyelesaikan konflik
sosialpolitik dapat dipererat kembali dengan mengimplementasikan sila ketiga
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, konflik
sosial-politik yang muncul di masyarakat Indonesia dapat diatasi dengan
menggunakan pemahaman atas sila ketiga, yakni mengedepankan rasa kebangsaan
bersama untuk persatuan dan kesatuan di antara warga negara Indonesia.
Sila kelima, `Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia', berupaya memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia dalam
berbagai bidang kehidupan. Pengarusutamaan pada prinsip keadilan yang
berpihak pada seluruh kepentingan bangsa Indonesia. Mengedepankan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan. Menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban. Menghormati hakhak orang lain.
Perikemanusiaan ialah konsep umum universal,
yang belum menunjuk ke suatu bidang khusus kehidupan. Dalam perkembangan
hidup manusia yang membuat diferensiasi, lapangan khusus kehidupan sebagai
pelaksanaan perikemanusiaan yakni keadilan sosial (sila kelima). Kita
berharap persoalan Papua untuk meminta hak kemerdekaan dapat diselesaikan
melalui cara dialogis berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar