Jumat, 07 Desember 2012

Mengukur Perekonomian


Mengukur Perekonomian
Jony O Haryanto ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
SUARA MERDEKA, 05 Desember 2012


MENDEKATI tutup tahun, isu tentang jurang fiskal (fiscal cliff) Amerika Serikat menjadi topik utama media massa. Tarik-menarik antara Partai Republik dan Partai Demokrat membuat ketidakpastian, dan bila terus berlanjut dikhawatirkan memicu kejatuhan indeks saham dan harga komoditas, yang berisiko mendorong Amerika masuk ke resesi ekonomi yang dalam (Kompas, 03/12/12).
Resesi yang melanda Amerika sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia tentu akan membawa dampak bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Dari Benua Eropa kita juga terdengar berita yang kurang menggembirakan. Krisis yang dialami Yunani terus berlanjut di tengah kemeningkatan kekhawatiran Yunani keluar dari zona Eropa. Krisis di negara-negara yang sering disingkat PIGS (Portugal, Italia, Yunani, dan Spanyol) menekan daya saing Uni Eropa, dan makin membuat ketidakpastian yang lebih mendalam.
Dari dalam negeri kita mendengar pengusaha mengeluhkan kondisi perekonomian yang tidak lagi nyaman. Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar 40% hingga menjadi Rp 2,2 juta, dan akan diikuti dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) membuat pengusaha harus lebih serius memikirkan solusi. Banyak pengusaha lebih cenderung mengimpor produk dari China, kemudian mereka hanya bertindak sebagai distributor dengan sedikit karyawan. Langkah itu dianggap lebih murah, mudah, dengan risiko lebih kecil.
Jika kecenderungan ini bersifat masif dan berlanjut maka hal ini merupakan preseden buruk bagi perekonomian kita. Dukungan Politik Pada sisi lain, diperkirakan kuota bahan bakar minyak (BBM) pada Desember sebanyak 44,04 juta kiloliter akan habis sehingga pemerintah harus mengajukan kuota tambahan yang tentu semakin membebani APBN. Karenanya, ke depan perlu penyikapan yang lebih serius (SM, 01/12/12). Harga BBM sudah mencapai 109 dolar AS per barel, jauh melampaui asumsi APBN yang mematok angka 90 dolar AS per barel.
Para ekonom sudah memberikan saran supaya harga bahan bakar minyak dinaikkan guna meringankan beban APBN. Namun melihat kondisi politik yang sudah mendekati Pemilu 2014 dan tipe kepemimpinan yang populis, sangat mungkin pemerintah tidak berani menaikkan harga BBM.
Dari tata kelola pemerintahan, akhir-akhir ini kita disuguhi manajemen pemerintahan yang sangat buruk. Menteri dan Sekretaris Kabinet saling tuding dan saling lapor ditambah dengan Presiden SBY yang curhat ke publik tentang kinerja para menterinya. Memandang dari manajemen kepemimpinan, keluhan seperti itu sangatlah menggelikan. Presiden semestinya berdiri di garis depan dan bertanggung jawab atas kinerja bawahannya, dalam hal ini para menteri dengan kementeriannya. Apabila ada kinerja menteri kurang bagus, bahkan buruk, Presiden bisa langsung menegur, mengevaluasi, bahkan memberhentikan menteri tersebut, sesuai dengan hak prerogatif yang melekat padanya. Namun sekali lagi, keinginan untuk bermain aman dan populis membuat Presiden lebih merasa aman untuk mengeluh ke publik dan mencari dukungan secara politik. Melihat fenomena itu, masih adakah harapan?
Dari Amerika, kita berharap Presiden Obama dengan kemenangannya dalam pemilihan presiden periode kedua mampu menekan Partai Republik untuk menyetujui bahwa pajak tidak akan dinaikkan untuk kalangan menengah sehingga perekonomian Amerika masih bisa berjalan. Dari Uni Eropa, harapan bersandar pada Jerman dan Prancis yang dengan segala pertimbangan politiknya diharapkan menahan Yunani untuk tetap di Zona Euro dengan memberikan dana talangan guna mencegah kebangkrutan Yunani dan anggota lain PIGS. Dengan demikian, perekonomian Eropa akan bergerak dan terlepas dari resesi ekonomi.
Dari dalam negeri, kelihatannya kita tidak bisa berharap banyak dari pemimpin yang ada. Namun setidak-tidaknya, pengesahan upah minimum provinsi dengan segala pro dan kontra, akan mendorong para pelaku bisnis untuk lebih kreatif dan inovatif sehingga mampu meningkatkan daya saing mereka. Buruh juga lebih tenang sehingga paling tidak untuk satu tahun ke depan tidak ada lagi demontrasi yang dapat menganggu kinerja perusahaan.
Mengingat perekonomian Indonesia lebih digerakkan oleh investasi dan konsumsi, dalam satu tahun ke depan mungkin kita masih aman. Sembari menunggu tahun 2014 mendapatkan pemimpin-pemimpin baru, yang kita harapkan lebih peduli kepada rakyat, dan tidak hanya sibuk mengurusi politik pencitraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar