Mengukur
Perekonomian
Jony O Haryanto ; Dosen
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
|
SUARA
MERDEKA, 05 Desember 2012
MENDEKATI
tutup tahun, isu tentang jurang fiskal (fiscal
cliff) Amerika Serikat menjadi topik utama media massa. Tarik-menarik
antara Partai Republik dan Partai Demokrat membuat ketidakpastian, dan bila
terus berlanjut dikhawatirkan memicu kejatuhan indeks saham dan harga komoditas,
yang berisiko mendorong Amerika masuk ke resesi ekonomi yang dalam (Kompas,
03/12/12).
Resesi yang
melanda Amerika sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia tentu
akan membawa dampak bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Dari Benua
Eropa kita juga terdengar berita yang kurang menggembirakan. Krisis yang
dialami Yunani terus berlanjut di tengah kemeningkatan kekhawatiran Yunani
keluar dari zona Eropa. Krisis di negara-negara yang sering disingkat PIGS
(Portugal, Italia, Yunani, dan Spanyol) menekan daya saing Uni Eropa, dan
makin membuat ketidakpastian yang lebih mendalam.
Dari dalam
negeri kita mendengar pengusaha mengeluhkan kondisi perekonomian yang tidak
lagi nyaman. Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar 40%
hingga menjadi Rp 2,2 juta, dan akan diikuti dengan kenaikan tarif dasar
listrik (TDL) membuat pengusaha harus lebih serius memikirkan solusi. Banyak
pengusaha lebih cenderung mengimpor produk dari China, kemudian mereka hanya
bertindak sebagai distributor dengan sedikit karyawan. Langkah itu dianggap
lebih murah, mudah, dengan risiko lebih kecil.
Jika
kecenderungan ini bersifat masif dan berlanjut maka hal ini merupakan
preseden buruk bagi perekonomian kita. Dukungan Politik Pada sisi lain,
diperkirakan kuota bahan bakar minyak (BBM) pada Desember sebanyak 44,04 juta
kiloliter akan habis sehingga pemerintah harus mengajukan kuota tambahan yang
tentu semakin membebani APBN. Karenanya, ke depan perlu penyikapan yang lebih
serius (SM, 01/12/12). Harga BBM sudah mencapai 109 dolar AS per barel, jauh
melampaui asumsi APBN yang mematok angka 90 dolar AS per barel.
Para ekonom
sudah memberikan saran supaya harga bahan bakar minyak dinaikkan guna
meringankan beban APBN. Namun melihat kondisi politik yang sudah mendekati
Pemilu 2014 dan tipe kepemimpinan yang populis, sangat mungkin pemerintah
tidak berani menaikkan harga BBM.
Dari tata
kelola pemerintahan, akhir-akhir ini kita disuguhi manajemen pemerintahan
yang sangat buruk. Menteri dan Sekretaris Kabinet saling tuding dan saling
lapor ditambah dengan Presiden SBY yang curhat ke publik tentang kinerja para
menterinya. Memandang dari manajemen kepemimpinan, keluhan seperti itu
sangatlah menggelikan. Presiden semestinya berdiri di garis depan dan
bertanggung jawab atas kinerja bawahannya, dalam hal ini para menteri dengan
kementeriannya. Apabila ada kinerja menteri kurang bagus, bahkan buruk,
Presiden bisa langsung menegur, mengevaluasi, bahkan memberhentikan menteri
tersebut, sesuai dengan hak prerogatif yang melekat padanya. Namun sekali
lagi, keinginan untuk bermain aman dan populis membuat Presiden lebih merasa
aman untuk mengeluh ke publik dan mencari dukungan secara politik. Melihat
fenomena itu, masih adakah harapan?
Dari Amerika,
kita berharap Presiden Obama dengan kemenangannya dalam pemilihan presiden
periode kedua mampu menekan Partai Republik untuk menyetujui bahwa pajak
tidak akan dinaikkan untuk kalangan menengah sehingga perekonomian Amerika
masih bisa berjalan. Dari Uni Eropa, harapan bersandar pada Jerman dan
Prancis yang dengan segala pertimbangan politiknya diharapkan menahan Yunani
untuk tetap di Zona Euro dengan memberikan dana talangan guna mencegah
kebangkrutan Yunani dan anggota lain PIGS. Dengan demikian, perekonomian
Eropa akan bergerak dan terlepas dari resesi ekonomi.
Dari dalam
negeri, kelihatannya kita tidak bisa berharap banyak dari pemimpin yang ada.
Namun setidak-tidaknya, pengesahan upah minimum provinsi dengan segala pro
dan kontra, akan mendorong para pelaku bisnis untuk lebih kreatif dan
inovatif sehingga mampu meningkatkan daya saing mereka. Buruh juga lebih
tenang sehingga paling tidak untuk satu tahun ke depan tidak ada lagi
demontrasi yang dapat menganggu kinerja perusahaan.
Mengingat
perekonomian Indonesia lebih digerakkan oleh investasi dan konsumsi, dalam
satu tahun ke depan mungkin kita masih aman. Sembari menunggu tahun 2014
mendapatkan pemimpin-pemimpin baru, yang kita harapkan lebih peduli kepada
rakyat, dan tidak hanya sibuk mengurusi politik pencitraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar