Jumat, 07 Desember 2012

Mendisiplinkan Penggunaan BBM


Mendisiplinkan Penggunaan BBM
Tasroh ;  Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Japan
MEDIA INDONESIA, 05 Desember 2012


APA yang dikhawatirkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sekitar enam bulan lalu tampaknya bakal terjadi. Saat itu dikatakan, hampir setiap daerah terancam kehabisan kuota bensin sekitar Oktober– November (Kompas, 30/11). Benar! Faktanya, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) subsidi sejak Januari hingga 18 November 2012 di Jateng dan DIY saja, misalnya, telah melampaui kuota. Kuota premium Jateng yang 2,66 juta kiloliter tahun ini tinggal 10% untuk digunakan hingga 31 Desember.

Setali tiga uang dengan daerah lainnya di seluruh Indonesia. Padahal, setiap pemerintah daerah telah mengajukan penambahan kuota ke pusat sebanyak 700–900 ribu kiloliter. Namun, rata-rata hanya disetujui 200 ribu kiloliter. Artinya persediaan premium sekitar 400 ribuan kiloliter untuk konsumsi rata-rata tiap provinsi hingga akhir tahun.

Itu sungguh ironis. Tak lama lagi, warga akan menyambut dua hari besar, Natal dan Tahun Baru. Lalu, bagaimana dengan dunia bisnis jika krisis BBM terus terjadi?
Keterancaman kelangkaan BBM subsidi, mau tak mau, akan memaksa warga mengonsumsi BBM nonsubsidi. Keterpaksaan dan situasi pada akhirnya akan menyadarkan para pengendara mengenai kelangkaan premium. Sepanjang problem belum di depan mata, sebuah krisis biasanya memang tidak terlalu mendapat perhatian. Berbagai upaya mengurangi pemakaian BBM subsidi sudah dilakukan, salah satunya dengan memasang stiker BBM nonsubsidi bagi kendaraan dinas. Stiker itu penanda, menyusul kebijakan pemerintah pusat bahwa kendaraan dinas tidak diperbolehkan lagi mengonsumsi premium. Sejauh mana efektivitas pemasangan stiker tersebut? Realitasnya, konsumsi premium masyarakat sangat tinggi, termasuk kebiasaan para birokrat kita jalan-jalan untuk dan atas nama perjalanan dinas.

Itu artinya, suka atau tidak suka, masyarakat harus mendukung upaya menekan penggunaan BBM subsidi yang stoknya kian tipis. Untuk alasan demikian, kemunculan Gerakan Sehari tanpa BBM Subsidi membutuhkan partisipasi aktif semua komponen masyarakat. Gerakan yang konon akan dilakukan pada 2 Desember 2012 itu dengan salah satu mandat menginstruksikan SPBU hanya melayani pembelian BBM nonsubsidi. Gerakan itu tidak berlaku bagi kendaraan angkutan massal/penumpang karena masih dilayani membeli BBM bersubsidi pada hari itu.

Meski demikian, pengendara lain perlu didisiplinkan dalam penggunaan BBM nonsubsidi. Jangan sampai yang terjadi ialah pembelian besar-besaran premium sehari sebelum gerak kan itu dilaksanakan. Setiap p pemilik mobil yang tak memiliki sense of crisis justru berebut mengisi tangki penuh. Pertanyaannya, bagaimana sesungguhnya mengerem penggunaan BBM bersubsidi atau BBM nonsubsidi dalam landscape keindonesiaan?

Belajar dari Jepang

Bila ingin belajar menghemat (disiplin), Jepang memang menjadi acuan dunia, termasuk dalam mendisiplinkan penggunaan BBM. Jepang sudah krisis BBM sejak 1985 dan selama lima tahun berikutnya berhasil keluar dari krisis energi dengan mengembangkan energi nuklir. Ketika energi nuklir ternyata berbahaya bagi kehidupan (khususnya ketika terjadi bencana alam--red) Jepang kini beralih kepada energi biofuel (BBM dari ekstrak singkong, bunga sawit, dll) dengan menggerakkan seluruh sumber daya yang ada. Perusahaan digerakkan untuk bersama mengembangkan energi alternatif dan dengan disiplin tinggi mereka kini berhasil meskipun tanpa kebijakan `pemaksaan' ala Indonesia.

Hemat penulis, aneka kebijakan `pemaksaan' yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait dengan upaya mengendalikan penggunaan BBM belum benar-benar mampu memaksa masyarakat mengerem penggunaan BBM. Pemerintah sendiri, diakui atau tidak, amat jorjoran dalam belanja BBM di lembaga/instansi pemerintah. Padahal, untuk mengerem penggunaan BBM, hal sederhana sebenarnya bisa dilakukan, dimulai dengan mendisiplinkan penggunaan belanja BBM di kalangan pejabat pemerintah, aparatur, dan birokrat di berbagai level. Pengalaman mengerem ala Jepang sejak 1990-an dapat dijadikan pelajaran berharga.

Ada tiga langkah taktis pemerintah Jepang di bawah kepemimpinan PM Shintaro AB mengerem penggunaan BBM. Pertama, membatasi penggunaan BBM bagi kendaraan dinas pemerintah di berbagai level. Pemerintah melarang keras dengan sanksi tegas birokrat/pejabat yang tidak patuh dalam belanja BBM. Pemerintah Jepang juga melarang keras pembelian kendaraan yang boros BBM.

Kedua, membatasi perjalanan dinas dengan memanfaatkan teknologi informasi. Oleh karena itu, perjalanan dinas aparatur negara/pemerintahan dibatasi amat ketat sehingga dana belanja BBM dapat dialihkan untuk pembangunan bidang lainnya.

Ketiga, membatasi kepemilikan kendaraan. Mulai 1992 warga, instansi, dan swasta (semua pengguna BBM) hanya bisa melakukan pengadaan kendaraan jika telah mendapat audit dan rekomendasi dari pemerintah pusat. Dampak kebijakan tersebut amat signifikan.

Pemerintah Jepang menentukan maksimal setiap keluarga hanya diperbolehkan memiliki dua kendaraan.

Namun, bersamaan dengan itu, pemerintah Jepang mulai membangun secara masif moda transportasi massal yang dapat diakses hingga ke desa-desa untuk mempermudah warga dan semua komponen masyarakat dapat menggunakan angkutan massal tersebut. Di lembaga-lembaga publik (sekolah, rumah sakit, pasar, stasiun, terminal, bandara, dan sentrasentra bisnis/usaha rakyat) dibangun akses infrastruktur yang memadai yang dapat diakses moda transportasi massal tersebut. Pemerintah Jepang saat itu juga menentukan jamjam wajib jalan bagi kendaraan massal tersebut sesuai dengan dinamika masyarakat luas.

Di Indonesia, di samping para pelanggar tidak pernah terdata dan disanksi secara tegas, hampir semua langkah dan kebijakan pemerintah berkuasa (SBY) selalu mandul di tengah jalan. Misalnya kita lihat, kebijakan pembatasan BBM kendaraan dinas pemerintah. Faktanya, konsumsinya juga tetap naik tajam bahkan anggaran instansi pemerintah untuk belanja BBM setahun terakhir meningkat tajam (hanya dalam 10 bulan sudah meningkat 45%).

Hal itu terjadi karena pembatasan dan pelarangan penggunaan BBM (non)-subsidi faktanya banyak yang dilanggar, justru oleh para pejabat/ instansi pemerintah sendiri.
Demikian juga, setali tiga uang, pemerintah tidak berani dan takut membatasi penggunaan BBM bagi masyarakat/dunia usaha. Di sisi lain, pemerintah justru gagal mendisiplinkan aparatur sendiri bahkan amat takut kepada wakil rakyat, seperti selalu gagal meyakinkan dunia usaha dan anggota DPR tentang kebijakan pembatasan BBM bersubsidi khususnya. Padahal, jika hendak membatasi penggunaan BBM (khususnya BBM subsidi) bersamaan dengan kebijakan tersebut, pemerintah seharusnya tegas membatasi kepemilikan kendaraan sekaligus menciptakan terobosan-terobosan baru dengan mengembangkan teknologi bahan bakar non-BBM.

Amat disayangkan, program dan kebijakan penggunaan BBM nonfosil (biofuel) justru digagalkan pemerintah sendiri. BUMN-BUMN yang sudah diberi mandat untuk mengembangkan teknologi BBM nonfosil justru dibiarkan tanpa melakukan inovasi teknologi dan malah sibuk dengan bisnis menjadi broker BBM.

Padahal, konon, sudah sejak 2002, pemerintah sesumbar akan menerapkan dan mengembangberdayakan potensi lokal untuk mencari sumber alternatif baru biofuel dengan janji lewat paket gerakan hemat energi yang dikelola PT PLN dan Pertamina, tetapi hingga detik ini kedua BUMN itu selalu bernyanyi tekor nyaris tanpa inovasi teknologi sesuai dengan dinamika zaman. Belakangan BUMN yang sudah memiliki semua sumber daya yang diperlukan malah tak menelurkan apa pun dalam agenda penghematan BBM nasional. Tragis!

Oleh karena itu, hemat penulis, untuk mendisiplinkan penggunaan BBM, pemerintah harus menjadi teladan yang jujur dan adil bagi masyarakat dan secara simultan terus menggali inovasi baru mengembangberdayakan sumber-sumber alternatif BBM nonfosil.
Selanjutnya pemerintah juga harus berani mengerem produksi kendaraan berbahan bakar fosil dan mengerem hasrat semua pihak untuk memiliki kendaraan pribadi. Pembangunan moda transportasi massal yang berkelanjutan (green sustainable transportation) harus terus dikembangterapkan secara masif. Dengan cara demikian, baru pemerintah bisa melihat apakah kebijakan dan langkah mereka dipatuhi atau sebaliknya, seperti yang terjadi saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar