Mendisiplinkan
Penggunaan BBM
Tasroh ; Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Japan
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Desember 2012
APA yang dikhawatirkan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sekitar enam bulan lalu
tampaknya bakal terjadi. Saat itu dikatakan, hampir setiap daerah terancam
kehabisan kuota bensin sekitar Oktober– November (Kompas, 30/11). Benar!
Faktanya, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) subsidi sejak Januari hingga 18
November 2012 di Jateng dan DIY saja, misalnya, telah melampaui kuota. Kuota
premium Jateng yang 2,66 juta kiloliter tahun ini tinggal 10% untuk digunakan
hingga 31 Desember.
Setali tiga uang dengan daerah lainnya di seluruh
Indonesia. Padahal, setiap pemerintah daerah telah mengajukan penambahan
kuota ke pusat sebanyak 700–900 ribu kiloliter. Namun, rata-rata hanya
disetujui 200 ribu kiloliter. Artinya persediaan premium sekitar 400 ribuan
kiloliter untuk konsumsi rata-rata tiap provinsi hingga akhir tahun.
Itu sungguh ironis. Tak lama lagi, warga akan menyambut
dua hari besar, Natal dan Tahun Baru. Lalu, bagaimana dengan dunia bisnis
jika krisis BBM terus terjadi?
Keterancaman kelangkaan BBM subsidi, mau tak mau, akan
memaksa warga mengonsumsi BBM nonsubsidi. Keterpaksaan dan situasi pada
akhirnya akan menyadarkan para pengendara mengenai kelangkaan premium.
Sepanjang problem belum di depan mata, sebuah krisis biasanya memang tidak
terlalu mendapat perhatian. Berbagai upaya mengurangi pemakaian BBM subsidi
sudah dilakukan, salah satunya dengan memasang stiker BBM nonsubsidi bagi
kendaraan dinas. Stiker itu penanda, menyusul kebijakan pemerintah pusat
bahwa kendaraan dinas tidak diperbolehkan lagi mengonsumsi premium. Sejauh
mana efektivitas pemasangan stiker tersebut? Realitasnya, konsumsi premium
masyarakat sangat tinggi, termasuk kebiasaan para birokrat kita jalan-jalan
untuk dan atas nama perjalanan dinas.
Itu artinya, suka atau tidak suka, masyarakat harus
mendukung upaya menekan penggunaan BBM subsidi yang stoknya kian tipis. Untuk
alasan demikian, kemunculan Gerakan Sehari tanpa BBM Subsidi membutuhkan
partisipasi aktif semua komponen masyarakat. Gerakan yang konon akan
dilakukan pada 2 Desember 2012 itu dengan salah satu mandat menginstruksikan
SPBU hanya melayani pembelian BBM nonsubsidi. Gerakan itu tidak berlaku bagi
kendaraan angkutan massal/penumpang karena masih dilayani membeli BBM
bersubsidi pada hari itu.
Meski demikian, pengendara lain perlu didisiplinkan dalam
penggunaan BBM nonsubsidi. Jangan sampai yang terjadi ialah pembelian
besar-besaran premium sehari sebelum gerak kan itu dilaksanakan. Setiap p
pemilik mobil yang tak memiliki sense
of crisis justru berebut mengisi tangki penuh. Pertanyaannya, bagaimana
sesungguhnya mengerem penggunaan BBM bersubsidi atau BBM nonsubsidi dalam
landscape keindonesiaan?
Belajar dari Jepang
Bila ingin belajar menghemat (disiplin), Jepang memang
menjadi acuan dunia, termasuk dalam mendisiplinkan penggunaan BBM. Jepang
sudah krisis BBM sejak 1985 dan selama lima tahun berikutnya berhasil keluar
dari krisis energi dengan mengembangkan energi nuklir. Ketika energi nuklir
ternyata berbahaya bagi kehidupan (khususnya ketika terjadi bencana
alam--red) Jepang kini beralih kepada energi biofuel (BBM dari ekstrak singkong,
bunga sawit, dll) dengan menggerakkan seluruh sumber daya yang ada.
Perusahaan digerakkan untuk bersama mengembangkan energi alternatif dan
dengan disiplin tinggi mereka kini berhasil meskipun tanpa kebijakan
`pemaksaan' ala Indonesia.
Hemat penulis, aneka kebijakan `pemaksaan' yang dilakukan
pemerintah Indonesia terkait dengan upaya mengendalikan penggunaan BBM belum
benar-benar mampu memaksa masyarakat mengerem penggunaan BBM. Pemerintah
sendiri, diakui atau tidak, amat jorjoran dalam belanja BBM di lembaga/instansi
pemerintah. Padahal, untuk mengerem penggunaan BBM, hal sederhana sebenarnya
bisa dilakukan, dimulai dengan mendisiplinkan penggunaan belanja BBM di
kalangan pejabat pemerintah, aparatur, dan birokrat di berbagai level.
Pengalaman mengerem ala Jepang sejak 1990-an dapat dijadikan pelajaran
berharga.
Ada tiga langkah taktis pemerintah Jepang di bawah
kepemimpinan PM Shintaro AB mengerem penggunaan BBM. Pertama, membatasi
penggunaan BBM bagi kendaraan dinas pemerintah di berbagai level. Pemerintah
melarang keras dengan sanksi tegas birokrat/pejabat yang tidak patuh dalam
belanja BBM. Pemerintah Jepang juga melarang keras pembelian kendaraan yang boros
BBM.
Kedua, membatasi perjalanan dinas dengan memanfaatkan
teknologi informasi. Oleh karena itu, perjalanan dinas aparatur
negara/pemerintahan dibatasi amat ketat sehingga dana belanja BBM dapat
dialihkan untuk pembangunan bidang lainnya.
Ketiga, membatasi kepemilikan kendaraan. Mulai 1992 warga,
instansi, dan swasta (semua pengguna BBM) hanya bisa melakukan pengadaan kendaraan
jika telah mendapat audit dan rekomendasi dari pemerintah pusat. Dampak
kebijakan tersebut amat signifikan.
Pemerintah Jepang menentukan maksimal setiap keluarga
hanya diperbolehkan memiliki dua kendaraan.
Namun, bersamaan dengan itu, pemerintah Jepang mulai
membangun secara masif moda transportasi massal yang dapat diakses hingga ke
desa-desa untuk mempermudah warga dan semua komponen masyarakat dapat
menggunakan angkutan massal tersebut. Di lembaga-lembaga publik (sekolah,
rumah sakit, pasar, stasiun, terminal, bandara, dan sentrasentra bisnis/usaha
rakyat) dibangun akses infrastruktur yang memadai yang dapat diakses moda
transportasi massal tersebut. Pemerintah Jepang saat itu juga menentukan
jamjam wajib jalan bagi kendaraan massal tersebut sesuai dengan dinamika
masyarakat luas.
Di Indonesia, di samping para pelanggar tidak pernah
terdata dan disanksi secara tegas, hampir semua langkah dan kebijakan
pemerintah berkuasa (SBY) selalu mandul di tengah jalan. Misalnya kita lihat,
kebijakan pembatasan BBM kendaraan dinas pemerintah. Faktanya, konsumsinya
juga tetap naik tajam bahkan anggaran instansi pemerintah untuk belanja BBM
setahun terakhir meningkat tajam (hanya dalam 10 bulan sudah meningkat 45%).
Hal itu terjadi karena pembatasan dan pelarangan
penggunaan BBM (non)-subsidi faktanya banyak yang dilanggar, justru oleh para
pejabat/ instansi pemerintah sendiri.
Demikian juga, setali tiga uang, pemerintah tidak berani
dan takut membatasi penggunaan BBM bagi masyarakat/dunia usaha. Di sisi lain,
pemerintah justru gagal mendisiplinkan aparatur sendiri bahkan amat takut
kepada wakil rakyat, seperti selalu gagal meyakinkan dunia usaha dan anggota
DPR tentang kebijakan pembatasan BBM bersubsidi khususnya. Padahal, jika
hendak membatasi penggunaan BBM (khususnya BBM subsidi) bersamaan dengan
kebijakan tersebut, pemerintah seharusnya tegas membatasi kepemilikan
kendaraan sekaligus menciptakan terobosan-terobosan baru dengan mengembangkan
teknologi bahan bakar non-BBM.
Amat disayangkan, program dan kebijakan penggunaan BBM
nonfosil (biofuel) justru digagalkan pemerintah sendiri. BUMN-BUMN yang sudah
diberi mandat untuk mengembangkan teknologi BBM nonfosil justru dibiarkan
tanpa melakukan inovasi teknologi dan malah sibuk dengan bisnis menjadi broker BBM.
Padahal, konon, sudah sejak 2002, pemerintah sesumbar akan
menerapkan dan mengembangberdayakan potensi lokal untuk mencari sumber
alternatif baru biofuel dengan janji lewat paket gerakan hemat energi yang
dikelola PT PLN dan Pertamina, tetapi hingga detik ini kedua BUMN itu selalu
bernyanyi tekor nyaris tanpa inovasi teknologi sesuai dengan dinamika zaman.
Belakangan BUMN yang sudah memiliki semua sumber daya yang diperlukan malah
tak menelurkan apa pun dalam agenda penghematan BBM nasional. Tragis!
Oleh karena itu, hemat penulis, untuk mendisiplinkan
penggunaan BBM, pemerintah harus menjadi teladan yang jujur dan adil bagi masyarakat
dan secara simultan terus menggali inovasi baru mengembangberdayakan
sumber-sumber alternatif BBM nonfosil.
Selanjutnya pemerintah juga harus berani mengerem produksi
kendaraan berbahan bakar fosil dan mengerem hasrat semua pihak untuk memiliki
kendaraan pribadi. Pembangunan moda transportasi massal yang berkelanjutan (green sustainable transportation)
harus terus dikembangterapkan secara masif. Dengan cara demikian, baru
pemerintah bisa melihat apakah kebijakan dan langkah mereka dipatuhi atau sebaliknya,
seperti yang terjadi saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar