Selasa, 18 Desember 2012

Negeri Ini seperti Tak Ingin Bersih dari Korupsi


Laporan Akhir Tahun Bidang Politik dan Hukum
Negeri Ini seperti Tak Ingin Bersih dari Korupsi
KOMPAS, 17 Desember 2012



Serangan datang bertubi-tubi. Kepolisian menarik 20 penyidiknya dari Komisi Pemberantasan Korupsi pada September lalu, sebulan sejak KPK menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator di Korps Lalu Lintas dan menetapkan Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka.
Seusai memeriksa Djoko untuk pertama kalinya sebagai tersangka pada 5 Oktober, gedung KPK malam harinya ”dikepung” ratusan orang yang diduga polisi. Sejumlah perwira polisi dari Polda Bengkulu dan Metro Jaya malam itu masuk ke lobi gedung. Mereka hendak menjemput Komisaris Novel Baswedan, penyidik utama KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator. Novel telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan berat terkait penangkapan tersangka pencuri burung walet oleh Polda Bengkulu sekitar delapan tahun silam.
Reaksi masyarakat atas pengepungan KPK malam itu luar biasa. Media sosial berperan besar mengabarkan apa yang terjadi pada malam itu di KPK. Dalam sekejap, ribuan orang datang ke gedung KPK dan menolak apa yang mereka anggap sebagai kriminalisasi KPK tersebut.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sempat diam sejak ada ”pertikaian” KPK dengan Polri dalam penanganan kasus korupsi simulator ini akhirnya bereaksi. Presiden rupanya jengah melihat di berbagai media sosial, seperti Twitter, publik menilainya tak berbuat apa-apa menengahi pertikaian itu. Memang, hanya beberapa hari setelah KPK menyidik kasus korupsi simulator, tiba-tiba Polri juga menyidiknya. Padahal mengenai dugaan adanya korupsi dalam pengadaan simulator itu, Polri sebelumnya sempat menyatakan tak ditemukan ada korupsi sebagaimana pengusutan Inspektorat Pengawasan Umum.
Sejak itulah pertikaian dua lembaga penegak hukum ini memanas. Polisi menetapkan tersangka yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sampai akhirnya Presiden berpidato dan menginstruksikan Polri menyerahkan sepenuhnya kasus simulator kepada KPK. Pidato Presiden juga menyinggung upaya penangkapan Novel yang dinilainya tak tepat waktu.
Penarikan penyidik pada bulan September dan upaya penangkapan Novel di bulan berikutnya bukan serangan terakhir kepada KPK. Polri kembali melakukan penarikan penyidik secara besar-besaran pada bulan November. Sebanyak 13 penyidik Polri ditarik tak lama setelah KPK menahan Djoko.
Bagi Polri, apa yang dilakukan itu tidak dipahami sebagai penarikan. Polri menganggap penyidiknya telah habis masa tugasnya di KPK dan mereka dibutuhkan untuk meneruskan jenjang karier profesionalnya sebagai polisi. Polri pun mengatakan, mereka siap memenuhi kebutuhan penyidik KPK.
Namun, bagi KPK, penarikan penyidik secara besar-besaran dan dilakukan secara tiba-tiba terasa sekali bagai hambatan bagi kerja mereka. Apalagi sebagian besar dari penyidik yang ditarik tersebut masih menjalankan tugas-tugas penyidikan yang belum selesai. Bagi KPK, perekrutan penyidik tidak semudah mengganti penyidik lama dengan yang baru. Mereka tetap harus diseleksi sebelum benar-benar teruji kemampuan dan integritasnya.
Apa yang terjadi dalam kaitan hubungan panas KPK-Polri ini tak hanya akibat dari satu kasus korupsi, yaitu pengadaan simulator berkendara di Korlantas. Sementara serangan yang datang kepada KPK setahun terakhir juga bukan hanya dari penarikan penyidik dan kriminalisasi.
Tidak salah jika DPR menjadi salah satu lembaga yang jengah dengan tindakan KPK. Pada tahun 2012, ada 16 anggota DPR/ DPRD yang tercatat sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Kasus-kasus besar yang berhasil diungkap KPK tahun ini memang melibatkan DPR.
Sebutlah kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang, proyek Hambalang, dana penyesuaian infrastruktur daerah, dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah tertinggal, korupsi Al Quran, pembangunan PLTU Tarahan, hingga kasus suap PON di Riau. Kasus korupsi tersebut berkaitan dengan anggaran yang dibahas oleh DPR.
Anggota DPR yang terkena tidak hanya mereka yang selama ini tak dikenal masyarakat. Sejumlah elite partai politik juga dijadikan tersangka oleh KPK, yakni bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin beserta kolega separtainya, Angelina Sondakh, hingga Ketua DPP PDI-P Emir Moeis. Tak hanya menjadi tersangka, sejumlah nama politikus DPR bolak-balik ke pengadilan tindak pidana korupsi untuk diperiksa sebagai saksi. Nama-nama mereka selalu dikaitkan dengan kasus korupsi yang ditangani KPK.
Bukan hanya elite partai yang di DPR, mereka yang duduk di pemerintahan juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Yang paling mutakhir tentu mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng, yang juga Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat.
Jengah dengan KPK, DPR yang memang punya wewenang legislasi berusaha menyerang balik. Serangannya tak tanggung- tanggung. DPR berusaha mempereteli kewenangan KPK melalui revisi undang-undangnya. UU KPK yang lex specialis dan mengatur sejumlah kewenangan istimewa, seperti penyadapan dan tak boleh menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), hendak dicabut DPR. Maka, apa pun alasan DPR merevisi UU KPK tersebut, publik pun kadung menilai langkah mereka memang sebagai bagian dari serangan balik terhadap KPK. Rencana revisi UU tersebut pun akhirnya tidak masuk lagi dalam Program Legislasi Nasional 2013.
Beruntung, sejauh ini KPK belum mengecewakan publik. Rakyat masih percaya, harapan Indonesia yang bersih dan bebas dari korupsi masih ada karena KPK. Di tengah ketimpangan sumber daya manusia akibat penarikan penyidik, KPK ternyata mampu menyidik sejumlah kasus yang menyita perhatian publik secara luas, seperti Century dan Hambalang.
”Bahkan, eksistensi kami pun dipersoalkan. Makna ad hoc yang berarti kekhususan malah diterjemahkan sebagai sementara. Serangan terhadap eksistensi KPK ini sepaket dengan delegitimasi kredibilitas KPK. Sering kali terdengar pernyataan, ’Mana berani KPK mengusut kasus Hambalang sampai tuntas?’ Nyatanya, kami sekarang menetapkan high ranking official sebagai tersangka,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Lihat bagaimana rakyat berbondong-bondong dalam sekejap datang ke KPK pada malam ketika Novel hendak ditangkap. Lihat juga reaksi rakyat setiap kali DPR berusaha merevisi UU KPK dan mencabut sejumlah kewenangan istimewa lembaga ini.
Bambang mengakui bahwa dukungan masyarakat dan media selama ini menjadi tameng utama bagi KPK menghadapi serangan balik dari koruptor ataupun mereka yang resah dengan upaya pemberantasan korupsi. ”Ke depan memang KPK harus lebih bersinergi dengan publik. Keterlibatan civil society dalam pemberantasan korupsi mutlak dilakukan,” kata Bambang.
Menyaksikan langsung rakyat bergantung harapan kepada KPK, di tengah berbagai serangan kepada lembaga tersebut, rasanya seperti melihat negeri ini tak ingin bersih dari korupsi. (KHAERUDIN) ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar