Laporan Akhir
Tahun Bidang Politik dan Hukum
Negeri Ini
seperti Tak Ingin Bersih dari Korupsi
|
KOMPAS,
17 Desember 2012
Serangan datang
bertubi-tubi. Kepolisian menarik 20 penyidiknya dari Komisi Pemberantasan
Korupsi pada September lalu, sebulan sejak KPK menyidik kasus dugaan korupsi
pengadaan simulator di Korps Lalu Lintas dan menetapkan Irjen Djoko Susilo
sebagai tersangka.
Seusai memeriksa Djoko
untuk pertama kalinya sebagai tersangka pada 5 Oktober, gedung KPK malam
harinya ”dikepung” ratusan orang yang diduga polisi. Sejumlah perwira polisi
dari Polda Bengkulu dan Metro Jaya malam itu masuk ke lobi gedung. Mereka
hendak menjemput Komisaris Novel Baswedan, penyidik utama KPK dalam kasus
dugaan korupsi pengadaan simulator. Novel telah ditetapkan sebagai tersangka
kasus penganiayaan berat terkait penangkapan tersangka pencuri burung walet
oleh Polda Bengkulu sekitar delapan tahun silam.
Reaksi masyarakat atas
pengepungan KPK malam itu luar biasa. Media sosial berperan besar mengabarkan
apa yang terjadi pada malam itu di KPK. Dalam sekejap, ribuan orang datang ke
gedung KPK dan menolak apa yang mereka anggap sebagai kriminalisasi KPK
tersebut.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang sempat diam sejak ada ”pertikaian” KPK dengan Polri dalam
penanganan kasus korupsi simulator ini akhirnya bereaksi. Presiden rupanya
jengah melihat di berbagai media sosial, seperti Twitter, publik menilainya
tak berbuat apa-apa menengahi pertikaian itu. Memang, hanya beberapa hari
setelah KPK menyidik kasus korupsi simulator, tiba-tiba Polri juga
menyidiknya. Padahal mengenai dugaan adanya korupsi dalam pengadaan simulator
itu, Polri sebelumnya sempat menyatakan tak ditemukan ada korupsi sebagaimana
pengusutan Inspektorat Pengawasan Umum.
Sejak itulah pertikaian
dua lembaga penegak hukum ini memanas. Polisi menetapkan tersangka yang
sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sampai akhirnya
Presiden berpidato dan menginstruksikan Polri menyerahkan sepenuhnya kasus
simulator kepada KPK. Pidato Presiden juga menyinggung upaya penangkapan
Novel yang dinilainya tak tepat waktu.
Penarikan penyidik pada
bulan September dan upaya penangkapan Novel di bulan berikutnya bukan
serangan terakhir kepada KPK. Polri kembali melakukan penarikan penyidik
secara besar-besaran pada bulan November. Sebanyak 13 penyidik Polri ditarik
tak lama setelah KPK menahan Djoko.
Bagi Polri, apa yang
dilakukan itu tidak dipahami sebagai penarikan. Polri menganggap penyidiknya
telah habis masa tugasnya di KPK dan mereka dibutuhkan untuk meneruskan
jenjang karier profesionalnya sebagai polisi. Polri pun mengatakan, mereka
siap memenuhi kebutuhan penyidik KPK.
Namun, bagi KPK, penarikan
penyidik secara besar-besaran dan dilakukan secara tiba-tiba terasa sekali
bagai hambatan bagi kerja mereka. Apalagi sebagian besar dari penyidik yang
ditarik tersebut masih menjalankan tugas-tugas penyidikan yang belum selesai.
Bagi KPK, perekrutan penyidik tidak semudah mengganti penyidik lama dengan yang
baru. Mereka tetap harus diseleksi sebelum benar-benar teruji kemampuan dan
integritasnya.
Apa yang terjadi dalam
kaitan hubungan panas KPK-Polri ini tak hanya akibat dari satu kasus korupsi,
yaitu pengadaan simulator berkendara di Korlantas. Sementara serangan yang
datang kepada KPK setahun terakhir juga bukan hanya dari penarikan penyidik
dan kriminalisasi.
Tidak salah jika DPR
menjadi salah satu lembaga yang jengah dengan tindakan KPK. Pada tahun 2012,
ada 16 anggota DPR/ DPRD yang tercatat sebagai pelaku tindak pidana korupsi
yang ditangani oleh KPK. Kasus-kasus besar yang berhasil diungkap KPK tahun
ini memang melibatkan DPR.
Sebutlah kasus suap wisma
atlet SEA Games di Palembang, proyek Hambalang, dana penyesuaian
infrastruktur daerah, dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah
tertinggal, korupsi Al Quran, pembangunan PLTU Tarahan, hingga kasus suap PON
di Riau. Kasus korupsi tersebut berkaitan dengan anggaran yang dibahas oleh
DPR.
Anggota DPR yang terkena
tidak hanya mereka yang selama ini tak dikenal masyarakat. Sejumlah elite
partai politik juga dijadikan tersangka oleh KPK, yakni bekas Bendahara Umum
Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin beserta kolega separtainya, Angelina
Sondakh, hingga Ketua DPP PDI-P Emir Moeis. Tak hanya menjadi tersangka,
sejumlah nama politikus DPR bolak-balik ke pengadilan tindak pidana korupsi
untuk diperiksa sebagai saksi. Nama-nama mereka selalu dikaitkan dengan kasus
korupsi yang ditangani KPK.
Bukan hanya elite partai
yang di DPR, mereka yang duduk di pemerintahan juga ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK. Yang paling mutakhir tentu mantan Menteri Pemuda dan
Olahraga Andi Alifian Mallarangeng, yang juga Sekretaris Dewan Pembina Partai
Demokrat.
Jengah dengan KPK, DPR
yang memang punya wewenang legislasi berusaha menyerang balik. Serangannya
tak tanggung- tanggung. DPR berusaha mempereteli kewenangan KPK melalui
revisi undang-undangnya. UU KPK yang lex specialis dan mengatur sejumlah
kewenangan istimewa, seperti penyadapan dan tak boleh menerbitkan surat
perintah penghentian penyidikan (SP3), hendak dicabut DPR. Maka, apa pun
alasan DPR merevisi UU KPK tersebut, publik pun kadung menilai langkah mereka
memang sebagai bagian dari serangan balik terhadap KPK. Rencana revisi UU
tersebut pun akhirnya tidak masuk lagi dalam Program Legislasi Nasional 2013.
Beruntung, sejauh ini KPK
belum mengecewakan publik. Rakyat masih percaya, harapan Indonesia yang
bersih dan bebas dari korupsi masih ada karena KPK. Di tengah ketimpangan
sumber daya manusia akibat penarikan penyidik, KPK ternyata mampu menyidik
sejumlah kasus yang menyita perhatian publik secara luas, seperti Century dan
Hambalang.
”Bahkan, eksistensi kami
pun dipersoalkan. Makna ad hoc yang
berarti kekhususan malah diterjemahkan sebagai sementara. Serangan terhadap
eksistensi KPK ini sepaket dengan delegitimasi kredibilitas KPK. Sering kali
terdengar pernyataan, ’Mana berani KPK mengusut kasus Hambalang sampai
tuntas?’ Nyatanya, kami sekarang menetapkan high ranking official sebagai tersangka,” kata Wakil Ketua KPK
Bambang Widjojanto.
Lihat bagaimana rakyat
berbondong-bondong dalam sekejap datang ke KPK pada malam ketika Novel hendak
ditangkap. Lihat juga reaksi rakyat setiap kali DPR berusaha merevisi UU KPK
dan mencabut sejumlah kewenangan istimewa lembaga ini.
Bambang mengakui bahwa
dukungan masyarakat dan media selama ini menjadi tameng utama bagi KPK
menghadapi serangan balik dari koruptor ataupun mereka yang resah dengan
upaya pemberantasan korupsi. ”Ke depan
memang KPK harus lebih bersinergi dengan publik. Keterlibatan civil society
dalam pemberantasan korupsi mutlak dilakukan,” kata Bambang.
Menyaksikan langsung
rakyat bergantung harapan kepada KPK, di tengah berbagai serangan kepada
lembaga tersebut, rasanya seperti melihat negeri ini tak ingin bersih dari
korupsi. (KHAERUDIN) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar