Selasa, 18 Desember 2012

Buruk Muka Cermin Dibelah


Laporan Akhir Tahun Bidang Politik dan Hukum
Buruk Muka Cermin Dibelah
KOMPAS, 17 Desember 2012



Partai politik ibarat cacing kepanasan. Parpol yang tersingkir saat verifikasi administrasi menjelang hari-hari penentuan peserta Pemilu 2014 memprotes sistem verifikasi yang dianggap menguntungkan partai besar. ”Buruk muka cermin dibelah”.
Tentu saja cerita perjalanan menjadi kontestan pesta demokrasi takkan begini jadinya apabila parpol baru dan lama, terutama yang sudah mempunyai kursi di parlemen, selalu introspeksi dan menyiapkan diri menjadi parpol bermutu. Kenyataannya, banyak parpol yang justru memperbanyak kader korup dan membuat rakyat makin tidak percaya pada parpol.
Ketika tak lolos, pesan-pesan penuh amarah dikirimkan kepada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan mengatasnamakan seluruh warga Indonesia, pengurus parpol menuding KPU menzalimi dan berdosa terhadap rakyat Indonesia.
Padahal, ketika masyarakat akar rumput ditanyai tentang parpol, jawabannya selalu serupa. Politisi hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Datang berbondong-bondong menjelang pemilu dan berupaya meraup uang sebanyak-banyaknya setelah menduduki posisi di legislatif ataupun eksekutif. Aspirasi dan kepentingan masyarakat nyaris tidak lagi menjadi pertimbangan dalam keputusan politik. Lebih parah lagi, banyak kader partai yang korup. Masyarakat sadar betul akan hal itu.
Hanya Wasit
KPU hanyalah wasit meskipun keberadaannya tak bisa lepas dari kepentingan parpol tertentu. Namun, tidak bisa pula buruknya wajah dan persiapan parpol ditimpakan pada kerja wasit. Dalam penyelenggaraan pemilu, ada KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selain itu, peran Sekretariat Jenderal (Setjen) KPU sebagai pendukung penyelenggaraan pemilu juga tidak bisa dipinggirkan. Tanpa Setjen yang berkinerja baik, KPU tidak akan mampu mengelola pemilu.
Namun, keruwetan bertambah dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang semestinya hanya mengawasi kode etik KPU dan Bawaslu mulai dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota. DKPP tidak hanya menilai sekjen, wakil sekjen, ataupun kepala/wakil kepala biro hukum KPU yang melanggar kode etik. DKPP juga memerintahkan 18 parpol yang gagal verifikasi administrasi disertakan dalam verifikasi faktual. Kendati putusan dinilai melampaui kewenangan dan memasuki otoritas KPU, sebagian parpol yang semula berteriak meminta diverifikasi kini malah meminta semua parpol bisa langsung menjadi peserta pemilu melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Kalau gugatan sekelompok kecil parpol dikabulkan, peserta Pemilu 2014 bisa mencapai 34 parpol. Aturan yang dibuat untuk menyeleksi parpol yang benar- benar menyiapkan diri dan bekerja untuk rakyat menjadi tak berguna.
Sepak terjang DKPP yang menerbitkan putusan di luar kewenangannya menimbulkan kekhawatiran baru. DKPP bisa saja memutuskan semua parpol diikutkan sebagai peserta pemilu atau membatalkan hasil pemilu. Saat ini sudah dua putusan DKPP yang dinilai melampaui kewenangan. Pertama, DKPP meminta agar Daftar Pemilih Tetap Pemilu Kepada Daerah DKI Jakarta ditinjau dan diperbaiki. Kedua, DKPP memerintahkan KPU agar memverifikasi faktual 18 parpol yang tidak lolos verifikasi administrasi.
Pilihan Politisi
Para politisi yang menentukan sebagian anggota DKPP boleh merasa malu dengan kualitas pilihan mereka. Sama halnya ketika meneriakkan protes atas kinerja KPU atau Bawaslu. KPU dan Bawaslu pun ditetapkan oleh politisi di DPR. Rekomendasi nama-nama sesuai keahlian yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemilu dari tim seleksi tak digubris. Nama-nama berkualitas itu terbuang karena tidak memiliki dukungan politik.
Sebelumnya, politisi di DPR sudah menepuk air di dulang dengan aturan verifikasi parpol yang superketat. Harapan menyingkirkan pesaing parpol-parpol kecil dengan syarat sangat berat berubah menjadi senjata makan tuan. Sebab, MK memutuskan aturan ini harus berlaku untuk semua parpol yang akan menjadi peserta pemilu, tidak terkecuali parpol yang memiliki wakil di parlemen.
Meskipun Pemilu 2014 diawali dengan riak-riak, Ketua MK Mahfud MD menegaskan, apabila KPU menjaga integritas, netralitas, dan transparan, persoalan pemilu takkan berulang. Kekisruhan pemilu tidak boleh terjadi karena pesta demokrasi ini sudah berlangsung setiap lima tahun.
”Wajah Pemilu 2014 diharapkan lebih pasti, mulai dari pembagian wewenang antara KPU dan Bawaslu serta DKPP. Jangan sampai semua pihak saling mengganggu jadwal. Dewan etik, dalam hal ini DKPP, semestinya tidak boleh sampai pada ranah operasional dengan memerintahkan proses pemilu kepada KPU,” ujar Mahfud.
Ke depan, KPU pun tidak bisa lagi ragu dan tidak transparan. Verifikasi dan pelaksanaan tahapan sudah semestinya dilakukan secara sangat terbuka. Bawaslu juga harus lebih siap dengan mekanisme pengawasan dan kinerja optimal.
Pemerintah pun perlu memfasilitasi penyelenggara pemilu dengan birokrasi yang berkapasitas dan mampu bekerja sama dengan KPU. Tanpa dukungan dari birokrasi bersih, melayani, dan berkinerja optimal, mustahil pula Pemilu 2014 berlangsung. (Stefanus Osa/Nina Susilo) ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar