Selasa, 18 Desember 2012

Arah Kebijakan Pemberantasan Korupsi Indonesia


Arah Kebijakan Pemberantasan Korupsi Indonesia
Roby Arya Brata ;  Analis Antikorupsi, Hukum, dan Kebijakan
KORAN TEMPO, 17 Desember 2012


Beberapa waktu lalu, dalam acara memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, penulis diundang oleh Indonesia Legal Roundtable (ILR) sebagai narasumber dalam diskusi yang dihadiri oleh Koalisi Pemantau Peradilan (KPP), wakil KPK, dan media. Setelah memaparkan hasil penelitian doktoral (PhD) penulis tentang kegagalan implementasi kebijakan antikorupsi di Indonesia, kemudian penulis diminta menjawab tema diskusi "Apakah Kebijakan Pemberantasan Korupsi Indonesia Berada pada Arah yang Benar?". Pertanyaan yang tidak mudah ini hanya baru bisa dijawab setelah kita menganalisis apa yang sesungguhnya menjadi masalah kepemerintahan kita (governance problem), strategi antikorupsi apakah yang digunakan pemerintah, dan apakah strategi itu menghasilkan dampak yang diinginkan untuk mengatasi masalah kepemerintahan demikian.
Masalah kepemerintahan yang menghambat kinerja pemerintah dan terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang seharusnya menjadi prioritas dan fokus untuk diatasi pemerintah adalah sistem politik demokrasi yang korup. Sistem politik demikian, seperti telah kita saksikan sendiri, menciptakan peluang terjadinya korupsi kebijakan, money politics atau korupsi politik, mafia anggaran, dan kooptasi korup pembuat kebijakan oleh aktor bisnis. 
Sistem politik demokrasi yang semula diharapkan mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat justru bertransformasi menjadi demokrasi semu-transaksional korup yang dikendalikan oleh para elite politik, mafia, dan korporasi hitam (elite oligarchy). Dalam "demokrasi" semacam ini, negara dan kebijakan-kebijakannya tersandera dan menghamba pada kepentingan-kepentingan para elite itu (state capture). Sistem politik korup demikian justru menghasilkan kebijakan publik, partai politik, parlemen, dan pemimpin politik yang berlawanan serta menjadi musuh (kepentingan) rakyat.
Demokrasi semi-transaksional korup tersebut mengafirmasi apa yang diargumentasikan oleh Vilfredo Pareto, seorang pemikir Italia. Ia mengatakan demokrasi hanyalah ilusi, lantaran sesungguhnya demokrasi bekerja untuk menutupi kekuasaan korup para elite. Karena itu, institusi-institusi demokrasi berfungsi tidak lebih dari sekadar mentransformasi kekuasaan, dari opresi ke manipulasi proses politik.
Masalah governance lain yang sangat melumpuhkan fungsi pemerintahan, khususnya penegakan hukum dan keadilan, adalah semakin kuat dan merasuknya praktik mafia peradilan (judicial corruption). Dugaan manipulasi putusan kasus narkoba oleh Hakim Agung AY sungguh membuat kita cemas bahwa mafia peradilan telah merebut palu-palu keadilan dari para hakim, tidak terkecuali palu hakim "agung" dari institusi penjaga keadilan tertinggi.
Korupsi dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh oknum polisi, jaksa, hakim, dan pengacara sungguh telah sistemik, kronis, dan merusak. Dugaan korupsi sistemik di Korps Lalu Lintas Mabes Polri dalam bentuk mark-up proyek pengadaan simulator mengemudi oleh Jenderal DS dan tidak dituntaskannya kasus rekening gendut para perwira mengindikasikan bahwa Polri tidak sungguh-sungguh mereformasi diri menjadi institusi yang benar-benar mengayomi masyarakat serta menegakkan hukum dan keadilan.
Ironisnya, oknum penegak hukum justru menjadi backing dan bagian dari kejahatan itu sendiri. Dalam kasus rekening gendut Polri, diduga uang itu merupakan hasil upeti atau protection money dari bisnis-bisnis kejahatan, seperti narkoba, illegal logging, pelacuran, dan bisnis "jual-beli hukum" lainnya.
Bila pemerintah, terutama pimpinan tertinggi, tidak bersungguh-sungguh dan terus membiarkan terjadinya praktek mafia peradilan serta korupsi penegakan hukum lainnya, kita akan merasakan dampak yang mengerikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampak itu sesungguhnya sudah kita rasakan sekarang. Institusi penegak hukum kini semakin kehilangan wibawa dan kepercayaan publik, bahkan sebagian masyarakat menganggap mereka sebagai musuh rakyat. 
Akibatnya, peradilan jalanan, kekerasan horizontal, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan fisik, dan perlawanan oleh sebagian rakyat terhadap penegak hukum terus terjadi. Dampak lainnya adalah semakin tingginya tingkat kejahatan dan semakin kuatnya kejahatan terorganisasi (organized crime), seperti narkoba dan mafia hukum. Bila kita terus membiarkan organisasi kejahatan ini, dalam waktu sepuluh tahun bukan tidak mungkin negara kita akan berubah menjadi negara teror, seperti Meksiko. Keinginan menjadi negara maju hanyalah mimpi di siang bolong.
Strategi Pemerintah
Kelemahan mendasar dari strategi pemerintah adalah tidak ada keberanian dan kemauan politik yang kuat dari para pemimpin, terutama pimpinan tertinggi, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan antikorupsi yang telah digariskan. Mengatakan, "Saya akan memimpin sendiri dalam pemberantasan korupsi", namun kemudian "membiarkan" praktek korupsi di kabinet dan partainya memberi sinyal yang buruk kepada aparat di bawahnya bahwa Presiden sesungguhnya hanya bermain-main dengan agenda pemberantasan korupsi. Sinyal yang berbahaya ini menjadi trigger bagi praktek korupsi yang semakin luas.
Jadi, kelemahannya lebih pada implementasi kebijakan antikorupsi, bukan sekadar pada kebijakan itu sendiri. Selain itu, pemerintah cenderung menggunakan strategi one size fits all pada masalah governance yang berbeda di beberapa sektor. Tidak ada satu obat untuk semua penyakit. Fatalnya, pemerintah menggunakan indikator yang bermasalah dalam menilai kinerja pemberantasan korupsi. Pemerintah-termasuk Presiden, Bappenas, UKP4, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, bahkan KPK-menggunakan corruption perceptions index (indeks persepsi korupsi/IPK) dari Transparency International untuk mengukur pencapaian kinerja pemberantasan korupsi. 
Padahal, sebagai indikator kinerja, IPK memiliki beberapa kelemahan. Perbandingan ranking dan skor IPK tidak mungkin dilakukan karena sesungguhnya IPK hanyalah kumpulan berbagai survei yang menggunakan metodologi berbeda. Dari banyak jenis korupsi, IPK hanya mengukur satu jenis korupsi, yaitu suap (bribery). Selain itu, karena sifatnya yang konspiratif dan tersembunyi-fenomena dark number-volume nyata korupsi sangat sulit ditentukan.
Tentu saja strategi pemerintah itu menghasilkan kinerja yang kurang memuaskan. Praktek korupsi dengan segala bentuknya kini semakin sistemik, luas, menyebar, dan merasuk ke hampir semua sektor, level, dan institusi, baik pusat maupun daerah. Skor agregat Indonesia dalam governance indicators Bank Dunia dalam aspek rule of law dan control of corruption periode 1996-2011 juga mengecewakan, yaitu di bawah 50 percentile rank.
Esensinya, kita tidak bisa berharap banyak pada pemerintah dan penegak hukum yang justru menjadi bagian integral dari masalah korupsi itu sendiri. Dalam keadaan seperti ini, harapan kita sandarkan pada kekuatan arus bawah civil society untuk terus menekan negara. Kita tidak boleh berhenti dan mundur selangkah pun untuk merebut kembali hak-hak kita akan keadilan, kesejahteraan, keamanan, dan kemajuan yang telah dirampas para koruptor. Seperti yang diserukan penyanyi Bob Marley, "Get up, stand up! Don't give up the fight!". Jangan pernah menyerah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar