Arah Kebijakan
Pemberantasan Korupsi Indonesia
Roby Arya Brata ; Analis Antikorupsi, Hukum, dan Kebijakan
|
KORAN
TEMPO, 17 Desember 2012
Beberapa waktu lalu, dalam
acara memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, penulis diundang oleh Indonesia Legal Roundtable (ILR)
sebagai narasumber dalam diskusi yang dihadiri oleh Koalisi Pemantau
Peradilan (KPP), wakil KPK, dan media. Setelah memaparkan hasil penelitian
doktoral (PhD) penulis tentang kegagalan implementasi kebijakan antikorupsi
di Indonesia, kemudian penulis diminta menjawab tema diskusi "Apakah
Kebijakan Pemberantasan Korupsi Indonesia Berada pada Arah yang Benar?".
Pertanyaan yang tidak mudah ini hanya baru bisa dijawab setelah kita
menganalisis apa yang sesungguhnya menjadi masalah kepemerintahan kita (governance problem), strategi
antikorupsi apakah yang digunakan pemerintah, dan apakah strategi itu
menghasilkan dampak yang diinginkan untuk mengatasi masalah kepemerintahan
demikian.
Masalah kepemerintahan yang menghambat kinerja
pemerintah dan terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang seharusnya menjadi prioritas dan fokus
untuk diatasi pemerintah adalah sistem politik demokrasi yang korup. Sistem
politik demikian, seperti telah kita saksikan sendiri, menciptakan peluang
terjadinya korupsi kebijakan, money
politics atau korupsi politik, mafia anggaran, dan kooptasi korup pembuat
kebijakan oleh aktor bisnis.
Sistem politik demokrasi yang semula diharapkan
mewujudkan kedaulatan, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat justru
bertransformasi menjadi demokrasi semu-transaksional korup yang dikendalikan
oleh para elite politik, mafia, dan korporasi hitam (elite oligarchy). Dalam "demokrasi" semacam ini, negara
dan kebijakan-kebijakannya tersandera dan menghamba pada
kepentingan-kepentingan para elite itu (state
capture). Sistem politik korup demikian justru menghasilkan kebijakan
publik, partai politik, parlemen, dan pemimpin politik yang berlawanan serta
menjadi musuh (kepentingan) rakyat.
Demokrasi semi-transaksional korup tersebut
mengafirmasi apa yang diargumentasikan oleh Vilfredo Pareto, seorang pemikir
Italia. Ia mengatakan demokrasi hanyalah ilusi, lantaran sesungguhnya
demokrasi bekerja untuk menutupi kekuasaan korup para elite. Karena itu,
institusi-institusi demokrasi berfungsi tidak lebih dari sekadar
mentransformasi kekuasaan, dari opresi ke manipulasi proses politik.
Masalah governance
lain yang sangat melumpuhkan fungsi pemerintahan, khususnya penegakan hukum
dan keadilan, adalah semakin kuat dan merasuknya praktik mafia peradilan (judicial corruption). Dugaan
manipulasi putusan kasus narkoba oleh Hakim Agung AY sungguh membuat kita
cemas bahwa mafia peradilan telah merebut palu-palu keadilan dari para hakim,
tidak terkecuali palu hakim "agung" dari institusi penjaga keadilan
tertinggi.
Korupsi dalam proses penegakan hukum yang dilakukan
oleh oknum polisi, jaksa, hakim, dan pengacara sungguh telah sistemik,
kronis, dan merusak. Dugaan korupsi sistemik di Korps Lalu Lintas Mabes Polri
dalam bentuk mark-up proyek
pengadaan simulator mengemudi oleh Jenderal DS dan tidak dituntaskannya kasus
rekening gendut para perwira mengindikasikan bahwa Polri tidak sungguh-sungguh
mereformasi diri menjadi institusi yang benar-benar mengayomi masyarakat
serta menegakkan hukum dan keadilan.
Ironisnya, oknum penegak hukum justru menjadi backing
dan bagian dari kejahatan itu sendiri. Dalam kasus rekening gendut Polri,
diduga uang itu merupakan hasil upeti atau protection money dari bisnis-bisnis kejahatan, seperti narkoba,
illegal logging, pelacuran, dan bisnis "jual-beli hukum" lainnya.
Bila pemerintah, terutama pimpinan tertinggi, tidak
bersungguh-sungguh dan terus membiarkan terjadinya praktek mafia peradilan
serta korupsi penegakan hukum lainnya, kita akan merasakan dampak yang
mengerikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampak itu sesungguhnya
sudah kita rasakan sekarang. Institusi penegak hukum kini semakin kehilangan
wibawa dan kepercayaan publik, bahkan sebagian masyarakat menganggap mereka
sebagai musuh rakyat.
Akibatnya, peradilan jalanan, kekerasan horizontal,
pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan fisik, dan perlawanan oleh sebagian
rakyat terhadap penegak hukum terus terjadi. Dampak lainnya adalah semakin
tingginya tingkat kejahatan dan semakin kuatnya kejahatan terorganisasi (organized crime), seperti narkoba dan
mafia hukum. Bila kita terus membiarkan organisasi kejahatan ini, dalam waktu
sepuluh tahun bukan tidak mungkin negara kita akan berubah menjadi negara
teror, seperti Meksiko. Keinginan menjadi negara maju hanyalah mimpi di siang
bolong.
Strategi Pemerintah
Kelemahan mendasar dari strategi pemerintah adalah
tidak ada keberanian dan kemauan politik yang kuat dari para pemimpin,
terutama pimpinan tertinggi, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
antikorupsi yang telah digariskan. Mengatakan, "Saya akan memimpin sendiri dalam pemberantasan korupsi",
namun kemudian "membiarkan" praktek korupsi di kabinet dan
partainya memberi sinyal yang buruk kepada aparat di bawahnya bahwa Presiden
sesungguhnya hanya bermain-main dengan agenda pemberantasan korupsi. Sinyal
yang berbahaya ini menjadi trigger
bagi praktek korupsi yang semakin luas.
Jadi, kelemahannya lebih pada implementasi kebijakan
antikorupsi, bukan sekadar pada kebijakan itu sendiri. Selain itu, pemerintah
cenderung menggunakan strategi one size
fits all pada masalah governance
yang berbeda di beberapa sektor. Tidak ada satu obat untuk semua penyakit.
Fatalnya, pemerintah menggunakan indikator yang bermasalah dalam menilai
kinerja pemberantasan korupsi. Pemerintah-termasuk Presiden, Bappenas, UKP4,
serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, bahkan
KPK-menggunakan corruption perceptions
index (indeks persepsi korupsi/IPK) dari Transparency International untuk mengukur pencapaian kinerja
pemberantasan korupsi.
Padahal, sebagai indikator kinerja, IPK memiliki
beberapa kelemahan. Perbandingan ranking dan skor IPK tidak mungkin dilakukan
karena sesungguhnya IPK hanyalah kumpulan berbagai survei yang menggunakan
metodologi berbeda. Dari banyak jenis korupsi, IPK hanya mengukur satu jenis
korupsi, yaitu suap (bribery).
Selain itu, karena sifatnya yang konspiratif dan tersembunyi-fenomena dark
number-volume nyata korupsi sangat sulit ditentukan.
Tentu saja strategi pemerintah itu menghasilkan kinerja
yang kurang memuaskan. Praktek korupsi dengan segala bentuknya kini semakin
sistemik, luas, menyebar, dan merasuk ke hampir semua sektor, level, dan
institusi, baik pusat maupun daerah. Skor agregat Indonesia dalam governance indicators Bank Dunia dalam
aspek rule of law dan control of corruption periode
1996-2011 juga mengecewakan, yaitu di bawah 50 percentile rank.
Esensinya, kita tidak bisa
berharap banyak pada pemerintah dan penegak hukum yang justru menjadi bagian
integral dari masalah korupsi itu sendiri. Dalam keadaan seperti ini, harapan
kita sandarkan pada kekuatan arus bawah civil society untuk terus menekan
negara. Kita tidak boleh berhenti dan mundur selangkah pun untuk merebut
kembali hak-hak kita akan keadilan, kesejahteraan, keamanan, dan kemajuan
yang telah dirampas para koruptor. Seperti yang diserukan penyanyi Bob
Marley, "Get up, stand up! Don't
give up the fight!". Jangan
pernah menyerah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar