Mencari “Sukrasana”
Indra Tranggono ; Pemerhati
Kebudayaan;
|
KOMPAS,
07 Desember 2012
Menemukan pemimpin sekaliber Bung Karno,
Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Tan Malaka terlalu mewah bagi bangsa kita.
Dalam degradasi watak
manusia Indonesia yang serius, kini kita hanya butuh pemimpin yang memiliki
kapasitas orang baik yang
Kriteria orang baik itu
mungkin bisa kita temukan dalam sosok Sukrasana, tokoh dalam pewayangan yang
buruk secara fisik tapi sakti dan berwatak mulia. Ahli filsafat dari UGM,
Damarjati Supadjar, memaknai Sukrasana sebagai ”suka sarana” atau memberikan
jalan penyelesaian atas masalah. Makna itu merupakan analogi dari watak
solider Sukrasana. Ia selalu siap berkorban untuk kepentingan orang lain, atas
dasar cinta dan pengharapan mewujudkan dunia yang ideal.
Sukrasana bahkan tak
pernah berhitung untung dan rugi atas pilihan itu. Termasuk ia harus terbunuh
oleh kakaknya sendiri, Bambang Sumantri. Padahal, sang kakak telah dibantunya
hingga berhasil menjadi bagian dari elite kekuasaan raja agung Harjuna
Sasrabahu.
Sukrasana adalah monumen
kesetiaan, integritas, dan komitmen yang telah menjadi rujukan kolektif.
Dalam jagat politik kita yang dikuasai pencitraan ala Arjuna yang serba
Terbukti, para pemimpin
ala Arjuna itu tak memberikan perubahan signifikan bagi bangsa ini.
Sebaliknya, bangsa ini justru harus melayani segala kemanjaan para ”Arjuna”,
sekaligus jadi tong sampah bagi keluhannya.
Lebih menyedihkan lagi,
para ”Arjuna” itu sering
Manusia ”Sukrasana” tak
memiliki mentalitas borjuistis-hedonistis ala Arjuna. Ia adalah manusia
esensi atau manusia substansi yang tak butuh rumbai-rumbai artifisial dan
mentalitas kemaruk. Ia telah mencapai titik kesempurnaan sebagai makhluk
Tuhan; sebuah fase di mana ia mampu melenyapkan seluruh ego dan superegonya.
Ia selalu berpikir bahwa
dirinya tak lebih dari sekadar titah, makhluk Tuhan yang memiliki kewajiban
profetis, semacam tugas kenabian untuk membeberkan dan mewujudkan nilai-nilai
ideal kehidupan. Satu-satunya pamrih dalam dirinya adalah pencapaian
cita-cita yang membawa kemaslahatan bagi banyak orang. Bukan ingin dipuji
atau merampas simpati publik.
Bagi manusia ”Sukrasana”,
segala pencitraan tak lebih dari kosmetik untuk menutupi berbagai borok, baik
borok personal, borok politik, maupun borok sosial. Sukrasana tak butuh bedak
dan gincu pencitraan karena ia tak punya borok. Ia sangat percaya diri untuk
tampil lugas, apa adanya, penuh sikap kesatria. Ini dadaku, mana dadamu,
begitu ia berucap tanpa niat sombong, tapi tegas dan berani.
Kesederhanaan, kejujuran,
kepatutan, dan kelayakan menjadi dasar kehadiran manusia ”Sukrasana”. Sikap
ini bisa dimaknai sebagai asketisisme, pengekangan diri atas godaan duniawi
yang menjebak manusia pada kubangan lumpur artifisialitas dan akhirnya bisa
mengubah watak seseorang menjadi culas.
Konkretnya, karena manusia
”Sukrasana” adalah manusia esensi dan substansi, ia tidak membutuhkan
Kita yakin bangsa ini
memiliki manusia-manusia ”Sukrasana” meskipun jumlahnya sangat kecil. Mereka
bisa berada di gerbong-gerbong kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif)
atau di lembaga-lembaga pendidikan, budaya, sosial, dan politik.
Dalam jagat kekuasaan yang
dihegemoni oleh para raksasa dan rakseksi, manusia-manusia ”Sukrasana”
cenderung tidak diberi atau mendapat tempat. Mereka malah justru dianggap
sebagai gangguan, bahkan tak jarang dianggap ancaman. Kejujuran selalu jadi
energi anomalis bagi struktur kejahatan.
Langkah terbesar dan
strategis seluruh elemen bangsa ini adalah menghadirkan manusia-manusia
”Sukrasana” dalam kontestasi politik pada Pemilu 2014. Partai- partai
politik, lembaga-lembaga sosial, budaya, agama, pendidikan, pers, dan seluruh
pemangku kepentingan lain bangsa ini bisa membangun sinergisitas untuk
memunculkan manusia-manusia berkaliber ”Sukrasana” menjadi pilihan rakyat.
Ini momentum penting untuk
mengubah Indonesia yang punya masa depan konstitusional. Tentu saja bukan
kedaulatan berlanggam kapital dan pasar yang dikendalikan kekuatan asing dan
para makelar kekuasaan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar