Kopi Susu
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
SINDO,
02 Desember 2012
Saya kira hampir semua orang pernah minum kopi susu, bahkan
banyak yang sangat menyukainya. Di kafe-kafe kopi susu dibuat lebih canggih
lagi dan diberi nama cappuccino, espresso, atau cafe latte.
Para eksekutif muda, pebisnis, atau ibu-ibu muda menyeruputnya berlama-lama, sebagian sambil berbual, yang lain berdiskusi serius, ada juga yang hanya ditemani komputer dan berinternetan. Padahal harga kopi itu jangan ditanya, bisa empat kali lebih mahal dari sate padang atau gado-gado di kantin kampus yang jadi menu kesukaan saya. Tapi pernahkah kita memikirkan serius bagaimana proses terjadinya kopi susu? Pasti semua orang tahu bahwa kopi susu itu minimal ada empat unsurnya, yaitu air, kopi, susu, dan gula. Kadang-kadang ditambah kayu manis atau jahe, kadang-kadang tanpa gula, tetapi rumus standar kopi susu ya keempat unsur tadi.Namun, pernahkah terpikir oleh kita bahwa di dalam air, yang rumus kimianya H2O,ada unsur hidrogen dan oksigennya? Tapi kita tidak akan bisa lagi menemukan kedua zat kimia itu di dalam air. Buat kita, air ya air, titik. Terus tentang kopi susunya itu sendiri. Begitu diminum, kita bisa merasakan rasa kopi susu yang berbeda dari teh tarik (teh pakai susu) atau soda gembira (soda pakai susu juga). Dalam kopi susu kita bisa merasakan manisnya gula, harumnya kopi, lezatnya susu dan hangatnya (atau dinginnya) air. Tapi kalau kita disuruh mengurai dan mencari mana kopinya, mana gulanya, dan mana susunya sudah tidak mungkin lagi. Sebelum masuk ke cangkir kopi, tiap zat itu ada di tempat masing-masing, tempat kopi, tempat gula, kardus susu, dan galon air, tetapi ketika semuanya sudah menyatu dalam cangkir kopi kita cuma tahu kopi susu saja. Itulah yang disebut Bhinneka Tunggal Ika versi kopi susu. Lain lagi dengan Bhinneka Tunggal Ika versi sayur asem. Sayur asem ya sayur asem, dia bukan garang asem atau asem-asem. Dia juga bukan sayur lodeh atau sayur bening. Sayur asem paling sip dimakan dengan menu saung kuring: nasi panas, berlauk ikan asin, ayam goreng dan lalap-sambal. Kalau tiba-tiba sayur asem digantikan dengan sayur lodeh, walaupun sama-sama sayur, selera makan kita jadi luntur, bahkan hancur. Unsur-unsur dalam sayur asem ini tentunya yang terbanyak adalah air lagi, ada asem pastinya, ada aneka daun (saya enggak hafal nama-namanya), potongan jagung, melinjo dan kacang tanah. Tapi berbeda dari kopi susu, unsur-unsur sayur asem masih bisa kita kenali dan kita ambil satu persatu dan kita pisah-pisahkan.Misalnya kita makan dulu jagungnya, seruput kuahnya, kupas dan makan melinjonya, seruput kuahnya lagi,kacang tanah dan dedaunan kita siramkan ke nasi, seruput lagi dan seterusnya, sampai habis. Jadi walaupun sudah melebur ke dalam sayur asem, identitas tiap unsur tetap dipertahankan. Inilah Bhinneka Tunggal Ika versi sayur asem. Bangsa Indonesia adalah bangsa Bhinneka Tunggal Ika. Itu pasti karena sudah jelas tertera di pita yang dicengkeram oleh burung Garuda Pancasila, lambang negara kita. Tapi jangan lupa, Bhinneka Tunggal Ika bangsa Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika versi sayur asem. Dia Indonesia, tetapi Batak atau Jawanya masih nyata. Bali atau Lampungnya masih kentara. Bhinneka Tunggal Ika bangsa Indonesia berbeda dari bangsa Amerika Serikat (AS).Bangsa AS ber-Bhinneka Tunggal Ika juga, tetapi versi kopi susu. Ratusan tahun yang lalu, berbagai bangsa dan etnik dari Eropa bermigrasi ke sebuah tanah kosong (isinya cuma segelintir orang Indian yang kemudian tersingkir). Di tanah kosong yang sekarang bernama Amerika itu, bangsa Inggris, Jerman, Belanda dsb berbaur seperti kopi, gula, susu, dan air bercampur dalam gelas. Sekarang sulit dibedakan mana yang orang Inggris, Jerman atau Belanda, bahkan orang Asia, Amerika Latin dan Afrika. Semuanya sudah merasa dirinya orang Amerika. Contohnya Presiden Obama, kalau tidak kita lihat warna kulitnya dia sama saja dengan Amrik bule lainnya. Sebaliknya di Indonesia, walaupun warna kulit sama dan wajah mirip, begitu ngomong, ketahuanlah dari mana dia. Ibaratnya sayur asem, langsung ketahuan apakah dia jagung atau melinjo. Susahnya, bangsa Indonesia, dengan diteladankan oleh para elite politik, pemuka dan aktivis agama, bahkan kaum intelektualnya, senang sekali meniru bangsa lain. Dari dulu sampai sekarang, kita selalu meniru Barat, khususnya AS. Musik, fast food, gaya hidup, shopping, model busana juga impor dari Barat, bahkan demokrasi meniru barat juga. One man one vote, suara terbanyak menang dan yang menang pasti paling baik dan paling benar. Jadinya kita adu banyak-banyakan suara. Padahal suara terbanyak bukan jaminan yang terbaik atau paling benar. Mengapa demokrasi berjalan baik di Amerika? Karena mind set mereka sudah seragam bagaikan kopi susu. Adapun mind set bangsa Indonesia adalah model sayur asem. Karena itu yang terbaik sebenarnya adalah musyawarah dan mufakat sebagaimana sudah diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila. Tapi belakangan ini ada lagi yang ingin bangsa Indonesia meniru ke Timur, ke Timur Tengah, khususnya ke Arab. Maka populerlah baju gamis, musik nasyid, kuliner Arab (ini saya paling suka), sampai pada gaya hidup poligami (istri saya tidak suka), sampai hukum syariah. Tentang politik, yang berorientasi ke Arab paling antidemokrasi karena dalam interpretasi mereka Islam tidak menganut demokrasi, apa kata imam ikuti saja. Bahkan sebagian mengadopsi tradisi baiat. Padahal Arab bukan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika sama sekali. Mereka bukan kopi susu dan juga bukan sayur asem. Dari zaman jahiliah bangsa Arab tidak pernah bersatu. Bahkan rahmat Allah berupa hadirnya Rasulullah tidak membuat mereka bersatu. Setelah Rasulullah wafat, penerus-penerusnya pun langsung saling bertikai sehingga Islam terpecah belah sampai hari ini. Celakanya, baik yang berorientasi ke AS (Barat) maupun Arab (Timur) mempunyai kelompok-kelompok radikal masing-masing.Jumlah mereka sedikit karena bangsa Indonesia selalu cenderung moderat (di tengah). Tapi kelompok-kelompok radikal ini sangat memaksakan agar seluruh manusia Indonesia seperti dia, sok Amerika atau sok Arab. Padahal yang terbaik adalah tetap Indonesia. Saya bangga sekali kalau sedang di Papua dan bercakap-cakap dengan teman-teman di sana dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Inggris. Padahal kulit dan potongan tubuh orang Papua lebih mirip dengan Presiden Obama daripada saya sendiri. Setahun lalu saya punya mahasiswa seorang perwira polisi dari Timor Leste di Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian UI. Namanya Fernandus Mateus. Bahasa Indonesianya lebih bagus (lebih baku) dari mahasiswa polisi lain (WNI asli) yang bahasa Indonesianya sudah bercampur aduk dengan aneka dialek dan bahasa pasar Indonesia. Seandainya tidak ada referendum, Mateus masih orang Indonesia sampai sekarang. Sayang sekali Bhinneka Tunggal Ika bangsa Indonesia yang dasarnya memang versi sayur asem dikoyak-koyak dengan politik. Contohnya Mateus itu tadi. Yang berikutnya sangat boleh jadi Papua. Lama-lama bisa saja Indonesia jadi berkeping-keping seperti Uni Soviet yang dulu pernah jadi negara adidaya. Identitas campuran versi sayur asem memang lebih rentan perpecahan ketimbang versi kopi susu. Karena itu ke-Bhinneka Tunggal Ika-an bangsa Indonesia harus dijaga baikbaik dengan mendorong bangsa ini untuk bangga pada dirinya sendiri. Orang Malaysia lebih senang mendengar lagu Indonesia daripada lagu-lagunya sendiri. Di taman Window of the World Shenzhen, China, kita bisa melihat miniatur Borobudur bersama miniatur Air Terjun Niagara dan Menara Eiffel dan lainnya. Pulau Bali sudah jadi buah bibir di mana-mana. Semua itu Indonesia yang sayur asem, bukan AS yang kopi susu dan bukan juga Arab yang bukan kopi susu dan bukan sayur asem. ● |
Artikel Kayak gini kok bisa dimuat ya???
BalasHapus