Rabu, 19 Desember 2012

Misi SBY ke Malaysia


Misi SBY ke Malaysia
Andi Purwono ;  Dosen Hubungan Internasional,
Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 19 Desember 2012


PRESIDEN SBY melakukan kunjungan kerja ke Malaysia hingga hari ini, sebelum bertolak ke India menghadiri pertemuan ASEAN + India, sampai 21 Desember lusa. Kunjungan ke Malaysia mendapat banyak sorotan karena dilakukan pada waktu hubungan bilateral berada dalam posisi panas atas berbagai permasalahan. Tepatkah kunjungan SBY kali ini dan apa maknanya?

Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa kunjungan ke Malaysia menarik dicermati. Pertama;   dilakukan saat terjadi hubungan bilateral yang panas. Penembakan TKI, pemerkosaan TKW, pemukulan suporter Indonesia dalam Piala AFF, dan terakhir permasalahan terkait penghinaan mantan presiden BJ Habibie menjadi setting menarik.

Kedua; dalam konteks hubungan panas itu, ada tekanan domestik yang signifikan untuk menunda kunjungan ke Malaysia. Salah satunya dari Ketua Presidium ICMI Nanat Fatah Natsir yang mendesak SBY menunda kunjungan ke Malaysia, setelah ada penghinaan dari mantan menpen Malaysia Tan Sri Zainuddin Maidin kepada BJ Habibie.

Secara teoritik, dalam sistem demokratis, pandangan, sikap, hingga tekanan publik domestik tidak bisa diabaikan dalam perumusan politik luar negeri. Tetapi pada akhirnya, keputusan ada di tangan eksekutif untuk melakukan pilihan rasional demi pertimbangan kepentingan nasional.

Ketiga; tudingan bahwa selama ini sikap kita terlalu lemah dengan mengedepankan diplomasi. Berulangnya kasus seperti sengketa perbatasan, pelecehan TKI, klaim budaya, hingga penghinaan verbal misalnya, membuat banyak pihak di Indonesia kecewa dan marah kepada Malaysia. Protes, demonstrasi, cyber war antarpenduduk di dunia maya, hingga aksi sweeping warga Malaysia pernah terjadi di Indonesia.

Persepsi

Tidak bisa dimungkiri telah muncul persepsi bahwa negara jiran serumpun itu tidak bersahabat dengan melukai perasaan kita. Di sisi lain, pemerintahan SBY berkali-kali menegaskan sikap pada penggunaan diplomasi sebagai upaya pencarian solusi hubungan kedua negara.

Dalam konteks seperti itu, ketika Selasa siang lalu SBY memutuskan bertolak ke Malaysia, itulah pilihan rasional yang sudah dipertimbangkan untung dan ruginya. Agenda terpenting di Malaysa adalah pertemuan empat mata dengan PM Mohd Najib Tun Razak serta kehadiran keduanya  memimpin konsultasi tahunan ke-9 yang diikuti menteri dan pejabat tinggi terkait dari kedua negara.

Bayangkan jika pemimpin kedua negara memilih alternatif lain, bukan diplomasi. Artinya, ketika top eksekutif kedua pihak sudah mencapai kesepahaman dan titik temu, potensi konflik yang lebih runcing bisa diminimalisasi. Inilah yang menjadi jawaban bagi kegemasan publik Indonesia akan sikap pemerintah yang sering kali dalam penilaian awam tidak cukup tegas dan tidak berani bersikap atas berbagai penistaan oleh Malaysia.

Padahal, meminjam pandangan Sir Earnest Satow dalam buku Guide to Diplomatic Practice yang sering disebut sebagai kitab suci diplomat, diplomasi dipandang sebagai aplikasi dari kecerdasan dan kebijaksanaan untuk menghubungkan korelasi-korelasi yang berkenaan dengan jabatan di antara pemerintah di negara merdeka. Artinya, ada kecerdasan dan kebijaksanaan dan bukan sekadar kemarahan dan ketergesa-gesaan menyikapi persoalan.

Kunjungan Tepat

Apalagi jika ini dikaitkan dengan fakta tentang instrumen negara dalam hubungan antarbangsa.

Pilihannya hanya diplomasi, perang, operasi penetrasi seperti operasi intelijen, covert act, hingga propaganda, atau yang terakhir melalui instrumen ekonomi. Dari alternatif itu, memang diplomasi yang paling rasional dan terukur.

Persoalannya jika pada tingkat elite pemerintah ada kesepahaman, bagaimana dengan rakyat? Padahal selama ini banyak permasalahan juga muncul di tingkat hubungan antarmasyarakat).

Dalam konteks itulah maka kehadiran SBY  menerima gelar doktor honoris causa bidang kepemimpinan perdamaian dari Universitas Utara Malaysia juga bagian dari diplomasi government to people (G to P) yang sangat berarti. Karenanya, SBY harus memanfaatkan momen itu untuk berpidato minimal kepada masyarakat akademik Malaysia tentang pandangan dan sikap jernih Indonesia terhadap hubungan kedua negara.

Lebih luas dari itu, diseminasi dan penyadaran kepada masyarakat kita mutlak diperlukan agar tidak mudah terprovokasi oleh sikap tidak bersahabat Malaysia. Kita pantas kecewa dan marah atas perlakuan negatif Malaysia, tetapi sebagai balasannya justru kita diuji untuk menunjukkan diri sebagai bangsa yang lebih beradab, bermartabat, dan cerdas. Karenanya penulis sependapat dengan pandangan Ketua Badan Perwakilan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Malaysia Sagir Alva, bahwa kehadiran SBY di Malaysia adalah suatu kunjungan yang tepat.

Kedatangan SBY diharapkan dapat membawa ketenangan dalam hubungan kedua negara  bertetangga ini, termasuk menghsilkan penyelesaian optimal dari isu perlindungan TKI dan WNI, masalah perbatasan, investasi kedua negara, hingga visa pelajar.

Upaya menghidupkan kembali joint committee (JC) Indonesia-Malaysia sebagai task force yang bertugas untuk membahas dan menyelesaikan isu-isu yang berpotensi merusak hubungan kedua negara juga penting. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar