Diaspora Faksi
Demokrat
Arya Budi ; Peneliti dan Analis Politik dari
Pol-Tracking Institute
|
KORAN
TEMPO, 19 Desember 2012
Hingga kini, Partai
Demokrat adalah partai yang paling sering menampilkan perwajahan paradoks
beberapa hari terakhir ini. Sekuen drama kasus korupsi di tengah slogan
"Bersih", pernyataan kontroversial dari meja pimpinan DPR sampai
respons warga Nahdliyin di tengah slogan "Santun", serta pertengkaran
lingkup internal di depan media di tengah slogan "Cerdas" adalah
sekeping paradoks Demokrat.
Sejak memenangi kursi
eksekutif pada 2004, Demokrat kembali memenangi kursi eksekutif dan
legislatif sekaligus pada 2009. Sekalipun presiden cenderung tersandera oleh
koalisi multipartai di dalam tatanan presidensial (Hanta Yuda, 2010), jabatan
kursi presiden plus kursi besar di parlemen dapat merepresentasikan dengan
kuat satu di antara tiga perwajahan partai, yaitu party in public office (Katz dan Mair, 1996). Silogisme
politiknya sederhana: mulai jabatan publik membuka akses partai terhadap
sumber daya negara dari bentuk pork
barrel politics “pengalokasian anggaran negara untuk kebijakan populer
seperti BLT” hingga bentuk-bentuk rent
seeking, seperti akses terhadap proyek negara.
Namun Demokrat kini bagai
ayam yang sekarat kelaparan di lumbung padi. Kelaparan simpati publik di
tengah berlimpahnya akses jabatan publik. Elektabilitas Demokrat satu tahun
terakhir terjun bebas bahkan hingga satu digit (baca: kurang dari 10 persen)
dari perolehan Pemilu 2009 yang hampir 21 persen. Terpilihnya Anas Urbaningrum
dalam kongres partai pada 2010 sebagai ketua umum sebenarnya mengklarifikasi
banyak studi politik post-Soeharto bahwa oligarki bercokol di dalam
kelembagaan partai.
Tak perlu menunggu tua
untuk menjadi seorang oligark gerbong faksi dengan jabatan ketua umum partai.
Namun figur muda yang tampil memimpin partai besar ini justru menciptakan
diaspora faksi dengan output terbongkarnya cara kerja partai akibat Nazaruddin's effect. Nazaruddin,
Angelina Sondakh, dan terakhir Andi Mallarangeng sulit dibantah sebagai
politikus muda, tapi terdiaspora dari bilik-bilik faksi dalam partai.
Faksi selalu mengalami
dinamika, tapi faksi di dalam partai adalah the way of party's life karena partai adalah organ kekuasaan.
Namun faksionalisasi di tubuh Partai Demokrat menjadi demikian dipertontonkan
di depan publik dan mulai menggelinding menjadi bola pijar yang liar sejak
faksionalisasi masih mengembrio sebagai clique faction pada kontestasi
internal dalam Kongres Partai Demokrat 2010. Dalam hal ini, ada tiga bentuk
faksionalisasi di dalam partai (Belloni & Beller, 1978), yaitu clique faction, personal atau client-group faction, dan institutionalized atau organized faction.
Clique
faction adalah faksi yang tidak terkonsolidasi, sehingga
sifatnya cenderung parsial dan temporal. Sementara personal faction adalah faksi yang terkonsolidasi dengan adanya
tokoh sentral di dalamnya sehingga berdurasi lama sampai terjadi kompromi
antarpemimpin faksi. Sedangkan institutionalized
faction adalah faksi di dalam partai politik yang sudah terlembagakan,
sehingga eksistensi faksi berlaku dan diatur secara yuridis di dalam internal
partai. Partai-partai di Indonesia, termasuk Partai Demokrat, tidak mempunyai
tradisi pelembagaan faksi sejak pemilu untuk pertama kali diselenggarakan
pada 1955. Hasilnya, faksi dilihat sebagai sebuah patologi sekalipun
kehadirannya adalah sebuah keniscayaan politik di dalam partai sebagai
lembaga kekuasaan.
Kini faksionalisasi yang
ada di dalam Partai Demokrat cenderung bersifat client-group, karena kekuasaan faksi yang ada disebabkan oleh
terkonsolidasinya faksi dengan adanya orang yang mempunyai modalitas patron.
Salah satu modalitas penting bagi seseorang untuk menjadi patron di dalam
Partai Demokrat adalah jabatan eksekutif tertinggi di dalam partai. Tak perlu
menunggu tua untuk menjadi patron dalam faksi dengan memegang posisi ketua
umum partai. Artinya, modalitas struktural menjadi hal paling penting dan
determinan bagi siapa pun yang ingin mengendalikan faksi partai beserta massa
elite yang ada di dalamnya. Oligarki sultanistik, yang disebut Jeffrey
Winters (2011) untuk menjelaskan Indonesia era Orde Baru, kini tersebar ke
dalam kelembagaan partai yang ada. Sedangkan para oligark terdiaspora di
dalamnya yang tersekat-sekat dalam bilik-bilik faksi. Hasilnya adalah, partai
politik menjadi institusionalisasi kepentingan para oligark yang sudah tak
lagi mengenal oposisi biner tua-muda selama ini. Dengan demikian, Partai
Demokrat adalah partai yang bernasib baik dengan dua kali memenangi pemilu,
tapi bersumbu pendek.
Terkait dengan hal ini,
terdapat tiga bentuk dinamika faksi di dalam partai politik (Francois Boucek,
2009). Pertama, dinamika faksi kooperatif, di mana blok politik yang ada di
dalam partai pada akhirnya bernegosiasi untuk sebuah kepentingan organisasi partai.
Kedua, dinamika faksi kompetitif, yakni faksi yang ada terkonsolidasi dengan
baik, sehingga menciptakan kompetisi dengan substansi kompetisi pada pengaruh
kebijakan dan jabatan publik. Sedangkan dinamika faksi yang ketiga adalah
dinamika degeneratif, yakni sebuah dinamika yang saling menghancurkan dan
berbenturan, karena konsolidasi kelompok yang retak menstimulasi bertumbuknya
kepentingan-kepentingan individu elite yang memerintah di tiap faksi,
sekaligus elite berkuasa di bawahnya. Di dalam dinamika degeneratif inilah
saat ini Partai Demokrat berada.
Untuk menjernihkan hal
ini, kini di dalam Demokrat terdapat dua bilik faksi: bilik struktural, yang
mengendalikan day-to-day politics
partai, serta bilik kultural, yang memegang mandat publik sebagai sumber
legitimasi politik paling kuat di lingkup internal sekaligus eksternal
partai. Lebih jelasnya, bilik politik struktural yang ada dalam posisi ketua
umum berlaku eksekutif sehingga mempunyai otoritas dalam proses rekrutmen
politik plus keputusan-keputusan organisasional partai. Adapun bilik politik
kultural berfungsi sebagai legislatif yang berkedudukan determinan dalam
keputusan-keputusan strategis partai. Dalam beberapa kasus, ketua umum hanya
menjadi manajer organisasi. Namun, pada saat yang sama, ketua dewan
berpotensi dikebiri melalui keputusan-keputusan organisasional yang jika
dihimpun adalah sebuah penciptaan kekuatan politik baru di dalam partai.
Sibernetika politik pun
tak bisa terhindarkan dari kondisi kepartaian yang demikian degeneratif. Sibernetika
yang bermakna otomatisasi perilaku politisi dan elite partai untuk
mempertahankan kepentingannya menjadi demikian terekspresi di dalam
ruang-ruang publik (baca: media). Sibernetika politik akibat dinamika faksi
degeneratif di tubuh Partai Demokrat ditunjukkan dengan semakin terbukanya
ekspresi politikus partai untuk setia menghamba pada patron di dalam faksi,
sementara partai adalah institusi yang paling bermanfaat sebagai legitimasi
formal dalam prosedur demokrasi.
Berduyun-duyun masuknya orang-orang lintas
elemen dari militer hingga aktivis ke Partai Demokrat hanya berurusan dengan
power and resource sharing, minus ideological sharing. Muara sengkarut faksi
Demokrat adalah massive distrust.
Partai politik yang digadang sebagai pilar demokrasi kita saat ini menjadi
mandul, dan akhirnya kita mafhum bahwa publik merasa punya legitimasi untuk
menuntut negara secara langsung di jalan dan di gedung-gedung lembaga negara
lantaran partai terlalu sibuk dengan dirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar