Perilaku Nakal
Oknum Hakim
Tb Ronny Rachman Nitibaskara ; Kriminolog;
Ketua Pusat Kajian Ketahanan Nasional Pascasarjana UI dan Rektor Universitas
Budi Luhur
|
KOMPAS,
04 Desember 2012
Pemberitaan tentang kasus oknum Hakim Agung
AY yang melakukan pemalsuan putusan peninjauan kembali terpidana mati bandar
narkoba Hanky Gunawan menambah panjang stigma negatif masyarakat terhadap
dunia peradilan di Tanah Air.
Setelah sebelumnya khalayak dikejutkan oleh
tertangkapnya seorang oknum hakim PW yang sedang berpesta narkoba, oknum
hakim KM dan HK karena menerima suap, serta ditangkapnya oknum hakim DJ yang
terbukti menjadi makelar perkara korupsi, lembaga yudikatif, khususnya
kehakiman, mendapatkan tamparan keras dari anggotanya sendiri.
Tidaklah mengherankan melihat beberapa
fenomena yang melibatkan beberapa oknum hakim di atas. Sebab, profesi hakim
merupakan suatu jabatan yang paling leluasa dalam menggunakan hukum
dibandingkan dengan penegak hukum lain, sejatinya kewenangan yang dimiliki
seorang hakim merupakan suatu tanggung jawab mahaberat. Ia merupakan benteng
terakhir yang diberi amanah oleh undang-undang untuk memberikan keputusan
yang mengikat dan berkekuatan hukum tetap terhadap suatu perkara.
Setiap jabatan dengan kewenangan dan
kekuasaan luas, sebagaimana halnya hakim, memiliki potensi untuk
disalahgunakan (abuse of power). Perilaku menyimpang ini pada taraf tertentu
akan berubah menjadi suatu tindak kejahatan dengan daya rusak teramat hebat.
Hal ini karena efek perbuatan ini selain merugikan pihak yang dizalimi dalam
suatu perkara juga akan merusak tatanan hukum. Akibat paling ringan dari
penyalahgunaan kekuasaan ini, kalaupun tidak merusak sistem hukum secara
keseluruhan, akan mengacaukan penegakan hukum. Penyalahgunaan hukum tersebut
semakin menjadi sempurna dengan pengetahuan hukum dan kekuasaan yang
dimilikinya untuk merekayasa hal di atas.
Hakim dan Keputusan Hukum
Dalam menerapkan hukum, hakim memiliki
kekuasaan bebas dan mandiri serta independen dari campur tangan pihak mana
pun. Kondisi ini diperlukan supaya ia dapat memberikan putusan hukum yang
adil. Namun akan menimbulkan multitafsir tatkala ”kebebasan” tersebut juga
dianggap oknum sebagai keleluasaan untuk melakukan perbuatan menguntungkan
diri sendiri dengan memanfaatkan hukum sebagai alatnya. Perilaku ini akan
menjelma menjadi kejahatan sempurna karena sengaja dibungkus dengan hukum
yang berlaku sehingga seolah-olah merupakan bagian dari penegakan hukum atau
kebijakan resmi.
Berlindung pada asas kebebasan di atas,
ditambah asas ius curia novit
(hakim dianggap tahu hukumnya), godaan melakukan penyimpangan dalam profesi
mulia ini demikian besar. Seakan di tangan hakimlah semua persoalan dapat
diputarbalikkan. Hitam menjadi putih, yang salah menjadi benar, dan
sebaliknya. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, pihak yang beperkara akan
turut ”terpancing” untuk memanfaatkan diskresi tersebut. Sebab, sebagaimana
diketahui bersama, kewenangan diskresi yang paling besar dalam suatu perkara
berada di tangan hakim.
Kewenangan diskresi di atas (discretional power) sengaja diberikan
undang- undang kepada penegak hukum untuk mempermudah mereka menegakkan hukum
dengan menggunakan hukum itu sendiri sesuai dengan keadaan yang berlaku dan
cita-cita yang dituju. Namun, ketika hukum bersinggungan dengan berbagai
kepentingan, akan terjadi pergulatan antara menegakkan hukum dan menggunakan
hukum. Dalam penegakan hukum terdapat kehendak agar hukum tegak sehingga
nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum yang bersangkutan
dapat diwujudkan.
Sementara itu, dalam menggunakan hukum, belum tentu ada
upaya serius untuk meraih cita-cita yang terkandung dalam aturan hukum karena
sebagian dari hukum itu digunakan untuk membenarkan tindakan yang dilakukan (to use the law to legitimate their actions).
Perilaku ”menggunakan hukum” di atas marak dilakukan oknum hakim yang
menyalahgunakan kewenangan diskresinya untuk kepentingan pribadi.
Seorang hakim yang ”amanah” tentu akan
mudah menjauhkan dirinya dari hal-hal tidak patut di atas demi menghasilkan
keputusan yang jernih dan adil. Namun, oknum hakim yang tidak memahami
beratnya tanggung jawab profesi mulia ini akan memanfaatkan peluang tidak
terpuji tersebut. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan dalam kasus yang
ditanganinya sangat jauh dari rasa keadilan karena telah terdapat kepentingan
pribadi atau intervensi dari luar. Segala kemampuan dan pengetahuannya di
bidang hukum akan diarahkan untuk memenuhi tujuan pribadi.
Sebagaimana
ungkapan nemo iudex idoneus in propria
causa, tiada seorang pun dapat menjadi hakim yang baik di dalam
kepentingannya sendiri (Sadipun, 1998).
Setiap tindakan hakim dalam memutus suatu
perkara merupakan tafsir hakim atas hukum. Keputusan yang berdasarkan
keadilan dan hati nurani sangat ditentukan oleh keterampilan, pengetahuan,
integritas, moral, dan keyakinan hakim. Namun, salah satu faktor paling
dominan dan menentukan dalam memberikan keputusan hukum berkekuatan tetap
yang memenuhi rasa keadilan adalah diri pribadi hakim yang bersangkutan. Oleh
karena itu, kaidah-kaidah hukum dipandang sebagai suatu generalisasi dari
perilaku para hakim (Huijbers, di dalam Panggabean: 2008). Maka, budaya hukum
hakim sangat dipengaruhi kualitas perorangan dari hakim, antara lain
intelektualitas, pengalaman, dan juga latar belakang kehidupan yang
bersangkutan. Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa
perilaku para hakim sangat menentukan putusannya.
Maka, sangatlah ganjil apabila mengharapkan
keputusan hakim yang adil dalam kasus berkaitan dengan narkoba, tetapi hakim
yang mengadili adalah pengguna narkoba. Ataupun kasus korupsi sedangkan hakim
yang memutuskan perkaranya oknum yang kerap terlibat suap.
Hakim dan Komisi Yudisial
Dalam beberapa peristiwa terlibatnya oknum
hakim dengan penyalahgunaan narkoba, suap, makelar perkara korupsi, memeras
terdakwa, hingga selingkuh, masih terdapat suatu oase bagi masyarakat untuk
berlindung dari perilaku oknum di atas, yaitu Komisi Yudisial (KY). Komisi
ini dibentuk untuk mengawasi perilaku hakim, memeriksa hingga menjatuhkan
sanksi terhadap mereka yang melakukan perilaku menyimpang, kejahatan dan
pelanggaran kode etik.
Dengan keterbatasan kewenangannya, banyak
masyarakat merasa bahwa KY kurang optimal dalam memberi efek jera pada oknum
hakim yang melakukan tindakan tidak terpuji. Pandangan tersebut tidaklah adil
bila dilimpahkan kepada KY semata. Sebab, secara garis besar, peraturan
perundang-undangan tentang KY hanya menyebutkan bahwa KY cuma memiliki
wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung (MA) kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan MA;
serta menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim.
Dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, KY mempunyai tugas:
melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim; menerima laporan
dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim; melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan
dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim. Kemudian, mengambil langkah hukum dan/atau langkah
lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang
merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Secara singkat, KY hanya
punya kewenangan sebatas pemeriksaan.
Kode etik dan pedoman dalam Keputusan
Bersama Ketua MA dan Ketua KY sebenarnya sudah cukup berisi aturan main untuk
mengantisipasi oknum hakim yang nakal. Dalam salah satu bagiannya
dikemukakan, ”hakim tidak boleh
berkomunikasi dengan pihak yang beperkara di luar persidangan, kecuali
dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kelancaran persidangan
yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang beperkara, tidak
melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidakberpihakan.” Pada bagian
lainnya juga dinyatakan, ”hakim harus
menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat,
penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh hakim yang
bersangkutan.” Apabila kedua rambu diwujudkan dalam praktik sehari-hari,
tentu akan mempersempit niat salah satu pihak memanfaatkan diskresi yang
dimiliki hakim.
Semua sanksi dari yang paling ringan hingga
yang terberat bagi oknum hakim yang melanggar kode etik ataupun melakukan
kejahatan di atas harus diusulkan terlebih dahulu oleh KY ke MA untuk
ditindaklanjuti sesuai mekanisme berlaku. Pemberian efek jera terhadap oknum
hakim nakal bukanlah berada di tangan KY, melainkan di tangan instansi yang
berwenang dan pihak yang berwajib.
Meski demikian, dalam penegakan secara
internal, KY cukup memberi angin segar bagi dunia peradilan di Tanah Air.
Banyak pengaduan masyarakat yang direspons positif dan tidak sedikit oknum
hakim yang akhirnya ditangkap dan diadili untuk mempertanggungjawabkan
perilaku tidak patutnya tersebut.
Menindaklanjuti kasus oknum hakim AY,
sebagaimana dilansir Kompas (28/11/2012), rapat pleno KY memutuskan
pemeriksaan akan dilakukan oleh KY. Bila AY terbukti melakukan pemalsuan
putusan, ketua KY mempersilakan polisi untuk langsung bergerak. Langkah ini
patut menerima acungan jempol. Penyimpangan perilaku oknum hakim di dalam
institusi tempat pencari keadilan tertinggi tersebut cepat atau lambat
diharapkan akan makin berkurang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar