Jumat, 14 Desember 2012

Mengenang Deklarasi Djoeanda


Mengenang Deklarasi Djoeanda
Kasman Al Mandiry ;  Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan
Kemaritiman Nasional, Jakarta 
REPUBLIKA, 13 Desember 2012


“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau sebagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia."

Demikian isi Deklarasi Djoeanda, deklarasi yang mungkin masih asing di telinga kita. Deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. 
Deklarasi Djoeanda diumumkan oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dibacakan oleh Perdana Menteri Ir R Djoeanda Kartawidjaja dalam sidang Dewan Menteri pada 13 Desember 1957. Peristiwa inilah yang pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai Hari Nusantara melalui Keppres No 126 Tahun 2001 setelah diperingati dua tahun sebelumnya (1999)
pada masa Presiden Abdurrahman Wahid.

Deklarasi Djoeanda lahir atas pandangan kritis Ir Djoeanda yang melihat wilayah NKRI saat itu masih mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda, yaitu Teritoriale Zeeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), tidak menguntungkan secara geo politik, geoekonomi, dan keamanan nasional. Dalam peraturan zaman Hindia Belanda itu, pulau-pulau di wilayah nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh tiga mil dari garis pantai. Karena itu, kapal asing bisa dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. 

Dalam konteks ini, Ir Djoeanda memilih prinsip-prinsip negara kepulauan sehingga lautlaut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara kepulauan dari dunia internasional tidaklah mudah, selain karena mendapat tantangan dari negara kontinental, seperti Amerika Serikat dan Australia, konsepsi negara ke pulauan saat itu merupakan wacana baru yang digulirkan dalam perhelatan internasional. Deklarasi Djoeanda baru dapat diterima dunia internasional 25 tahun pascadeklarasi diumumkan, yakni melalui Konvensi Hukum Laut PBB ke3 tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982)  yang ditandatangani oleh 117 negara peserta, termasuk Indonesia, di Montego Bay, Jamaica, pada 10 Desember 1982. 

Tiga tahun kemudian, deklarasi tersebut dipertegas kembali oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan meratifikasi UNCLOS 1982 dengan UU Nomor 17 Tahun 1985. Prinsip negara kepulauan diakomodasi dalam Bab IV Pasal 46 (a)
UNCLOS 1982 di mana negara kepulauan (archipelagic states) didefinisikan sebagai "a state constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands". Hal ini berarti wilayah laut Indonesia tidak hanya meliputi tiga mil dari garis pantai, melainkan mencakup seluruh wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. 

Dengan demikian, sejak saat itu, luas wilayah Indonesia pun bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 kilometer persegi menjadi 5.193.250 kilometer per segi, dengan pengecualian Irian Jaya yang waktu itu belum diakui secara internasional sebagai wilayah Indonesia.

Sejarah di atas menunjukkan betapa Deklarasi Djoeanda telah memberikan kontribusi yang tak ternilai harganya dalam memperjuangkan kesatuan, per satuan, pertahanan, dan kedaulatan RI. Dengan demikian, wajar jika kemu dian peristiwa tersebut diperingati sebagai salah satu hari nasional meskipun ironis karena dibutuhkan waktu 44 ta hun pascadeklarasi tersebut bagi bangsa ini untuk menegaskan betapa pentingnya peristiwa bersejarah itu. Selain menghasilkan rezim-rezim hukum laut yang baru, seperti asas negara kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan penambangan di Dasar Laut Internasional, UNCLOS juga memuat pengembangan hukum laut yang sudah ada.

Pembangunan Kelautan

Semangat membangun kelautan pacsaUNCLOS nyaris tidak terdengar sama sekali hingga masa Orde Baru berakhir. Dalam fase itu, kelautan benar-benar diposisikan sebagai sektor pinggiran. Barulah pada masa Reformasi, semangat membangun kelautan mulai digelorakan, di antaranya, melalui Deklarasi Bunaken yang dicanangkan oleh Presiden BJ Habibie 26 September 1998 dan Gerakan Pembangunan (Gerbang)  Mina Bahari pada 11 Oktober 2003 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri di Teluk Tomini, Gorontalo.

Pada masa ini, cara pandang pemerintah terhadap sektor kelautan dalam konteks pembangunan nasional mulai berubah. Beberapa kegiatan internasional pun telah digelar untuk menunjukkan semangat membangun kelautan nasional dan sebagai promosi pada dunia akan potensi kekayaan laut Indonesia. Namun, benarkah pembangunan kelautan saat ini mengalami kemajuan ataukah semua masih sebatas retorika? Yang jelas, sampai saat ini, UU Kelautan masih tersendat di DPR setelah digulirkan sejak hampir delapan tahun silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar