Mengenang
Deklarasi Djoeanda
Kasman Al Mandiry ; Direktur
Pusat Kajian dan Pengembangan
Kemaritiman Nasional, Jakarta
|
REPUBLIKA,
13 Desember 2012
“Bahwa
segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau
atau sebagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia,
dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada
wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan
bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak
Negara Republik Indonesia."
Demikian isi Deklarasi Djoeanda,
deklarasi yang mungkin masih asing di telinga kita. Deklarasi ini menyatakan
kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah laut sekitar, di antara, dan di
dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Deklarasi Djoeanda diumumkan oleh
Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dibacakan oleh Perdana Menteri Ir R
Djoeanda Kartawidjaja dalam sidang Dewan Menteri pada 13 Desember 1957. Peristiwa
inilah yang pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai
Hari Nusantara melalui Keppres No 126 Tahun 2001 setelah diperingati dua
tahun sebelumnya (1999)
pada masa Presiden Abdurrahman Wahid.
Deklarasi Djoeanda lahir atas pandangan
kritis Ir Djoeanda yang melihat wilayah NKRI saat itu masih mengacu pada
Ordonansi Hindia Belanda, yaitu Teritoriale
Zeeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), tidak
menguntungkan secara geo politik, geoekonomi, dan keamanan nasional. Dalam
peraturan zaman Hindia Belanda itu, pulau-pulau di wilayah nusantara dipisahkan
oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di
sekeliling sejauh tiga mil dari garis pantai. Karena itu, kapal asing bisa
dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Dalam konteks ini, Ir Djoeanda
memilih prinsip-prinsip negara kepulauan sehingga lautlaut antarpulau pun merupakan
wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Perjuangan bangsa
Indonesia untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara kepulauan dari dunia
internasional tidaklah mudah, selain karena mendapat tantangan dari negara
kontinental, seperti Amerika Serikat dan Australia, konsepsi negara ke pulauan
saat itu merupakan wacana baru yang digulirkan dalam perhelatan
internasional. Deklarasi Djoeanda baru dapat diterima dunia internasional 25
tahun pascadeklarasi diumumkan, yakni melalui Konvensi Hukum Laut PBB ke3
tahun 1982 (United Nations Convention
On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982) yang ditandatangani oleh 117
negara peserta, termasuk Indonesia, di Montego Bay, Jamaica, pada 10 Desember
1982.
Tiga tahun kemudian, deklarasi
tersebut dipertegas kembali oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan
meratifikasi UNCLOS 1982 dengan UU Nomor 17 Tahun 1985. Prinsip negara
kepulauan diakomodasi dalam Bab IV Pasal 46 (a)
UNCLOS 1982 di mana negara kepulauan (archipelagic states) didefinisikan sebagai "a state constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands". Hal ini berarti wilayah laut Indonesia tidak hanya meliputi tiga mil dari garis pantai, melainkan mencakup seluruh wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, sejak saat itu,
luas wilayah Indonesia pun bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 kilometer
persegi menjadi 5.193.250 kilometer per segi, dengan pengecualian Irian Jaya
yang waktu itu belum diakui secara internasional sebagai wilayah Indonesia.
Sejarah di atas menunjukkan betapa Deklarasi Djoeanda telah memberikan
kontribusi yang tak ternilai harganya dalam memperjuangkan kesatuan, per
satuan, pertahanan, dan kedaulatan RI. Dengan demikian, wajar jika kemu dian
peristiwa tersebut diperingati sebagai salah satu hari nasional meskipun
ironis karena dibutuhkan waktu 44 ta hun pascadeklarasi tersebut bagi bangsa
ini untuk menegaskan betapa pentingnya peristiwa bersejarah itu. Selain
menghasilkan rezim-rezim hukum laut yang baru, seperti asas negara kepulauan,
Zona Ekonomi Eksklusif, dan penambangan di Dasar Laut Internasional, UNCLOS
juga memuat pengembangan hukum laut yang sudah ada.
Pembangunan
Kelautan
Semangat membangun kelautan
pacsaUNCLOS nyaris tidak terdengar sama sekali hingga masa Orde Baru berakhir.
Dalam fase itu, kelautan benar-benar diposisikan sebagai sektor pinggiran.
Barulah pada masa Reformasi, semangat membangun kelautan mulai digelorakan,
di antaranya, melalui Deklarasi Bunaken yang dicanangkan oleh Presiden BJ
Habibie 26 September 1998 dan Gerakan Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari
pada 11 Oktober 2003 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri di Teluk Tomini,
Gorontalo.
Pada masa ini, cara pandang
pemerintah terhadap sektor kelautan dalam konteks pembangunan nasional mulai
berubah. Beberapa kegiatan internasional pun telah digelar untuk
menunjukkan semangat membangun kelautan nasional dan sebagai promosi pada
dunia akan potensi kekayaan laut Indonesia. Namun, benarkah pembangunan
kelautan saat ini mengalami kemajuan ataukah semua masih sebatas retorika?
Yang jelas, sampai saat ini, UU Kelautan masih tersendat di DPR setelah
digulirkan sejak hampir delapan tahun silam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar