Jumat, 14 Desember 2012

Kuota BBM Jilid Tiga


Kuota BBM Jilid Tiga
Ibrahim Hasyim ;  Alumnus Doktor ITS
MEDIA INDONESIA, 13 Desember 2012


KUOTA BBM nasional jilid tiga sudah disetujui Komisi VII DPR RI. Tambahan sebesar 1,23 juta kiloliter diikuti beberapa catatan penting tentang perlunya perbaikan pada operasionalisasi distribusi dan pengawasannya. Sebuah catatan normatif seperti tahun-tahun yang lalu.

Kenapa kuota BBM selalu kurang? Itu pertanyaan yang sering ditanyakan banyak orang. Kalau tahun-tahun yang lalu kuota BBM diubah cukup sekali, tahun ini sampai tiga kali, dari 37,5 juta kiloliter, 40 juta kiloliter, 44,04 juta kiloliter, dan terakhir menjadi 45,27 juta kiloliter. Kenapa seperti itu? Tentu ada yang salah dan perlu diperbaiki ke depan. Jangan kejadian seperti itu berulang lagi tahun depan, jadinya seperti penyakit tahunan.

Soal Kuota

Hingga 2007, masalah kuota BBM itu belum mengemuka. Dalam pengaturan distribusi BBM subsidi, kuota BBM bersubsidi itu ada dua macam, yaitu kuota BBM nasional dan kuota BBM per kabupaten/kota.

Kuota BBM nasional selalu menjadi asumsi makro pada pembahasan dan penetapan APBN. Semula, sebelum harga minyak dunia berfluktuasi cepat, naik-turun, dalam pembiayaan distribusi BBM subsidi, yang diikat dan dijaga hanya anggaran biaya yang tidak boleh dilewati. Selama nilai rupiah di APBN masih belum terlampaui, pengaturan penyaluran BBM dapat terus dilakukan. Jadi ada sedikit fleksibilitas pada besaran volume BBM nasional.

Volume BBM belum digembok. Akan tetapi, dalam perjalanan tahun-tahun berikutnya, lingkungan strategis berubah. Harga minyak dunia kemudian berfluktuasi, naikturunnya sangat cepat. Namun, volume BBM impor pun semakin membesar sehingga sensitivitas terhadap APBN ikut membesar. Perubahan pada harga BBM telah membuat asumsi makro APBN pun porak-poranda oleh fluktuasi harga minyak.

Dalam pada itu, disparitas harga BBM dalam negeri antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi juga semakin membesar terutama pascapenurunan kembali harga BBM dari semula Rp6.000 per liter menjadi Rp4.500 per liter menjelang pemilu yang lalu. Padahal setelah itu harga minyak dunia kembali merangkak naik.

Penyelewengan distribusi pun marak terjadi, mengalir ke industri, pertambangan, dan perkebunan di dalam negeri bahkan sampai-sampai ikut diseludupkan ke luar negeri. Akhirnya, volume atau kuota BBM nasional pun digembok.
Setiap ada kekurangan, tambahan volumenya pasti harus disetujui dulu oleh Komisi VII DPR RI, baru bisa disalurkan.

Adapun kuota BBM per ka bupaten/kota ditetapkan BPH Migas. Kuota tersebut lahir d dari pemikiran bahwa arah a aliran BBM bersubsidi di Nusantara harus diketahui. Itu harus terdistribusi merata sesuai dengan kebutuhan, tidak boleh menumpuk di wilayah tertentu. Kuota BBM per kabupaten/kota itu dijadikan alat kendali pengawasan. Kalau ada kekurangan di satu daerah, itu bisa digeser dari lain daerah yang berlebih melalui koordinasi BPH Migas dengan badan usaha.

Penetapan besaran kuota tiap kabupaten/kota dikaitkan dengan besaran kuota nasional dan realisasi penyaluran BBM lewat penyalur di wilayah tersebut, yaitu melalui SPBU, SPB nelayan, terminal BBM, dan lainnya. Tingkat presisi angka kebutuhan tiap kabupaten/kota tersebut secara bertahap diperbaiki dengan mengaitkannya ke produk regional domestik bruto wilayah tersebut yang bisa berlainan di antara ratusan kabupaten/ kota yang ada.

Penetapan kuota BBM kabupaten/kota yang semula jadi alat pengendali kemudian menjadi gembok bagi badan usaha pendistribusi untuk menyalurkan BBM di wilayah tersebut dengan tidak boleh melebihi kuota. Malapetaka terjadi mana kala suatu wilayah mengalami kekurangan dan tidak bisa digeser lagi dari wilayah lain yang berlebih karena semua wilayah pun kekurangan. Artinya, secara nasional, kuota itu sudah mentok, tidak bisa ditambah lagi. Terjadilah kelangkaan di sana karena ada pembatasan. Padahal, stok BBM bersubsidi secara fisik sesungguhnya masih ada dalam tangki tangki timbun di terminal BBM di wilayah itu Kelangkaan di sana bukan disebabkan ketiadaan BBM, melainkan digembok batasan kuota.

Ironis memang, ketika dalam tangki penyimpanan masih tersedia BBM, di luar terjadi antrean, keributan, dan protes--pemerintah daerah yang minta tambahan kuota. Kalau kekurangan itu sudah terjadi secara nasional, tiada jalan nasional, tiada jalan lain bagi pemerin tah kecuali me minta tambahan ke Komisi VII DPR, se perti yang dilakukan selama ini menjelang akhir tahun. Inisiatif pemerintah tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya dampak buruk terhadap kehidupan ekonomi dan sosial.

Cadangan BBM Nasional

Untuk menghindari terjadinya lagi kelangkaan BBM di setiap tahun yang diakibatkan keterbatasan kuota, diperlukan beberapa upaya untuk menghindari `penyakit akhir tahun' dalam distri busi BBM sub sidi nasional. Menurut penulis, ada beberapa cara sebagai berikut.

Pertama, lakukan penghitungan kebutuhan BBM bersubsidi dengan angka apa adanya. Angka itu merupakan angka `base case' dan tidak diintervensi dulu oleh kebijakan. Kalau sekiranya ada pembatasan, misalnya, persiapan implementasi kebijakan tersebut sudah siap dulu, bukan baru pada tataran wacana, uji coba, apalagi belum tersosialisasi ke masyarakat. Dengan berkaca pada kebutuhan BBM subsidi 2012, hitungan base case-nya memang 46 juta kiloliter, mendekati angka final kuota BBM setelah DPR menyetujui tambahan 1,2 juta kiloliter minggu yang lalu. Jadi, kelangkaan BBM yang terjadi akhir 2012 ini bukan disebabkan salah hitung, melainkan lebih kepada sejumlah penaikan yang tidak bisa jalan seperti rencana penaikan harga dan pengendalian volume.

Kedua, disparitas harga antara BBM sub sidi dan nonsubsidi perlu diperkecil secara bertahap untuk memperkecil penyelewengan. Di pasar gelap telah terbentuk harga lain dengan besaran harga di antara keduanya. Penerapan sanksi kepada mafia penyelewengan lebih mudah. Namun, bayangkan apa yang harus dilakukan kepada para pengecer yang sudah menjamur. Pasar itu terbentuk lantaran ada kebutuhan di daerah terpencil yang jauh dari jaringan distribusi BBM badan usaha ataupun di wilayah padat karena sistem distribusi yang ada sudah tidak mampu lagi menjawab kebutuhan BBM motor yang tersebar dan tumbuh sangat pesat.

Ketiga, sistem kuota BBM bersubsidi dapat terus diterapkan, terutama di daerah, agar BBM bersubsidi dapat lebih merata dan terdistribusi kepada masyarakat pengguna yang berhak menurut aturan yang ada. Kalau terjadi kekurangan di beberapa daerah, itu dapat ditutupi dengan menggunakan cadangan BBM nasional. Karena itu, Indonesia perlu segera membentuk cadangan BBM nasional seperti yang sudah diamanatkan Undang-Undang Migas No 22 Tahun 2001.

Sebagian besar negara di dunia telah mempunyai cadangan BBM nasional. Tidak hanya negara-negara besar, Laos saja sudah mempunyai cadangan BBM nasional. Indonesia pun sudah harus mempunyai cadangan nasional. Urgensinya bukan lagi hanya untuk menghindari terganggunya kelancaran roda perekonomian, melainkan juga untuk menghindari kegaduhan sosial akibat kelangkaan BBM yang telah terjadi di Kalimantan Timur, baru-baru ini.

Saat ini Indonesia hanya mempunyai cadangan BBM operasional Pertamina sekitar 20 hari dan itu sangatlah rawan bagi negara sebesar Indonesia. Dengan kebutuhan 126 ribu kiloliter dan harga BBM impor rata-rata Rp9.000 per liter, nilai cadangan BBM sebesar Rp1 triliun per hari. Dana untuk itu seharusnya sudah bisa disediakan pemerintah. Atau, pemerintah bisa menggandeng swasta ketimbang menyediakan biaya subsidi yang jauh lebih besar dan hanya habis untuk dibakar. Cadangan BBM nasional akan menjadi jalan keluar untuk mengantisipasi kekurangan kuota BBM yang berjilid-jilid seperti yang kita alami selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar