Kuota BBM
Jilid Tiga
Ibrahim Hasyim ; Alumnus Doktor ITS
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Desember 2012
KUOTA BBM nasional jilid tiga sudah disetujui
Komisi VII DPR RI. Tambahan sebesar 1,23 juta kiloliter diikuti beberapa
catatan penting tentang perlunya perbaikan pada operasionalisasi distribusi
dan pengawasannya. Sebuah catatan normatif seperti tahun-tahun yang lalu.
Kenapa kuota BBM selalu kurang? Itu pertanyaan
yang sering ditanyakan banyak orang. Kalau tahun-tahun yang lalu kuota BBM
diubah cukup sekali, tahun ini sampai tiga kali, dari 37,5 juta kiloliter, 40
juta kiloliter, 44,04 juta kiloliter, dan terakhir menjadi 45,27 juta
kiloliter. Kenapa seperti itu? Tentu ada yang salah dan perlu diperbaiki ke
depan. Jangan kejadian seperti itu berulang lagi tahun depan, jadinya seperti
penyakit tahunan.
Soal Kuota
Hingga 2007, masalah kuota BBM itu belum
mengemuka. Dalam pengaturan distribusi BBM subsidi, kuota BBM bersubsidi itu
ada dua macam, yaitu kuota BBM nasional dan kuota BBM per kabupaten/kota.
Kuota BBM nasional selalu menjadi asumsi makro
pada pembahasan dan penetapan APBN. Semula, sebelum harga minyak dunia
berfluktuasi cepat, naik-turun, dalam pembiayaan distribusi BBM subsidi, yang
diikat dan dijaga hanya anggaran biaya yang tidak boleh dilewati. Selama
nilai rupiah di APBN masih belum terlampaui, pengaturan penyaluran BBM dapat
terus dilakukan. Jadi ada sedikit fleksibilitas pada besaran volume BBM
nasional.
Volume BBM belum digembok. Akan tetapi, dalam
perjalanan tahun-tahun berikutnya, lingkungan strategis berubah. Harga minyak
dunia kemudian berfluktuasi, naikturunnya sangat cepat. Namun, volume BBM
impor pun semakin membesar sehingga sensitivitas terhadap APBN ikut membesar.
Perubahan pada harga BBM telah membuat asumsi makro APBN pun porak-poranda
oleh fluktuasi harga minyak.
Dalam pada itu, disparitas harga BBM dalam
negeri antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi juga semakin membesar terutama
pascapenurunan kembali harga BBM dari semula Rp6.000 per liter menjadi
Rp4.500 per liter menjelang pemilu yang lalu. Padahal setelah itu harga
minyak dunia kembali merangkak naik.
Penyelewengan distribusi pun marak terjadi, mengalir ke industri,
pertambangan, dan perkebunan di dalam negeri bahkan sampai-sampai ikut
diseludupkan ke luar negeri. Akhirnya, volume atau kuota BBM nasional pun
digembok.
Setiap ada kekurangan, tambahan volumenya pasti harus disetujui dulu oleh Komisi VII DPR RI, baru bisa disalurkan.
Adapun kuota BBM per ka bupaten/kota
ditetapkan BPH Migas. Kuota tersebut lahir d dari pemikiran bahwa arah a
aliran BBM bersubsidi di Nusantara harus diketahui. Itu harus terdistribusi
merata sesuai dengan kebutuhan, tidak boleh menumpuk di wilayah tertentu.
Kuota BBM per kabupaten/kota itu dijadikan alat kendali pengawasan. Kalau ada
kekurangan di satu daerah, itu bisa digeser dari lain daerah yang berlebih
melalui koordinasi BPH Migas dengan badan usaha.
Penetapan besaran kuota tiap kabupaten/kota
dikaitkan dengan besaran kuota nasional dan realisasi penyaluran BBM lewat
penyalur di wilayah tersebut, yaitu melalui SPBU, SPB nelayan, terminal BBM,
dan lainnya. Tingkat presisi angka kebutuhan tiap kabupaten/kota tersebut
secara bertahap diperbaiki dengan mengaitkannya ke produk regional domestik
bruto wilayah tersebut yang bisa berlainan di antara ratusan kabupaten/ kota
yang ada.
Penetapan kuota BBM kabupaten/kota yang semula
jadi alat pengendali kemudian menjadi gembok bagi badan usaha pendistribusi
untuk menyalurkan BBM di wilayah tersebut dengan tidak boleh melebihi kuota.
Malapetaka terjadi mana kala suatu wilayah mengalami kekurangan dan tidak
bisa digeser lagi dari wilayah lain yang berlebih karena semua wilayah pun
kekurangan. Artinya, secara nasional, kuota itu sudah mentok, tidak bisa
ditambah lagi. Terjadilah kelangkaan di sana karena ada pembatasan. Padahal,
stok BBM bersubsidi secara fisik sesungguhnya masih ada dalam tangki tangki
timbun di terminal BBM di wilayah itu Kelangkaan di sana bukan disebabkan
ketiadaan BBM, melainkan digembok batasan kuota.
Ironis memang, ketika dalam tangki penyimpanan
masih tersedia BBM, di luar terjadi antrean, keributan, dan
protes--pemerintah daerah yang minta tambahan kuota. Kalau kekurangan itu
sudah terjadi secara nasional, tiada jalan nasional, tiada jalan lain bagi
pemerin tah kecuali me minta tambahan ke Komisi VII DPR, se perti yang
dilakukan selama ini menjelang akhir tahun. Inisiatif pemerintah tersebut
dilakukan untuk menghindari terjadinya dampak buruk terhadap kehidupan
ekonomi dan sosial.
Cadangan BBM Nasional
Untuk menghindari terjadinya lagi kelangkaan
BBM di setiap tahun yang diakibatkan keterbatasan kuota, diperlukan beberapa
upaya untuk menghindari `penyakit akhir
tahun' dalam distri busi BBM sub sidi nasional. Menurut penulis, ada
beberapa cara sebagai berikut.
Pertama, lakukan penghitungan kebutuhan BBM
bersubsidi dengan angka apa adanya. Angka itu merupakan angka `base case' dan tidak diintervensi
dulu oleh kebijakan. Kalau sekiranya ada pembatasan, misalnya, persiapan
implementasi kebijakan tersebut sudah siap dulu, bukan baru pada tataran
wacana, uji coba, apalagi belum tersosialisasi ke masyarakat. Dengan berkaca
pada kebutuhan BBM subsidi 2012, hitungan base case-nya memang 46 juta
kiloliter, mendekati angka final kuota BBM setelah DPR menyetujui tambahan
1,2 juta kiloliter minggu yang lalu. Jadi, kelangkaan BBM yang terjadi akhir
2012 ini bukan disebabkan salah hitung, melainkan lebih kepada sejumlah
penaikan yang tidak bisa jalan seperti rencana penaikan harga dan
pengendalian volume.
Kedua, disparitas harga antara BBM sub sidi
dan nonsubsidi perlu diperkecil secara bertahap untuk memperkecil penyelewengan.
Di pasar gelap telah terbentuk harga lain dengan besaran harga di antara
keduanya. Penerapan sanksi kepada mafia penyelewengan lebih mudah. Namun,
bayangkan apa yang harus dilakukan kepada para pengecer yang sudah menjamur.
Pasar itu terbentuk lantaran ada kebutuhan di daerah terpencil yang jauh dari
jaringan distribusi BBM badan usaha ataupun di wilayah padat karena sistem
distribusi yang ada sudah tidak mampu lagi menjawab kebutuhan BBM motor yang
tersebar dan tumbuh sangat pesat.
Ketiga, sistem kuota BBM bersubsidi dapat
terus diterapkan, terutama di daerah, agar BBM bersubsidi dapat lebih merata
dan terdistribusi kepada masyarakat pengguna yang berhak menurut aturan yang
ada. Kalau terjadi kekurangan di beberapa daerah, itu dapat ditutupi dengan
menggunakan cadangan BBM nasional. Karena itu, Indonesia perlu segera
membentuk cadangan BBM nasional seperti yang sudah diamanatkan Undang-Undang
Migas No 22 Tahun 2001.
Sebagian besar negara di dunia telah mempunyai
cadangan BBM nasional. Tidak hanya negara-negara besar, Laos saja sudah
mempunyai cadangan BBM nasional. Indonesia pun sudah harus mempunyai cadangan
nasional. Urgensinya bukan lagi hanya untuk menghindari terganggunya
kelancaran roda perekonomian, melainkan juga untuk menghindari kegaduhan
sosial akibat kelangkaan BBM yang telah terjadi di Kalimantan Timur,
baru-baru ini.
Saat ini Indonesia hanya
mempunyai cadangan BBM operasional Pertamina sekitar 20 hari dan itu
sangatlah rawan bagi negara sebesar Indonesia. Dengan kebutuhan 126 ribu
kiloliter dan harga BBM impor rata-rata Rp9.000 per liter, nilai cadangan BBM
sebesar Rp1 triliun per hari. Dana untuk itu seharusnya sudah bisa disediakan
pemerintah. Atau, pemerintah bisa menggandeng swasta ketimbang menyediakan
biaya subsidi yang jauh lebih besar dan hanya habis untuk dibakar. Cadangan
BBM nasional akan menjadi jalan keluar untuk mengantisipasi kekurangan kuota
BBM yang berjilid-jilid seperti yang kita alami selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar