Rabu, 05 Desember 2012

Menertawakan Pencapresan Rhoma


Menertawakan Pencapresan Rhoma
Husnun N Djuraid ;  Jurnalis Malang Post, Dosen Jurnalistik,
Penganjur Salat Duha, dan Alumnus Pascasarjana UMM
JAWA POS, 04 Desember 2012


DALAM sebuah acara dialog di TV, audiens sontak tertawa saat pembawa menyebut nama Rhoma Irama. Pembawa acara menyebut nama-nama tokoh yang sudah muncul sebagai calon presiden. Setelah menyebut nama para tokoh tersebut, pembawa acara menyebut nama Rhoma Irama. Dalam acara itu tampil dua tokoh yang berasal dari partai yang pemimpinnya sering disebut sebagai calon presiden (capres) dan seorang pengamat politik. 

Raja dangdut itu secara terang-terangan memang menyatakan siap mencalonkan diri menjadi presiden-berbeda dari calon lain yang sesungguhnya sangat ingin, tapi tidak berterus terang. Lontaran ini disambut PKB. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menyatakan akan mengusungnya menjadi calon presiden. 

Niat pencapresan Bang Haji itu mendapat reaksi dari masyarakat. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak, bahkan menertawakannya. Bang Haji ditertawakan bukan karena tengah bermain-main atau melucu dengan mencapreskan diri, tapi karena penolakan sebagian masyarakat. Reaksi ini tak lepas dari kiprah Bang Haji dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik. 

Pertama, sebagai penyanyi dangdut dia dianggap tidak layak menjadi presiden, seorang tokoh terhormat dan elite, sementara sebagian masyarakat menempatkan dangdut dan pemusiknya sebagai kelompok marginal. Kedua, sikapnya sangat keras, terutama yang terkait dengan ajaran Islam, sehingga banyak pihak mencelanya. Saat pilgub DKI lalu dia berceramah yang dianggap menolak salah satu calon karena alasan agama. Hujatan dan celaan tak membuat Bang Haji mengubah sikapnya. Dia tetap konsisten. Ketiga, kehidupan pribadi dan perkawinannya membuat banyak kaum perempuan tidak menyukainya. 

Para penolak serta orang yang menertawakan Bang Haji mendapat porsi pemberitaan yang besar dari media. Media mainstream menganggap hal itu sebagai realitas yang harus ditampilkan sebagai berita. Hal yang sama dilakukan media sosial yang relatif bebas nilai dan etika. Bukan sekadar menertawakan, tapi sudah sampai pada caci maki dan penghinaan.

Memang wajar ketika para tokoh parpol, pengamat politik, dan pebisnis survei menertawakan pernyataan Bang Haji. Selama ini media menempatkan Bang Haji sebagai orang yang tidak disukai melalui berita-berita negatif karena pernyataan dan perilakunya yang dianggap kontroversial. Media berperan aktif sebagai penyalur (diseminator) berbagai informasi kepada masyarakat dengan mata yang dingin dan telinga yang jernih.

Hanya, untuk menyampaikan informasi itu media tidak steril. Banyak faktor yang memengaruhinya. Di antaranya kekuatan politik penguasa, pemilik modal maupun kekuatan politik dan ekonomi yang lain. Seperti, kata Henry Subijakto dan Rachmah Ida, pada dasarnya media massa dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku. 

Mengaca pada kondisi tersebut, wajar kalau Bang Haji tidak mendapatkan porsi pemberitaan yang wajar dan memadai. Apalagi, dia baru muncul ketika beberapa nama lain sudah berpacu kencang. Berita yang muncul soal Bang Haji sebagian bernada negatif. Media sudah berhasil menggiring masyarakat -kecuali pendukung setia Bang Haji- untuk memberi cap tidak baik. Padahal, kalau kita telaah syair lagu maupun aktivitas dakwahnya penuh dengan ajaran kebaikan. Itulah risiko yang harus diterima ketika seseorang mengajak kebaikan dan mencegah kejelekan. Reaksi muncul dari mana-mana, termasuk dari media. Mengapa? Karena Bang Haji tidak memiliki media dan tidak bisa "membeli'' media.

Tengoklah para tokoh yang sering muncul sebagai capres melalui berbagai poling dan survei. Semuanya berkaitan dengan media. Ada yang pemilik media, ada yang membelanjakan banyak uang untuk kepentingan media. Membeli halaman koran dan prime time TV sudah menjadi hal wajar dalam komunikasi politik modern. Dalam Pilpres AS 2004, yang menampilkan pertarungan George Bush dengan John Kerry, anggaran iklan yang dikeluarkan dua kandidat ini mencapai USD 600 juta. Kendati kalah, Kerry ternyata mengeluarkan anggaran lebih besar dibanding Bush. 

Para pemilik media - yang sekaligus politisi- bisa dengan seenaknya menampilkan aktivitasnya di media yang dimiliki, tak peduli acara itu disukai pemirsa atau tidak. Yang tidak memiliki media harus mengeluarkan anggaran besar agar sering muncul di media, baik sebagai sumber berita maupun dalam iklan dan advertorial (advertisement editorial). 

Bila hendak menepiskan pihak-pihak yang menolaknya dan berniat maju dalam bursa capres mendatang, Bang Haji harus memperhatikan komunikasi. Mengandalkan ketenaran sebagai penyanyi dangdut -yang sebagian besar masyarakat kita tidak suka- tidak cukup memadai untuk mendongkrak popularitas. Seperti kata Lasswell, komunikasi adalah who, say what, in which channel, to whom, with what effect.

Kalau memang sungguh-sungguh mau mencalonkan diri, Bang Haji harus menggarap media agar mendongkrak popularitas politiknya. Dia sudah memiliki popularitas individu, tapi belum cukup untuk mendongkrak popularitas dan keterpilihan (elektabilitas). Popularitas politis ini tidak datang dengan sendirinya, tapi harus melalui rekayasa yang sistematis. Harus ada upaya serius dan sistematis agar media mau memberitakan secara proporsional. Tapi, semuanya tidak cuma-cuma, no free lunch.

Dalam berbagai kesempatan, Bang Haji sudah berkomunikasi dengan para kiai, yang menurut pengakuannya sudah merestui dan mendukungnya. Secara moral mungkin ini sangat penting karena terkait dengan sopan santun dan minta doa restu para pemimpin umat. Tapi, dari dukungan politik riil, sudah tidak bisa diharapkan lagi. Meskipun mengaku memiliki kultur nahdliyin yang sama, bukan berarti Bang Haji bebas dari resistensi. 

Selain itu, sikapnya yang konsisten memegang keyakinan agama bisa jadi bertabrakan dengan kepentingan kaum liberal dan pluralis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar