Rabu, 05 Desember 2012

Pembantu Presiden Sibuk Buat Gaduh


Pembantu Presiden Sibuk Buat Gaduh
Bambang Soesatyo ;  Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar  
SINDO, 04 Desember 2012


Di tengah gaduh politik yang nyaris tak berkesudahan, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi saat ini ibarat tamparan keras yang mempermalukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di mata rakyat. 

BBM bersubsidi kembali bermasalah karena kabinet tidak fokus mengelola kebutuhan rakyat. Para pembantu presiden sudah lama menerima informasi tentang terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan BBM bersubsidi.
Praktik pencurian BBM bersubsidi bukan cerita baru. Namun, ketika sebuah hasil kajian menyimpulkan bahwa volume pencurian BBM bersubsidi mencapai 30% dari total alokasi untuk setiap tahun anggaran, persoalannya mestinya menjadi sangat serius dan direspons dengan langkah-langkah yang luar biasa. 
Namun, para pembantu presiden tampak menyederhanakan persoalan ini, sehingga strategi memerangi pencurian BBM bersubsidi pun nyaris tanpa militansi.
Juga bukan cerita dan fakta baru bahwa BBM bersubsidi pun banyak dinikmati oleh elemen-elemen masyarakat yang sesungguhnya tidak berhak mendapatkan atau menikmati subsidi. Ketika mereka yang tidak berhak itu justru menyerap atau mengonsumsi BBM bersubsidi sampai 77% dari volume yang dialokasikan, itu menjadi bukti telah terjadinya kesalahan fatal pada sistem distribusi BBM bersubsidi. 

Namun, para pembantu presiden lagi-lagi tidak memaknai fakta ini sebagai persoalan yang sangat serius. Anehnya, para pembantu presiden sudah berulang kali menjadikan fakta pencurian dan kesalahan distribusi BBM bersubsidi ini sebagai argumentasi pembelaan diri. Logika persoalannya dibolakbalik karena para pembantu presiden tidak ingin disalahkan. 

Para pembantu presiden itu secara tidak langsung ingin mengatakan kepada masyarakat, bahwa kuota BBM bersubsidi cepat habis karena 30% dicuri dan 77% lainnya dikonsumsi oleh pemilik kendaraan roda empat pribadi. Salah siapa? Jelas bahwa dengan argumentasi seperti itu, para pembantu presiden ingin agar masyarakat menyalahkan pencuri dan individu-individu pemilik kendaraan roda empat yang ikut-ikutan mengonsumsi BBM bersubsidi. 

Begitulah perilaku menutupi ketidakmampuan dengan cara menyalahkan orang lain. Jelas bahwa dalam persoalan ini, pemerintah cq Pertamina berada di posisi “pemilik” dan pengelola BBM.
Kalau BBM bersubsidinya dicuri orang, pemerintah harus menyalahkan dirinya sendiri karena tidak becus mengelola dan menjaga komoditas BBM bersubsidi. Akibatnya, kelangkaan BBM bersubsidi kembali terjadi. 

Rakyat di seluruh pelosok negeri, selama hampir dua minggu terakhir ini, lagi-lagi terjebak dalam ketidaknyamanan karena pemerintah tidak becus mengelola kuota BBM bersubsidi. Siapa yang akan dikambinghitamkan oleh masyarakat dalam persoalan ini? Sudah pasti Presiden SBY, bukan para menteri atau Pertamina. Masyarakat mencatat bahwa di era pemerintahan SBY sudah beberapa kali terjadi kelangkaan BBM bersubsidi. 

Kelangkaan BBM bersubsidi yang terjadi sekarang ini benar-benar mempermalukan pemerintahan SBY, karena terjadi di sela-sela kegaduhan politik yang dipicu oleh para pembantu presiden sendiri. Mereka tidak sepenuhnya fokus dan berorientasi pada deskripsi fungsi, tugas, dan wewenang mereka sebagai pembantu presiden. Mereka malah bergenit-genit di panggung politik membangun citra, dan melakukan manuver politik yang sama sekali tidak relevan dengan tugas, fungsi, dan wewenang mereka. 

Karena sekretaris kabinet sibuk menghimpun data kongkalikong antara oknum kementerian dan oknum anggota DPR dalam penyusunan anggaran, dia tak punya waktu untuk menanyakan persoalan BBM bersubsidi kepada Pertamina dan menteri-menteri terkait. Lalu karena Menteri BUMN menghabiskan energinya dengan isu pemerasan BUMN oleh oknum anggota DPR, dia mungkin tak sempat berdiskusi dengan Pertamina tentang bagaimana mereduksi pencurian BBM bersubsidi dan memperbaiki sistem distribusinya. 

Makin Rapuh 

Disadari atau tidak, rangkaian
kegaduhan politik yang dipicu orang-orang dekat presiden membuat manajemen pemerintahan Presiden SBY semakin rapuh. Itu sebabnya masalah muncul silih berganti. Dari masalah kisruh KPK versus Polri, berlanjut ke kontroversi grasi untuk terpidana mati kasus narkoba Meirika Franola, dan kini muncul lagi masalah kelangkaan BBM bersubsidi. Jangan dilupakan bahwa konflik horizontal masih sering terjadi di sejumlah daerah. 

Rakyat memang merasakan negeri ini tiba-tiba menjadi begitu gaduh dan sarat masalah. Sudah berkembang asumsi bahwa kemampuan pemerintah pusat dan daerah
dalam mengendalikan segala sesuatunya terus melemah, sehingga sejumlah masalah tidak tuntas penyelesaiannya. Contoh kasusnya adalah kisruh KPK versus Polri, yang ternyata berlanjut dengan mundurnya sejumlah penyidik KPK dari unsur Polri.

Mengapa presiden tidak menggunakan wewenangnya untuk menghentikan upaya pelemahan KPK? Inilah pertanyaan yang mengemuka di ruang publik. Sementara itu, pihak berwenang di sejumlah daerah bahkan tak mampu mencegah konflik horizontal. Penegasan Presiden SBY bahwa ada jarak antara pemerintah pusat dan warga di wilayah konflik karena alasan otonomi daerah dirasakan janggal.

Penegasan itu bisa ditafsirkan sebagai niat pemerintah pusat mengurangi tanggung jawabnya terhadap upaya-upaya mewujudkan ketertiban umum di daerah. Oleh karena manajemen pemerintahan terus memburuk akhir-akhir ini, Presiden SBY perlu mengharmonisasi lagi anggota kabinetnya, dan juga mengonsolidasi pemerintahan daerah. Soliditas pemerintahan pusat dan daerah diperlukan untuk merespons sejumlah persoalan yang mengemuka saat ini. 

Manuver Sekretaris Kabinet Dipo Alam sudah pasti menimbulkan disharmoni di tubuh Kabinet Indonesia Bersatu II. Sangat memprihatinkan karena perilaku tidak profesional itu dibiarkan oleh Presiden. Omong kosong kalau dikatakan semua anggota kabinet bisa menerima dengan lapang dada apa yang dilakukan Dipo Alam. Mana ada menteri dan jajaran kementerian yang tidak gusar dituduh menyiasati dan mengorupsi anggaran. 

Suasana di lingkungan manajemen BUMN pun boleh jadi tidak kondusif, menyusul isu pemerasan BUMN oleh oknum anggota DPR. Apalagi, beberapa laporan Menteri BUMN Dahlan Iskan sama sekali tidak akurat, bahkan sudah memfitnah. Akan muncul persoalan psikologis di tubuh manajemen BUMN, karena bagaimanapun akan terbentuk persepsi bahwa manuver Dahlan Iskan sudah mendisharmoni DPR-BUMN. 

Efektivitas pemerintahan di sejumlah daerah pun menurun, setelah lebih dari 1.000 pejabat daerah dilaporkan ke pihak berwenang karena bermasalah dengan hukum. Lebih dari 100 pejabat daerah berstatus tersangka, ratusan lainnya terdakwa, dan puluhan lainnya sedang diadili. Dalam suasana yang tidak kondusif seperti itu, pemerintah dikhawatirkan tidak bisa berperan efektif untuk merespons sejumlah persoalan. Kelangkaan BBM bersubsidi yang mulai terjadi di banyak daerah bisa menimbulkan ekses yang serius, jika pemerintah gagal menyosialisasikan kebijakan BBM bersubsidi. 

Karena itu, Presiden harus bisa “memaksa” para menteri dan para kepala daerah untuk fokus dan berorientasi pada deskripsi tugas, fungsi, dan wewenang mereka masing-masing. Waktu yang tersisa bagi pemerintahan Presiden SBY untuk unjuk kinerja kepada rakyat tidak banyak lagi; sebab 2013 adalah tahun persiapan menyongsong tahun politik pada 2014. Periode waktu yang sangat berisiko bagi soliditas kabinet dan manajemen pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar