Media, Adu
Citra, dan Disharmoni
Gunawan Witjaksana ; Dosen
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 06 Desember 2012
"Pada era kebebasan media,
tiap orang bisa melontarkan pernyataan, dan kemunculan karut-marut berawal
dari persoalan itu"
KESAN manuver antarelite makin menjadi-jadi. Baik elite legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, bahkan dalam bidang olahraga pun, kini getol beradu citra. Paling gres dan baru saja mereda adalah ketika petinggi Demokrat, yang juga anggota DPR Sutan Bhatoegana, dianggap mengeluarkan pernyataan yang melecehkan Gus Dur.
Konflik KPK versus Polri pun
belum juga tuntas, bahkan cenderung memanas karena masing-masing ingin
mencitrakan diri, termasuk ketika mantan penyidik KPK dari Polri menyerang
balik. ’’Sengatan’’ Menteri BUMN Dahlan Iskan terhadap anggota DPR meski
dengan data lemah sehingga menuai protes, bahkan berisiko berujung di
pengadilan, makin menciptakan disharmoni antara Kementerian BUMN dan DPR.
Seolah-olah tak mau kalah,
disharmoni antarelite PSSI melengkapi konfigurasi konflik. Dengan berbagai
konflik berkepanjangan yang berkesan saling berebut citra, tanpa sadar
sebenarnya mereka mengorbankan citra NKRI.
Tak hanya terbatas itu,
pernyataan Ketua MK Mahfud MD terkait pemberian grasi terpidana narkoba Ola
yang belakangan diduga bermasalah pun memunculkan konflik.
Tampaknya para elite lupa pada
suara masyarakat bahwa upaya mencitrakan diri dan institusi dengan mengganggu
kenyamanan pihak lain sebenarnya melanggar etika sehingga berdampak
kontraproduktif. Akankah ke depan para elite makin menyadari kekeliruan itu
dan siap memperbaiki? Atau sebaliknya bersikukuh yang penting citra
meningkat, dengan mengabaikan citra pihak lain, terlebih citra yang lebih
luas, yaitu NKRI?
Pakar public relations (PR) Ivy Lee antara lain menegaskan bahwa citra
positif terhadap institusi harus dimulai dari dalam (public relations begins at home). Bertolak dari pernyataan itu
maka perseteruan antarindividu yang berimbas seolah-olah perseteruan
institusi sebenarnya hanya berpangkal dari perebutan citra. Hal itu
menyebabkan disharmoni hubungan baik antarelite, dan bisa melebar menjadi
disharmoni hubungan antarlembaga, tempat para elite itu bertugas.
Melontarkan pernyataan baik
sebagai elite, terlebih sebagai pejabat publik itu memang diperlukan. Melalui
cara itu apa yang mereka lakukan, bahkan reputasi dari kinerja tersebut terus
terkomunikasikan kepada masyarakat pada umumnya, dan konsituen pada khususnya.
Selanjutnya, bila lontaran
pernyataan dan hasil kerja itu berujung pada peningkatan citra yang
bersangkutan, termasuk imbas pada insitusi, tidak ada yang salah. Yang sering
menjadi persoalan bila lontaran pernyataan itu terkait dengan pernyataan atau
kinerja pihak lain, terutama bila dalam menyatakannya dikesankan sebagai
upaya menaikkan citra.
Diskusi Komprehensif
Elite atau institusi lain yang
merasa terganggu pun sebenarnya tidak salah. Terutama bila hal ini kita
kaitkan dengan pandangan konstruktivisme ala Pieter L Berger misalnya.
Pandangan elite terhadap lontaran pernyataan elite lain menyangkut dirinya,
tentu tak mungkin dilepaskan dari pengetahuan, pengalaman, kepentingan, dan
lingkungan.
Yang perlu saling dijaga dan
diperhitungkan sebenarnya adalah memaksimalkan empati masing-masing, baik
ketika menyampaikan pernyataan maupun menerima dan menerjemahkan pernyataan
elite lain.
Bila hal itu diterapkan,
niscaya hubungan yang seolah-olah memanas, terlebih ter-blow-up berbagai
media, dapat dihindari atau setidak-tidaknya diminimalkan.
Ini perlu dilakukan mengingat
pada era keterbukaan dan kebebasan media, terlebih media makin luas
menyediakan ruang publik, tiap orang bisa ikut melontarkan pernyataan, dan
kemunculan karut-marut itu justru berawal dari hal itu. Terlebih, pengalaman
hampir selalu menunjukkan pernyataan atau perilaku elite yang dianggap
menguntungkan atau relevan dengan kepentingan banyak orang, akan memicu
kemunculan opini mayoritas, yang bagaimana pun kuatnya, di dalamnya tetap
saja mengandung kontroversi.
Karena itu, dalam melontarkan
pernyataan, sebaiknya para elite tetap harus mendasarkan pada dukungan data
akurat, karena kebebasan media hampir pasti selalu merangsang pihak lain
menanggapi. Harapannya, bila data akurat digunakan sebagai dasar dalam
melontarkan pernyataan, si penanggap tentu harus menggunakan data akurat
pula.
Melalui cara itu, diharapkan
yang terjadi adalah diskusi komprehensif sehingga bila hal itu ter-blow-up media, masyarakat pun bisa
mencerna secara arif sehingga akan bermuara pada keterhindaran saling lempar
pernyataan, bahkan tuduhan yang tidak sehat, sekaligus kontraproduktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar