Jumat, 07 Desember 2012

Media, Adu Citra, dan Disharmoni


Media, Adu Citra, dan Disharmoni
Gunawan Witjaksana ;   Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
SUARA MERDEKA, 06 Desember 2012


"Pada era kebebasan media, tiap orang bisa melontarkan pernyataan, dan kemunculan karut-marut berawal dari persoalan itu"

KESAN manuver antarelite makin menjadi-jadi. Baik elite legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, bahkan dalam bidang olahraga pun, kini getol beradu citra. Paling gres dan baru saja mereda adalah ketika petinggi Demokrat, yang juga anggota DPR Sutan Bhatoegana, dianggap mengeluarkan pernyataan yang melecehkan Gus Dur.

Konflik KPK versus Polri pun belum juga tuntas, bahkan cenderung memanas karena masing-masing ingin mencitrakan diri, termasuk ketika mantan penyidik KPK dari Polri menyerang balik. ’’Sengatan’’ Menteri BUMN Dahlan Iskan terhadap anggota DPR meski dengan data lemah sehingga menuai protes, bahkan berisiko berujung di pengadilan, makin menciptakan disharmoni antara Kementerian BUMN dan DPR.

Seolah-olah tak mau kalah, disharmoni antarelite PSSI melengkapi konfigurasi konflik. Dengan berbagai konflik berkepanjangan yang berkesan saling berebut citra, tanpa sadar sebenarnya mereka mengorbankan citra NKRI.

Tak hanya terbatas itu, pernyataan Ketua MK Mahfud MD terkait pemberian grasi terpidana narkoba Ola yang belakangan diduga bermasalah pun memunculkan konflik.

Tampaknya para elite lupa pada suara masyarakat bahwa upaya mencitrakan diri dan institusi dengan mengganggu kenyamanan pihak lain sebenarnya melanggar etika sehingga berdampak kontraproduktif. Akankah ke depan para elite makin menyadari kekeliruan itu dan siap memperbaiki? Atau sebaliknya bersikukuh yang penting citra meningkat, dengan mengabaikan citra pihak lain, terlebih citra yang lebih luas, yaitu NKRI?

Pakar public relations (PR) Ivy Lee antara lain menegaskan bahwa citra positif terhadap institusi harus dimulai dari dalam (public relations begins at home). Bertolak dari pernyataan itu maka perseteruan antarindividu yang berimbas seolah-olah perseteruan institusi sebenarnya hanya berpangkal dari perebutan citra. Hal itu menyebabkan disharmoni hubungan baik antarelite, dan bisa melebar menjadi disharmoni hubungan antarlembaga, tempat para elite itu bertugas.

Melontarkan pernyataan baik sebagai elite, terlebih sebagai pejabat publik itu memang diperlukan. Melalui cara itu apa yang mereka lakukan, bahkan reputasi dari kinerja tersebut terus terkomunikasikan kepada masyarakat pada umumnya, dan konsituen pada khususnya.

Selanjutnya, bila lontaran pernyataan dan hasil kerja itu berujung pada peningkatan citra yang bersangkutan, termasuk imbas pada insitusi, tidak ada yang salah. Yang sering menjadi persoalan bila lontaran pernyataan itu terkait dengan pernyataan atau kinerja pihak lain, terutama bila dalam menyatakannya dikesankan sebagai upaya menaikkan citra.

Diskusi Komprehensif

Elite atau institusi lain yang merasa terganggu pun sebenarnya tidak salah. Terutama bila hal ini kita kaitkan dengan pandangan konstruktivisme ala Pieter L Berger misalnya. Pandangan elite terhadap lontaran pernyataan elite lain menyangkut dirinya, tentu tak mungkin dilepaskan dari pengetahuan, pengalaman, kepentingan, dan lingkungan.

Yang perlu saling dijaga dan diperhitungkan sebenarnya adalah memaksimalkan empati masing-masing, baik ketika menyampaikan pernyataan maupun menerima dan menerjemahkan pernyataan elite lain.

Bila hal itu diterapkan, niscaya hubungan yang seolah-olah memanas, terlebih ter-blow-up berbagai media, dapat dihindari atau setidak-tidaknya diminimalkan.
Ini perlu dilakukan mengingat pada era keterbukaan dan kebebasan media, terlebih media makin luas menyediakan ruang publik, tiap orang bisa ikut melontarkan pernyataan, dan kemunculan karut-marut itu justru berawal dari hal itu. Terlebih, pengalaman hampir selalu menunjukkan pernyataan atau perilaku elite yang dianggap menguntungkan atau relevan dengan kepentingan banyak orang, akan memicu kemunculan opini mayoritas, yang bagaimana pun kuatnya, di dalamnya tetap saja mengandung kontroversi.

Karena itu, dalam melontarkan pernyataan, sebaiknya para elite tetap harus mendasarkan pada dukungan data akurat, karena kebebasan media hampir pasti selalu merangsang pihak lain menanggapi. Harapannya, bila data akurat digunakan sebagai dasar dalam melontarkan pernyataan, si penanggap tentu harus menggunakan data akurat pula.

Melalui cara itu, diharapkan yang terjadi adalah diskusi komprehensif sehingga bila hal itu ter-blow-up media, masyarakat pun bisa mencerna secara arif sehingga akan bermuara pada keterhindaran saling lempar pernyataan, bahkan tuduhan yang tidak sehat, sekaligus kontraproduktif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar