Jumat, 07 Desember 2012

Genderang Mendukung Korupsi


Genderang Mendukung Korupsi
Moh Yamin ;   Dosen dan Peneliti
di Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin
SINAR HARAPAN, 06 Desember 2012


Pemerintahan yang bersih (good governance) menjadi sebuah urgensi untuk melahirkan kerja pemerintahan yang benar-benar berpihak kepada hajat hidup orang banyak.

Pemerintahan yang bersih menjadi sebuah penjelas bahwa roda pemerintahan benar-benar dijalankan secara benar. Tidak ada kerja-kerja yang menyimpang yang kemudian merusak hati nurani publik.

Pemerintahan yang bersih sesungguhnya merupakan sebuah potret bahwa sesungguhnya agenda pembangunan yang bersentuhan dengan kepentingan publik kemudian sudah ditunaikan dengan sedemikian konkret dan praksis.

TAP MPR No XI/MPR/1998 yang dihasilkan pada era Reformasi sudah sangat jelas berbunyi: “Penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).” Persoalannya, kini pemerintahan saat ini bukan bebas dari korupsi dan lain sejenisnya.

Justru pemerintahan saat ini semakin dihuni oleh para manusia yang berhati culas, picik, dan berpikir sempit. Pemerintahan saat ini, termasuk di dalamnya pemerintahan daerah, sudah tidak lagi ditempati para penyelenggara negara yang bersih dari KKN. Justru mereka adalah mantan narapidana yang pernah melakukan korupsi.

Para kepala daerah mempromosikan sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang sebelumnya menjadi terpidana korupsi. Sebut saja Azirwan, mantan terpidana korupsi pelepasan utang lindung di Bintan, yang dipromosikan menjadi kepala dinas kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau oleh Gubernur Kepulauan Riau.

Yan Indra, mantan napi pembebasan lahan untuk PT Saipem Indonesia, dipromosikan oleh Bupati Karimun menjadi Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Karimun. Raja Faisal Yusuf, mantan napi korupsi pembangunan gedung serbaguna Tanjung Pinang, dipromosikan menjadi Kepala Badan Pelayanan dan Perizinan Terpadu Tanjung Pinang oleh Bupati Tanjung Pinang.

Senagip, mantan napi korupsi dana bagi hasil migas, dipromosikan menjadi Kepala Badan Keselamatan Bangsa Natuna oleh Bupati Natuna. Selain itu ada Yusrizal, Iskandar Ideris, dan masih banyak yang lain (Kompas, 5/11).

Potret sejumlah para napi korupsi yang dipromosikan menjadi penyelenggara negara sesungguhnya menjadi fakta bahwa kini para pemangku kepentingan di tingkat daerah sangat tidak mendukung pemberantasan korupsi. Justru genderang mendukung korupsi semakin ditabuh dengan sedemikian rupa.

Korupsi dengan segala anak pinaknya kemudian harus digelar dengan sedemikian rupa. Bagi sejumlah kepala daerah yang memberikan dukungan kepada para mantan napi korupsi untuk mengisi kursi kekuasaan di tingkat daerah menjadi sebuah realitas sangat pahit dan ironis bahwa ternyata komitmen untuk melahirkan pemerintahan yang bersih masih ibarat menegakkan benang basah.

Komitmen memberantas korupsi agar bangsa ini segera menjadi bangsa yang maju hanya sebatas jargon belaka. Apabila di tingkat pusat sejumlah pejabat negara baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun eksekutif sedang mempertontonkan arogansi politiknya kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan sangat tidak populis, justru di tingkat daerah pun demikian.

Pertanyaannya, apakah mental para pejabat kita di republik tercinta ini sudah sangat keropos dan rapuh? Yang mereka pikirkan bukan lagi kepentingan bersama di atas segala-galanya. Nasib jutaan rakyatnya tidak lagi dipikirkan sama sekali.

Penderitaan rakyatnya akibat perilaku para elite yang lebih suka mengorupsi uang rakyat tidak pernah menjadi sebuah cermin kritis bahwa sesungguhnya di negeri ini sedang terjadi preseden buruk tentang carut marut kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bukti Kegagalan

Realitas mengenai masih banyaknya sejumlah mantan napi yang diangkat menjadi pejabat negara kemudian memberikan sebuah potret nyata bahwa pemberantasan korupsi tidak berjalan dan dijalankan dengan sedemikian konkret dan praksis.

Pemberantasan korupsi yang seharusnya kemudian menutup sejumlah kelompok tertentu untuk semakin bebas dan berani dalam menggarong uang rakyat tidak terjadi sama sekali. Oleh karenanya, pemerintahan yang bersih tidak berjalin kelindan erat dengan harapan publik.

Korupsi sudah melahirkan pemerintahan yang busuk. Akhirnya, rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke pun dikecewakan dengan perilaku dan tindakan para elite yang sangat berpikir kerdil dan sempit. Yang mereka pentingkan kemudian bagaimana memperjuangkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya.

Rakyat sebagai bagian terbesar dari kehidupan berbangsa dan seharusnya diperjuangkan sampai titik penghabisan oleh para elite tidak dilakukan sama sekali. Kendati pun rakyat hidup dalam jeritan tangis antah berantah akibat krisis ekonomi, ternyata para elite tidak memerhatikan sama sekali.

Inilah yang kemudian disebut kegagalan reformasi 1998. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga ikut meneriakkan antikorupsi ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Teriakan SBY hanya sebatas jargon belaka yang tidak berbuah kerja-kerja konkret bagi peningkatan kualitas hidup rakyat. Ini adalah ironi.

Pertanyaannya, apakah para elite saat ini sudah berhenti untuk bekerja untuk rakyat? Apakah para elite yang sudah diberi mandat untuk mengelola republik ini sudah kehilangan kesadaran profetisnya untuk mengangkat hajat hidup orang banyak?

Terlepas apa pun jawabannya, sepertinya kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera tidak akan menjadi realitas ketika para elite selama ini selalu menutup mata dan telinga terhadap pelbagai penderitaan yang diderita rakyatnya.

Saat para elite selalu dan terus-menerus menabuh genderang politik sektarianisme yang lebih menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing, kondisi rakyat dan bangsa ini tidak akan pernah mengalami perubahan yang konstruktif sekaligus dinamis. Pembangunan bangsa di segala sektor tidak akan pernah terjadi.

Krisis Kepemimpinan

Mengapa pemberantasan korupsi sangat sulit ditunaikan maka jawabannya adalah karena sudah tidak ada lagi figur pemimpin yang bisa menjadi contoh bagi para bawahannya.

Apabila para kepala daerah kemudian mempromosikan sejumlan mantan napi korupsi untuk mengisi jabatan-jabatan struktural di sejumlah instansi, ini selanjutnya berkait erat dengan krisis kepemimpinan yang sedang terjadi di tingkat pusat (baca: realitas).

Kini yang harus segera dilakukan adalah negeri ini memerlukan pemimpin yang mau terbuka dan menerima kesalahan, siap menerima kritikan dan masukan, selanjutnya kemudian siap menerima sanksi dalam bentuk apa pun dari rakyat ketika melanggar sekaligus menyakiti nurani publik. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar