Genderang
Mendukung Korupsi
Moh Yamin ; Dosen dan Peneliti
di
Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin
|
SINAR
HARAPAN, 06 Desember 2012
Pemerintahan yang bersih (good
governance) menjadi sebuah urgensi untuk melahirkan kerja pemerintahan
yang benar-benar berpihak kepada hajat hidup orang banyak.
Pemerintahan yang bersih menjadi sebuah penjelas bahwa roda
pemerintahan benar-benar dijalankan secara benar. Tidak ada kerja-kerja yang
menyimpang yang kemudian merusak hati nurani publik.
Pemerintahan yang bersih sesungguhnya merupakan sebuah potret
bahwa sesungguhnya agenda pembangunan yang bersentuhan dengan kepentingan
publik kemudian sudah ditunaikan dengan sedemikian konkret dan praksis.
TAP MPR No XI/MPR/1998 yang dihasilkan pada era Reformasi sudah
sangat jelas berbunyi: “Penyelenggara
negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).”
Persoalannya, kini pemerintahan saat ini bukan bebas dari korupsi dan lain
sejenisnya.
Justru pemerintahan saat ini semakin dihuni oleh para manusia
yang berhati culas, picik, dan berpikir sempit. Pemerintahan saat ini,
termasuk di dalamnya pemerintahan daerah, sudah tidak lagi ditempati para
penyelenggara negara yang bersih dari KKN. Justru mereka adalah mantan
narapidana yang pernah melakukan korupsi.
Para kepala daerah mempromosikan sejumlah pegawai negeri sipil
(PNS) yang sebelumnya menjadi terpidana korupsi. Sebut saja Azirwan, mantan
terpidana korupsi pelepasan utang lindung di Bintan, yang dipromosikan
menjadi kepala dinas kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau oleh
Gubernur Kepulauan Riau.
Yan Indra, mantan napi pembebasan lahan untuk PT Saipem
Indonesia, dipromosikan oleh Bupati Karimun menjadi Kepala Dinas Pemuda dan
Olahraga Karimun. Raja Faisal Yusuf, mantan napi korupsi pembangunan gedung
serbaguna Tanjung Pinang, dipromosikan menjadi Kepala Badan Pelayanan dan
Perizinan Terpadu Tanjung Pinang oleh Bupati Tanjung Pinang.
Senagip, mantan napi korupsi dana bagi hasil migas, dipromosikan
menjadi Kepala Badan Keselamatan Bangsa Natuna oleh Bupati Natuna. Selain itu
ada Yusrizal, Iskandar Ideris, dan masih banyak yang lain (Kompas, 5/11).
Potret sejumlah para napi korupsi yang dipromosikan menjadi
penyelenggara negara sesungguhnya menjadi fakta bahwa kini para pemangku
kepentingan di tingkat daerah sangat tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Justru genderang mendukung korupsi semakin ditabuh dengan sedemikian rupa.
Korupsi dengan segala anak pinaknya kemudian harus digelar
dengan sedemikian rupa. Bagi sejumlah kepala daerah yang memberikan dukungan
kepada para mantan napi korupsi untuk mengisi kursi kekuasaan di tingkat
daerah menjadi sebuah realitas sangat pahit dan ironis bahwa ternyata
komitmen untuk melahirkan pemerintahan yang bersih masih ibarat menegakkan
benang basah.
Komitmen memberantas korupsi agar bangsa ini segera menjadi
bangsa yang maju hanya sebatas jargon belaka. Apabila di tingkat pusat
sejumlah pejabat negara baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun
eksekutif sedang mempertontonkan arogansi politiknya kemudian melahirkan
kebijakan-kebijakan sangat tidak populis, justru di tingkat daerah pun
demikian.
Pertanyaannya, apakah mental para pejabat kita di republik
tercinta ini sudah sangat keropos dan rapuh? Yang mereka pikirkan bukan lagi
kepentingan bersama di atas segala-galanya. Nasib jutaan rakyatnya tidak lagi
dipikirkan sama sekali.
Penderitaan rakyatnya akibat perilaku para elite yang lebih suka
mengorupsi uang rakyat tidak pernah menjadi sebuah cermin kritis bahwa
sesungguhnya di negeri ini sedang terjadi preseden buruk tentang carut marut
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bukti Kegagalan
Realitas mengenai masih banyaknya sejumlah mantan napi yang
diangkat menjadi pejabat negara kemudian memberikan sebuah potret nyata bahwa
pemberantasan korupsi tidak berjalan dan dijalankan dengan sedemikian konkret
dan praksis.
Pemberantasan korupsi yang seharusnya kemudian menutup sejumlah
kelompok tertentu untuk semakin bebas dan berani dalam menggarong uang rakyat
tidak terjadi sama sekali. Oleh karenanya, pemerintahan yang bersih tidak
berjalin kelindan erat dengan harapan publik.
Korupsi sudah melahirkan pemerintahan yang busuk. Akhirnya,
rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke pun dikecewakan dengan perilaku
dan tindakan para elite yang sangat berpikir kerdil dan sempit. Yang mereka
pentingkan kemudian bagaimana memperjuangkan kepentingan bangsa di atas
segala-galanya.
Rakyat sebagai bagian terbesar dari kehidupan berbangsa dan
seharusnya diperjuangkan sampai titik penghabisan oleh para elite tidak
dilakukan sama sekali. Kendati pun rakyat hidup dalam jeritan tangis antah
berantah akibat krisis ekonomi, ternyata para elite tidak memerhatikan sama
sekali.
Inilah yang kemudian disebut kegagalan reformasi 1998.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga ikut meneriakkan
antikorupsi ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Teriakan SBY hanya sebatas
jargon belaka yang tidak berbuah kerja-kerja konkret bagi peningkatan
kualitas hidup rakyat. Ini adalah ironi.
Pertanyaannya, apakah para elite saat ini sudah berhenti untuk
bekerja untuk rakyat? Apakah para elite yang sudah diberi mandat untuk
mengelola republik ini sudah kehilangan kesadaran profetisnya untuk
mengangkat hajat hidup orang banyak?
Terlepas apa pun jawabannya, sepertinya kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sejahtera tidak akan menjadi realitas ketika para elite selama
ini selalu menutup mata dan telinga terhadap pelbagai penderitaan yang
diderita rakyatnya.
Saat para elite selalu dan terus-menerus menabuh genderang
politik sektarianisme yang lebih menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan dan kepentingan masing-masing, kondisi rakyat dan bangsa ini tidak
akan pernah mengalami perubahan yang konstruktif sekaligus dinamis.
Pembangunan bangsa di segala sektor tidak akan pernah terjadi.
Krisis Kepemimpinan
Mengapa pemberantasan korupsi sangat sulit ditunaikan maka
jawabannya adalah karena sudah tidak ada lagi figur pemimpin yang bisa
menjadi contoh bagi para bawahannya.
Apabila para kepala daerah kemudian mempromosikan sejumlan
mantan napi korupsi untuk mengisi jabatan-jabatan struktural di sejumlah
instansi, ini selanjutnya berkait erat dengan krisis kepemimpinan yang sedang
terjadi di tingkat pusat (baca: realitas).
Kini yang harus segera dilakukan adalah negeri ini memerlukan
pemimpin yang mau terbuka dan menerima kesalahan, siap menerima kritikan dan
masukan, selanjutnya kemudian siap menerima sanksi dalam bentuk apa pun dari
rakyat ketika melanggar sekaligus menyakiti nurani publik. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar