Masalah Klasik
Dana Penelitian
Effnu Subiyanto ; Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair,
Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep) |
SUARA
KARYA, 13 Desember 2012
Polemik jurnal mengemuka kembali
di kalangan akademisi setelah pada Februari 2012 sempat memenuhi media massa.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud, baru-baru
ini mengeluarkan Surat Edaran baru No: 1483/ E/T/2012 yang intinya akan
mengevaluasi prodi doktoral akankah tetap komit menjalankan amanah Surat
Edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/ 2012 tanggal 27 Januari 2012 tentang
publikasi internasional. SE Januari itu me-mang berisi keharusan
mempublikasikan jurnal ilmiah bagi calon sarjana, magister dan doktor per
Agustus tahun ini. Dikti melihat rendahnya publikasi internasional
kampus-kampus di Tanah Air sangat mencolok jika dibandingkan dengan
kampus-kampus sejenis luar negeri. Dalam pemahaman luas, rendahnya penelitian
para scholar Indonesia akhirnya menyebabkan akselerasi pembangunan tanah air
menjadi tersendat.
Namun benarkah indikator banyaknya
jumlah jurnal menandakan kemajuan bangsa? Majunya negara Eropa, Amerika,
Jepang dan Malaysia sebagai pembanding dalam SE tersebut sebetulnya bukan
disebabkan karena jumlah jurnal yang dipublikasikan namun lebih karena etos
masyarakatnya yang mendukung.
Bahkan jurnal yang diterbitkan
dengan bahasa ilmiah yang sulit dicerna masyarakat kebanyakan ditambah dengan
deretan rumus uji statistik rumit, akhirnya hanya berhenti sampai di rak-rak
perpustakaan atau dalam folder portal jurnal elektronik. Para pelaku di
tataran riil, baik pelaku ekonomi, praktisi, maupun birokrasi masih belum
menemukan solusinya bagaimana mensintesa sebuah karya ilmiah menjadi produk
praktis atau kebijakan untuk kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, sudah sangat jamak
jika praktisi atau pengambil kebijakan tidak menggunakan dasar jurnal sebagai
landasan pengetahuan dalam pengambilan keputusan. Daya akurasi jurnal masih
belum dapat disandingkan dengan karya tulis para konsultan yang kini sangat
menjamur menjadi profesi baru.
Betapapun, menurut SCI (Science
Citation Index) yang berbasis pada jurnal SCOPUS, terjadi peningkatan jumlah
publikasi ilmiah internasional dari peneliti Indonesia pada tahun 2010. Satu
dekade lalu jumlah publikasi ilmiah internasional masih 580 penelitian, namun
pada tahun lalu sudah mencapai 1.925 artikel. SCI memperkirakan sampai dengan
akhir tahun 2011, penelitian Indonesia yang bisa dipublikasikan oleh grup
SCOPUS paling tidak akan mencapai 6.000 artikel.
Kendati demikian, menurut
penelitian SCI (2010), peringkat peneliti Indonesia masih berada di posisi 64
dari 234 negara yang disurvey. Indonesia masih kalah produktif dibanding
Singa-pura yang menduduki peringkat 31, Thailand (42) dan bahkan negeri jiran
Malaysia (48). Untuk ilustrasi, AS memproduksi 4,3 juta artikel ilmiah per
tahun dan menduduki urutan pertama SCI. Sementara Jepang berada pada urutan
ketiga SCI dengan 1,2 juta artikel per tahun.
Jumlah peneliti memang menjadi
persoalan, namun angka 6.000 artikel yang diproduksi tentu sangat jauh dari
harapan. Jumlah peneliti dengan kualifikasi pendidikan magister pada tahun
2010 berada pada kisaran 71.489 peneliti, sementara dengan kualifikasi doktor
sebanyak 13.033 orang. Jumlah guru besar dan profesor paling tidak
diproyeksikan 4.500 orang. Sangat tidak sebanding dengan jumlah karya tulis
yang diterbitkan dalam jurnal internasional.
Bagi kalangan dunia nyata,
sebetulnya tidak menjadi persoalan karya ilmiah diterbitkan dalam jurnal
internasional atau tidak, asalkan kondisi bangsa dalam keadaan sejahtera.
Negara Brunei Darussalam yang minim penelitian juga tidak mengharuskan para
guru besar, profesor atau doktor untuk menulis artikel internasional toh
warga negara dalam keadaan sejahtera.
Namun, berbeda dengan Indonesia,
situasi yang demikian karut marut sungguh memerlukan peran dan kontribusi
para scholar untuk turun gunung. Sangat diharapkan pengalaman penelitian dan
analisis dari studi perbandingannya sehingga dapat dengan cepat di-'copy paste' ke dalam sistem negara
ini. Tidak seperti sekarang, negara ini keha-bisan energi karena pemimpinnya
sibuk melakukan trial and error dari setiap kebijakan.
Eksekutif tidak memiliki
pengalaman dan benchmarking sehingga buta dan tuli. Untuk menyelesaikan pro
dan kontra pembatasan subsidi BBM saja menghabiskan tiga tahun la-manya tanpa
hasil. Rencana demi rencana dilontarkan dan membuat rakyat dalam keadaan
terteror secara psikologis. Semula akan dilakukan dengan kartu magnetik
tertentu dan kini entah dengan cara apa.
Rendahnya publikasi jurnal
internasional sebenarnya tidak semata-mata sebagai sumber kelambanan dari
seluruh aspek bangsa. Tidak ada sinkronisasi antar-program satu dengan yang
lainnya adalah sebab utama carut marut sistem bernegara. Saat negeri ini
dirasakan mulai terjadi krisis bahan pangan pokok, upaya membuat
program-program sepertinya serius, namun tidak sampai dua bulan kemudian isu
itu hilang dengan sendirinya. Ini mengingatkan ketika pemerintah meluncurkan
program biofuel sebagai alternatif BBM fosil, namun kini hilang entah ke
mana. Kini, ketika subsidi bahan bakar dalam APBNP 2012 mencapai Rp 305,9
triliun padahal disain semula Rp 195,3 triliun baru semua tersadar.
Tergopoh-gopoh kini kuota ditambah 1,23 juta kilo liter, padahal diperlukan
tambahan belanja minimal Rp 5,6 triliun.
Jadi, ketidak-fokusan pemerintah
dalam membuat program peningkatan kesejahteraan rakyat pada akhirnya juga
menderitakan rakyat. Kendati demikian, kalangan scholar seperti profesor dan
doktor seharusnya tidak tinggal diam untuk memberikan pandangan keilmuan dari
kekuatan penelitiannya. Banyak sekali ilmuwan Indonesia sekarang ini memilih
meneliti fenomena di negara lain sebagai objek riset dari pada masalah dalam
negeri, alasan klasik terutama disebabkan karena minimnya dana. Masalah ini
memang harus pula diperhatikan oleh Kemendikbud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar