Jumat, 14 Desember 2012

Masalah Klasik Dana Penelitian


Masalah Klasik Dana Penelitian
Effnu Subiyanto ;  Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair,
Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep)
SUARA KARYA, 13 Desember 2012


Polemik jurnal mengemuka kembali di kalangan akademisi setelah pada Februari 2012 sempat memenuhi media massa. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud, baru-baru ini mengeluarkan Surat Edaran baru No: 1483/ E/T/2012 yang intinya akan mengevaluasi prodi doktoral akankah tetap komit menjalankan amanah Surat Edaran Dirjen Dikti No. 152/E/T/ 2012 tanggal 27 Januari 2012 tentang publikasi internasional. SE Januari itu me-mang berisi keharusan mempublikasikan jurnal ilmiah bagi calon sarjana, magister dan doktor per Agustus tahun ini. Dikti melihat rendahnya publikasi internasional kampus-kampus di Tanah Air sangat mencolok jika dibandingkan dengan kampus-kampus sejenis luar negeri. Dalam pemahaman luas, rendahnya penelitian para scholar Indonesia akhirnya menyebabkan akselerasi pembangunan tanah air menjadi tersendat.
Namun benarkah indikator banyaknya jumlah jurnal menandakan kemajuan bangsa? Majunya negara Eropa, Amerika, Jepang dan Malaysia sebagai pembanding dalam SE tersebut sebetulnya bukan disebabkan karena jumlah jurnal yang dipublikasikan namun lebih karena etos masyarakatnya yang mendukung.
Bahkan jurnal yang diterbitkan dengan bahasa ilmiah yang sulit dicerna masyarakat kebanyakan ditambah dengan deretan rumus uji statistik rumit, akhirnya hanya berhenti sampai di rak-rak perpustakaan atau dalam folder portal jurnal elektronik. Para pelaku di tataran riil, baik pelaku ekonomi, praktisi, maupun birokrasi masih belum menemukan solusinya bagaimana mensintesa sebuah karya ilmiah menjadi produk praktis atau kebijakan untuk kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, sudah sangat jamak jika praktisi atau pengambil kebijakan tidak menggunakan dasar jurnal sebagai landasan pengetahuan dalam pengambilan keputusan. Daya akurasi jurnal masih belum dapat disandingkan dengan karya tulis para konsultan yang kini sangat menjamur menjadi profesi baru.
Betapapun, menurut SCI (Science Citation Index) yang berbasis pada jurnal SCOPUS, terjadi peningkatan jumlah publikasi ilmiah internasional dari peneliti Indonesia pada tahun 2010. Satu dekade lalu jumlah publikasi ilmiah internasional masih 580 penelitian, namun pada tahun lalu sudah mencapai 1.925 artikel. SCI memperkirakan sampai dengan akhir tahun 2011, penelitian Indonesia yang bisa dipublikasikan oleh grup SCOPUS paling tidak akan mencapai 6.000 artikel.
Kendati demikian, menurut penelitian SCI (2010), peringkat peneliti Indonesia masih berada di posisi 64 dari 234 negara yang disurvey. Indonesia masih kalah produktif dibanding Singa-pura yang menduduki peringkat 31, Thailand (42) dan bahkan negeri jiran Malaysia (48). Untuk ilustrasi, AS memproduksi 4,3 juta artikel ilmiah per tahun dan menduduki urutan pertama SCI. Sementara Jepang berada pada urutan ketiga SCI dengan 1,2 juta artikel per tahun.
Jumlah peneliti memang menjadi persoalan, namun angka 6.000 artikel yang diproduksi tentu sangat jauh dari harapan. Jumlah peneliti dengan kualifikasi pendidikan magister pada tahun 2010 berada pada kisaran 71.489 peneliti, sementara dengan kualifikasi doktor sebanyak 13.033 orang. Jumlah guru besar dan profesor paling tidak diproyeksikan 4.500 orang. Sangat tidak sebanding dengan jumlah karya tulis yang diterbitkan dalam jurnal internasional.
Bagi kalangan dunia nyata, sebetulnya tidak menjadi persoalan karya ilmiah diterbitkan dalam jurnal internasional atau tidak, asalkan kondisi bangsa dalam keadaan sejahtera. Negara Brunei Darussalam yang minim penelitian juga tidak mengharuskan para guru besar, profesor atau doktor untuk menulis artikel internasional toh warga negara dalam keadaan sejahtera.
Namun, berbeda dengan Indonesia, situasi yang demikian karut marut sungguh memerlukan peran dan kontribusi para scholar untuk turun gunung. Sangat diharapkan pengalaman penelitian dan analisis dari studi perbandingannya sehingga dapat dengan cepat di-'copy paste' ke dalam sistem negara ini. Tidak seperti sekarang, negara ini keha-bisan energi karena pemimpinnya sibuk melakukan trial and error dari setiap kebijakan.
Eksekutif tidak memiliki pengalaman dan benchmarking sehingga buta dan tuli. Untuk menyelesaikan pro dan kontra pembatasan subsidi BBM saja menghabiskan tiga tahun la-manya tanpa hasil. Rencana demi rencana dilontarkan dan membuat rakyat dalam keadaan terteror secara psikologis. Semula akan dilakukan dengan kartu magnetik tertentu dan kini entah dengan cara apa.
Rendahnya publikasi jurnal internasional sebenarnya tidak semata-mata sebagai sumber kelambanan dari seluruh aspek bangsa. Tidak ada sinkronisasi antar-program satu dengan yang lainnya adalah sebab utama carut marut sistem bernegara. Saat negeri ini dirasakan mulai terjadi krisis bahan pangan pokok, upaya membuat program-program sepertinya serius, namun tidak sampai dua bulan kemudian isu itu hilang dengan sendirinya. Ini mengingatkan ketika pemerintah meluncurkan program biofuel sebagai alternatif BBM fosil, namun kini hilang entah ke mana. Kini, ketika subsidi bahan bakar dalam APBNP 2012 mencapai Rp 305,9 triliun padahal disain semula Rp 195,3 triliun baru semua tersadar. Tergopoh-gopoh kini kuota ditambah 1,23 juta kilo liter, padahal diperlukan tambahan belanja minimal Rp 5,6 triliun.
Jadi, ketidak-fokusan pemerintah dalam membuat program peningkatan kesejahteraan rakyat pada akhirnya juga menderitakan rakyat. Kendati demikian, kalangan scholar seperti profesor dan doktor seharusnya tidak tinggal diam untuk memberikan pandangan keilmuan dari kekuatan penelitiannya. Banyak sekali ilmuwan Indonesia sekarang ini memilih meneliti fenomena di negara lain sebagai objek riset dari pada masalah dalam negeri, alasan klasik terutama disebabkan karena minimnya dana. Masalah ini memang harus pula diperhatikan oleh Kemendikbud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar