Bangsa yang
Aneh
Yudhistira ANM Massardi ; Pengarang
buku Pendidikan Karakter dengan Metode Sentra, pengelola Sekolah Gratis TK-SD
Batutis Al-Ilmi di Bekasi
|
KORAN
TEMPO, 13 Desember 2012
"The
illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write,
but those who cannot learn, unlearn, and relearn."
-- Alvin Toffler.
Kita ini sungguh-sungguh merupakan bangsa bernasib
seperti yang digambarkan Toffler dalam kutipan di atas. Kita menjadi bangsa
yang para pemimpinnya di segala lini merupakan penyandang buta-bisu-tuli
alias tuna-total tak mampu belajar.
Kita menyatakan perang terhadap korupsi, tetapi korupsi
semakin merajalela hingga ke sumsum tulang belakang tubuh bangsa. Kita
berteriak-teriak tentang rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia,
tapi sistem pendidikan nasional menghancurkan seluruh potensi kreatif dan
kecerdasan anak bangsa sejak di satuan pendidikan anak usia dini.
Kita berkeluh-kesah tentang kebobrokan moral dan mental
bangsa, tapi pada saat yang sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta
Kementerian Agama--yang seharusnya menjadi menara suar bagi ketinggian ilmu
dan akhlak--selalu berhasil mempertahankan rekor sebagai lembaga yang paling
korup bukan kepalang. Bahkan kini disempurnakan dengan korupsi di Kementerian
Pemuda dan Olahraga. Dengan demikian, bangsa ini kehilangan arah dan tujuan.
Kita pun meratapi rendahnya budi pekerti dan karakter bangsa, tapi tak ada yang
sungguh-sungguh berupaya melakukan perbaikan.
Kanker Mematikan
Segala sesuatu dan semua wacana tentang perubahan dan
perbaikan bermuara hanya pada satu kubangan kebejatan: korupsi! Seluruh
inisiatif dan niat baik dimangsa oleh budaya serba instan yang menjadi biang
kanker mematikan. Ke arah mana pun kita berpaling, sejauh mata memandang,
yang terhampar di hadapan hanya bentangan korupsi semata-mata, tanpa ujung
tanpa akhir.
Tetapi masih ada segelintir orang yang terus berupaya
membangun optimisme (atau ilusi?) bahwa harapan masih ada. Bahwa perekonomian
tumbuh di atas 6 persen. Bahwa dengan mengurangi jumlah mata pelajaran dan
menambah jam belajar di SD, SMP dan SMA--dengan tetap memberi tekanan pada
menghafalkan dan melafalkan ayat-ayat suci-bisa dilahirkan generasi baru
berkarakter dan berakhlak mulia (seolah-olah para koruptor di Kementerian
Pendidikan dan Kementerian Agama bukanlah orang-orang yang pandai menghafal
dan melafal!).
Kita terus diiming-imingi perubahan dan perbaikan di
bidang pendidikan, tetapi dengan tetap menyelenggarakan Ujian Nasional (UN).
Padahal sudah terbukti selama ini bahwa UN justru merupakan "pendidikan
kriminalitas" yang diajarkan secara masif dan disokong dengan penuh
semangat oleh para kepala daerah, kepala sekolah, dan para guru yang takut
terciprat aib jika banyak muridnya tidak lulus UN sehingga mereka
beramai-ramai mendorong dilakukannya aksi menyontek massal. Dan kejahatan itu
dicitrakan sebagai perbuatan heroik, bukannya sebagai tindakan penghancuran
moral anak didik sejak dini dan sistemik.
Fondasi Karakter
Pemerintah pun masih menganut paham bahwa ketentuan
wajib belajar 12 tahun itu dimulai dari jenjang sekolah dasar (SD). Padahal
sudah lama diketahui bahwa momentum terbaik bagi pembangunan kualitas manusia
adalah pada masa "usia emas" (0-7 tahun). Itulah waktu emas bagi
pembangunan fondasi karakter dan kecerdasan anak.
Dengan kata lain, jika pendidikan anak usia dini tetap
diabaikan dalam strategi pendidikan nasional, harapan bagi terciptanya
generasi baru bangsa yang lebih baik benar-benar hanya merupakan ilusi dan
omong kosong! Jika alokasi dana dan daya lebih dititikberatkan pada satuan
pendidikan di atas pendidikan anak usia dini, sama saja dengan upaya
mendirikan bangunan di atas fondasi yang rapuh. Itu artinya, tak ada yang
sungguh-sungguh memikirkan masa depan bangsa. Tak ada yang sungguh-sungguh
mempersiapkan generasi penerus bangsa yang tangguh dan mampu bersaing dengan
bangsa-bangsa lain.
Para pemimpin bangsa seharusnya bisa melihat betapa
seriusnya Presiden Amerika Serikat Barack Obama memberi perhatian kepada pendidikan
anak usia dini agar bangsa Amerika masih punya sumber daya manusia yang bisa
bersaing dengan bangsa Cina dan India di masa kini dan masa depan. Fakta
bahwa bangsa Cina kini setiap tahun mampu menghasilkan 20 juta penutur bahasa
Inggris, dan menghasilkan 600 ribu orang ahli teknik--bandingkan dengan
Amerika Serikat yang menghasilkan 70 ribu dan India yang menghasilkan 350
ribu insinyur (Michael Backman, 2008)--itu membuat Obama sangat risau akan
masa depan bangsanya. Untuk itu, ia pun segera membuat langkah-langkah nyata
membangun "generasi Sputnik" yang kedua.
Sebagaimana diketahui, dalam pidato di depan para
pelajar di North Carolina, beberapa waktu lalu, Obama menuturkan, ketika Uni
Soviet meluncurkan Sputnik ke luar angkasa pada 1957, bangsa Amerika
terprovokasi dan langsung meningkatkan anggaran untuk studi matematika dan
sains, yang kelak jadi kunci kemenangan Amerika dalam persaingan luar
angkasa. "Lima puluh tahun
kemudian (kini), momentum bagi generasi Sputnik kita datang lagi,"
katanya.
Berkubang dalam Paradoks
Kita memang bangsa yang aneh. Bangsa yang para
pemimpinnya tak kunjung henti menciptakan dan berkubang dalam paradoks alias
tak sama kata dengan perbuatan. Bangsa yang tak mau dan tak mampu belajar apa
pun dari mana pun selain menjadi bangsa yang munafik dan korup.
Tentu saja, bangsa yang aneh ini tidak bisa diubah
menjadi lebih "waras" dengan cara instan, mengingat begitu parahnya
kerusakan yang terjadi di seluruh tubuh bangsa sejak menjadi bangsa yang
terjajah, lalu gagal memaknai secara benar hakikat kemerdekaan dan hakikat
reformasi.
Kalau tidak debil,
kita seharusnya bisa belajar dan menempuh "jalan Jepang", yang bisa
bangkit dan meraja lagi dalam kurun waktu 18 tahun sejak diluluh-lantakkan
bom atom pada 1945. Atau menempuh "jalan Cina", yang bisa
memperkuat otot-ototnya sebagai negara adidaya modern dalam kurun waktu 30
tahun sejak Deng Xiaoping memimpin reformasi politik-ekonomi pada 1978. Kita
pun bisa menempuh "jalan Malaysia", yang menjadi negara maju selama
22 tahun kepemimpinan Mahathir Mohamad. Kita juga bisa menempuh "jalan
Singapura", yang menjadi naga kecil berkat 30 tahun kepemimpinan Lee
Kuan Yew.
Harus dikatakan, kita memang telah menjadi negara gagal
yang menyia-nyiakan masa 67 tahun kemerdekaannya. Tetapi, kalau kita membaca
kembali Mukadimah UUD 1945, para bapak pendiri bangsa kita rupanya telah
melakukan kesalahan semantik, sehingga yang diproklamasikan pada 17 Agustus
1945 itu bukan merupakan "kemerdekaan" yang sesungguhnya, melainkan
proklamasi itu hanya "mengantarkan
rakyat Indonesia ke 'depan pintu gerbang' kemerdekaan negara
Indonesia..."
Artinya, gerak maju kita
hanya sampai di depan "pintu gerbang kemerdekaan" itu saja.
Perjalanan kita macet di situ, kita pun baku caci, baku pukul, baku bunuh,
dan baku jarah sampai hari ini di abad ke-21. Belum ada yang berhasil membuka
pintu gerbang itu, lalu masuk ke dalamnya, dan memaknai kemerdekaan secara
benar! Aneh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar