Jumat, 14 Desember 2012

Harmonisasi Pers dan Penguasa


Harmonisasi Pers dan Penguasa
Victor Silaen ;  Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SUARA KARYA, 13 Desember 2012


Pernikahan kilat Bupati Garut Aceng Fikri dengan Fany Octora (18) menuai hujatan. Hampir dapat dipastikan, dalam waktu tak terlalu lama, Aceng akan mundur dari jabatannya. Terlepas dari kasusnya, kita dapat mengatakan bahwa inilah dahsyatnya kuasa pers. Kalau tak ada pers yang mengangkat peristiwa ini ke permukaan, bukankah kita niscaya tak pernah tahu ada pemimpin daerah minus keteladanan seperti Aceng?
Jadi, jangan pernah meremehkan pers. Ini patut kita tegaskan karena 19 November lalu, Menteri ESDM Jero Wacik pernah menghina wartawan dalam pidatonya di hadapan ribuan eks-karyawan BP Migas di Jakarta, Dalam pidatonya itu, ia menilai bahwa citra negatif BP Migas di mata publik, seperti BP Migas prokepentingan asing, dan sebagainya itu adalah gara-gara kinerja Humas BP Migas yang mati angin ketika berhadapan dengan wartawan. Tidak bisa merangkul wartawan. Akibatnya, wartawan pun menulis yang jelek-jelek tentang BP Migas.
Menurut Menteri Jero, seharusnya Humas BP Migas bisa mengendalikan wartawan agar menulis sesuai dengan yang diinginkan. "Caranya adalah diajak makan siang, diberi penjelasan baik-baik. Kalau belum bisa mengerti, diterang-kan ulang lagi, dua kali, lima kali, sepuluh kali, berkali-kali sampai mengerti. Bila perlu kasih hadiah. Kalau tidak mau, ya kebangetan. Masa BP Migas, tidak bisa kasih hadiah (kepada wartawan)," begitu, antara lain, yang ia ucapkan.
Tak pelak wartawan pun tersinggung. Pertama, apa maksudnya 'mengendalikan wartawan agar menulis sesuai dengan yang diinginkan?' Itu merupakan sebentuk kalimat pelecehan atas profesi wartawan yang dianggap bisa 'diatur sesuai keinginan', menurut Menteri Jero.
Kedua, apa maksudnya wartawan 'menulis yang jelek-jelek?' Tidakkah itu merupakan streotipe? Menteri Jero mestinya paham bahwa kerja wartawan terkait kinerja pemerintah bukan hanya melaporkan (reportase) tetapi juga mengkritisi. Kalau tidak begitu, itu namanya 'corong pemerintah'. Wartawan yang baik adalah wartawan yang kritis, yang medianya berperan sebagai watchdog (anjing penggonggong). Ini bukan untuk menjelek-jelekkan, melainkan untuk memberi peringatan dini terhadap para penyelenggara negara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip clean and good governance. Untuk itulah pers harus mampu menyampaikan koreksi dan kontrol sosial terhadap para pejabat publik (termasuk instansinya) yang tak becus, yang korup serta melanggar hukum dan hak asasi manusia.
Ketiga, apa maksudnya 'kasih hadiah' kepada wartawan? Serupakah itu dengan apa yang dianggap sebagai tindakan gratifikasi, memberikan sesuatu dengan tujuan memengaruhi? Menteri Jero mestinya sadar, kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak 2004 hingga kini merupakan era yang mengusung tema 'perang terhadap korupsi'. Kalaulah Menteri Jero tahu ada wartawan yang suka dikasih atau bahkan meminta hadiah, bukan berarti semua wartawan boleh digeneralisasi seperti itu. Sebagai pembantu presiden, Menteri Jero justru harus bersikap dan berupaya serius memerangi korupsi, termasuk gratifikasi.
Syukurlah, Menteri Jero segera minta maaf. Menurutnya, tak ada niat melecehkan wartawan dengan pernyataannya itu. Ia mengaku, dirinya sangat menghargai pers dan menganggap penting posisi wartawan. Tapi, kita tak tahu sebaik apa sebenarnya Menteri Jero memahami peran pers di Indonesia dewasa ini.
Pasca Orde Baru, pers kian mantap memerankan dirinya sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy). Dengan itu berarti pers berperan penting dalam mengawal penyelenggaraan negara ini dengan cara mengkritisi dan mengontrol lembaga-lembaga kekuasaan dan para penguasanya. Dengan begitulah pers dapat menjadi kekuatan penyeimbang bagi ketiga lembaga penyelenggara negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif).
Pers Indonesia kini semakin menikmati kebebasannya untuk memberitakan, juga berekspresi dan berpendapat. Pers Indonesia kini bukan hanya berfungsi melayani hak publik untuk memperoleh informasi, tapi juga untuk menyampaikan gagasan maupun aspirasinya secara kritis terhadap pelbagai pihak. Jika di era Orde Lama dan Orde Baru, pers takut terhadap penguasa, kini justru penguasalah yang 'takut' kepada pers karena perannya sebagai watchdog.
Kritis
Hubungan antara pers dan penguasa menjadi seperti gelombang yang naik-turun tapi tak pernah pernah terputus. Keduanya saling membutuhkan. Tapi, harap dimaklumi kalau pers lebih cenderung mengkritisi daripada memuji. Itulah pers yang ideal, yang selalu memerankan diri sebagai watchdog of the government. Sekalipun para penyelenggara negara berkinerja cukup baik, tetap saja pers harus rajin menyalak agar para penguasa itu mawas diri. Apalagi, jika kinerja mereka relatif buruk. Hal itu biasanya menjadi sasaran empuk bagi pers. Karena itulah dapat dimaklumi jika ada sebagian pers yang cenderung lebih suka memotret sisi-sisi jelek pemerintah daripada sisi-sisi bagusnya.
Terhadap pers yang suka menyalak itu para penguasa hendaknya tak alergi dan terburu-buru menyimpulkan dengan mengatakan, misalnya, pers tersebut ditunggangi kepentingan politik tertentu atau pers tersebut berniat menyerang (melakukan pembunuhan karakter) pihak tertentu. Akhirnya, renungkanlah sepotong kalimat bermakna yang pernah diucapkan oleh Presiden ke-3 AS, Thomas Jefferson (1801-1809). When it is left me to decide whether we should have a government without newspapers, or newspapers without government, I should not hesitate to prefer the letter (Jika saya ditanya mana yang akan saya pilih, pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, tanpa ragu saya akan memilih yang terakhir).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar