Harmonisasi
Pers dan Penguasa
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
|
SUARA
KARYA, 13 Desember 2012
Pernikahan kilat
Bupati Garut Aceng Fikri dengan Fany Octora (18) menuai hujatan. Hampir dapat
dipastikan, dalam waktu tak terlalu lama, Aceng akan mundur dari jabatannya.
Terlepas dari kasusnya, kita dapat mengatakan bahwa inilah dahsyatnya kuasa
pers. Kalau tak ada pers yang mengangkat peristiwa ini ke permukaan, bukankah
kita niscaya tak pernah tahu ada pemimpin daerah minus keteladanan seperti
Aceng?
Jadi, jangan pernah
meremehkan pers. Ini patut kita tegaskan karena 19 November lalu, Menteri
ESDM Jero Wacik pernah menghina wartawan dalam pidatonya di hadapan ribuan
eks-karyawan BP Migas di Jakarta, Dalam pidatonya itu, ia menilai bahwa citra
negatif BP Migas di mata publik, seperti BP Migas prokepentingan asing, dan
sebagainya itu adalah gara-gara kinerja Humas BP Migas yang mati angin ketika
berhadapan dengan wartawan. Tidak bisa merangkul wartawan. Akibatnya,
wartawan pun menulis yang jelek-jelek tentang BP Migas.
Menurut Menteri Jero,
seharusnya Humas BP Migas bisa mengendalikan wartawan agar menulis sesuai
dengan yang diinginkan. "Caranya adalah diajak makan siang, diberi
penjelasan baik-baik. Kalau belum bisa mengerti, diterang-kan ulang lagi, dua
kali, lima kali, sepuluh kali, berkali-kali sampai mengerti. Bila perlu kasih
hadiah. Kalau tidak mau, ya kebangetan. Masa BP Migas, tidak bisa kasih
hadiah (kepada wartawan)," begitu, antara lain, yang ia ucapkan.
Tak pelak wartawan pun
tersinggung. Pertama, apa maksudnya 'mengendalikan wartawan agar menulis
sesuai dengan yang diinginkan?' Itu merupakan sebentuk kalimat pelecehan atas
profesi wartawan yang dianggap bisa 'diatur sesuai keinginan', menurut
Menteri Jero.
Kedua, apa maksudnya
wartawan 'menulis yang jelek-jelek?' Tidakkah itu merupakan streotipe?
Menteri Jero mestinya paham bahwa kerja wartawan terkait kinerja pemerintah
bukan hanya melaporkan (reportase) tetapi juga mengkritisi. Kalau tidak
begitu, itu namanya 'corong pemerintah'. Wartawan yang baik adalah wartawan
yang kritis, yang medianya berperan sebagai watchdog (anjing penggonggong).
Ini bukan untuk menjelek-jelekkan, melainkan untuk memberi peringatan dini
terhadap para penyelenggara negara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip clean and good governance. Untuk
itulah pers harus mampu menyampaikan koreksi dan kontrol sosial terhadap para
pejabat publik (termasuk instansinya) yang tak becus, yang korup serta
melanggar hukum dan hak asasi manusia.
Ketiga, apa maksudnya
'kasih hadiah' kepada wartawan? Serupakah itu dengan apa yang dianggap
sebagai tindakan gratifikasi, memberikan sesuatu dengan tujuan memengaruhi?
Menteri Jero mestinya sadar, kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) sejak 2004 hingga kini merupakan era yang mengusung tema 'perang
terhadap korupsi'. Kalaulah Menteri Jero tahu ada wartawan yang suka dikasih
atau bahkan meminta hadiah, bukan berarti semua wartawan boleh digeneralisasi
seperti itu. Sebagai pembantu presiden, Menteri Jero justru harus bersikap
dan berupaya serius memerangi korupsi, termasuk gratifikasi.
Syukurlah, Menteri
Jero segera minta maaf. Menurutnya, tak ada niat melecehkan wartawan dengan
pernyataannya itu. Ia mengaku, dirinya sangat menghargai pers dan menganggap
penting posisi wartawan. Tapi, kita tak tahu sebaik apa sebenarnya Menteri
Jero memahami peran pers di Indonesia dewasa ini.
Pasca Orde Baru, pers
kian mantap memerankan dirinya sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy).
Dengan itu berarti pers berperan penting dalam mengawal penyelenggaraan
negara ini dengan cara mengkritisi dan mengontrol lembaga-lembaga kekuasaan
dan para penguasanya. Dengan begitulah pers dapat menjadi kekuatan
penyeimbang bagi ketiga lembaga penyelenggara negara (legislatif, eksekutif
dan yudikatif).
Pers Indonesia kini
semakin menikmati kebebasannya untuk memberitakan, juga berekspresi dan
berpendapat. Pers Indonesia kini bukan hanya berfungsi melayani hak publik
untuk memperoleh informasi, tapi juga untuk menyampaikan gagasan maupun
aspirasinya secara kritis terhadap pelbagai pihak. Jika di era Orde Lama dan
Orde Baru, pers takut terhadap penguasa, kini justru penguasalah yang 'takut'
kepada pers karena perannya sebagai watchdog.
Kritis
Hubungan antara pers
dan penguasa menjadi seperti gelombang yang naik-turun tapi tak pernah pernah
terputus. Keduanya saling membutuhkan. Tapi, harap dimaklumi kalau pers lebih
cenderung mengkritisi daripada memuji. Itulah pers yang ideal, yang selalu memerankan
diri sebagai watchdog of the government.
Sekalipun para penyelenggara negara berkinerja cukup baik, tetap saja pers
harus rajin menyalak agar para penguasa itu mawas diri. Apalagi, jika kinerja
mereka relatif buruk. Hal itu biasanya menjadi sasaran empuk bagi pers.
Karena itulah dapat dimaklumi jika ada sebagian pers yang cenderung lebih
suka memotret sisi-sisi jelek pemerintah daripada sisi-sisi bagusnya.
Terhadap pers yang
suka menyalak itu para penguasa hendaknya tak alergi dan terburu-buru menyimpulkan
dengan mengatakan, misalnya, pers tersebut ditunggangi kepentingan politik
tertentu atau pers tersebut berniat menyerang (melakukan pembunuhan karakter)
pihak tertentu. Akhirnya, renungkanlah sepotong kalimat bermakna yang pernah
diucapkan oleh Presiden ke-3 AS, Thomas Jefferson (1801-1809). When it is left me to decide whether we
should have a government without newspapers, or newspapers without
government, I should not hesitate to prefer the letter (Jika saya ditanya
mana yang akan saya pilih, pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar
tanpa pemerintah, tanpa ragu saya akan memilih yang terakhir). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar