Kamis, 13 Desember 2012

Kontrak “B to B”: Solusi Kedaulatan Negara atas Migas?


Kontrak “B to B”:
Solusi Kedaulatan Negara atas Migas?
Ali Nasir ;  Legal Adviser di Sekretariat OPEC Wina 
SINDO, 12 Desember 2012


Salah satu isu yang menjadi perdebatan hangat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini adalah kedaulatan negara dalam pengelolaan minyak dan gas bumi (migas). 

Disinyalir bahwa production sharing contract (PSC) atau kontrak bagi hasil yang ditandatangani oleh BP Migas selaku wakil pemerintah dengan perusahaan swasta atau asing bersifat keperdataan dan menempatkan posisi negara setara dengan kontraktor. MK berpendapat bahwa kontrak keperdataan akan mendegradasi kedaulatan negara atas sumber daya alam. Pendapat MK sejalan dengan pemikiran Dr Kurtubi, saksi ahli yang diajukan para penggugat dalam judicial review UU Migas beberapa waktu lalu. Menurut Kurtubi, kontrak migas haruslah dibuat dalam bentuk business to business (B to B), bukan business to government (B to G).

Dengan pola B to B, pemerintah akan leluasa membuat kebijakan publik dalam pengelolaan migas tanpa harus khawatir akan digugat investor asing. Untuk menghindari hubungan B to G, MK berpendapat negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberi konsesi untuk mengelola migas di wilayah hukum pertambangan Indonesia sehingga BUMN tersebut yang akan melakukan kontrak dengan kontraktor.

Apakah solusi yang ditawarkan MK ini akan menyelesaikan persoalan kedaulatan negara dalam mengatur pengelolaan migas? Atau dengan kata lain, apakah dengan tidak ikut sebagai pihak dalam kontrak pemerintah dapat melakukan tindakan apa saja terhadap investasi investor? Sepintas kelihatan demikian, tetapi jika dikaji lebih jauh tidaklah begitu. Dalam konteks investasi asing, investor mempunyai proteksi berlapis atas investasi yang mereka lakukan di suatu negara. 

Pertama, proteksi melalui kontrak. Investasi di bidang migas memerlukan modal awal yang sangat besar dan jangka waktu pengembalian modal yang cukup lama.Karena itu,bisnis migas sangat rentan terhadap risiko politis. Tidak mengherankan jika perusahaan asing mengajukan prasyarat “stabilisasi kontrak” sebelum mereka menanamkan modal di suatu negara.Kontrak migas umumnya memuat klausul stabilisasi-kontrak tidak boleh diubah secara sepihak. Klausul ini sebenarnya merupakan implementasi dari prinsip pacta sun servanda atau “janji harus ditepati” dalam hukum internasional. 

Prinsip ini sudah diadopsi dalam sistem hukum di seluruh dunia, termasuk di negara kita. Terkait stabilisasi kontrak, mungkin ada yang berpendapat bahwa dalam kontrak B to B di mana pemerintah bukanlah merupakan pihak, tidak ada janji atau komitmen yang harus ditepati pemerintah terkait kontrak migas yang ditandatangani BUMN dengan perusahaan asing. Oleh karena itu pemerintah bebas membuat kebijakan apa saja terkait pengelolaan migas. Argumen ini ada benarnya. Akan tetapi kebijakan pemerintah tersebut pada akhirnya harus diimplementasikan oleh BUMN. 

Sering kali BUMN harus melanggar kontrak untuk melaksanakan kebijakan pemerintah tersebut. Masih segar di ingatan kita, di akhir tahun sembilan puluhan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatalan atau penangguhan beberapa proyek pembangkit listrik swasta (IPP) karena krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia, termasuk Indonesia saat itu. Pertamina dan PLN harus mengeksekusi kebijakan tersebut dengan membatalkan proyek serta kontak terkait. Akibatnya, Pertamina dan PLN digugat di arbitrase internasional oleh perusahaan asing. 

Dalam kasus Karaha Bodas, lembaga arbitrase ICC menghukum Pertamina untuk membayar ganti rugi sebesar USD261 juta. Pada saat Pertamina gagal membayar, aset Pertamina disita di beberapa negara seperti Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat, dan Kanada. Dalam kasus Himpurna melawan PLN,PLN dinyatakan bersalah telah melanggar energy sales contract atau kontrak jual beli energi dan diwajibkan membayar denda sebesarUSD392juta. 

Dalamkasus serupa, Patuha Power Ltd melawan PLN, lembaga arbitrase internasional juga memerintahkan PLN membayar denda sekitar USD180 juta kepada Patuha. Walaupun pemerintah tidak digugat dalam kasus tersebut, kerugian yang dialami perusahaan asing sebagai akibat kebijakan pemerintah harus ditanggung BUMN yang notabene milik negara.Pengeluaran perusahaan milik negara sama dengan pengeluaran negara. Selanjutnya, investor asing juga dilindungi bilateral investment treaty (BIT). 

BIT merupakan perjanjian antara dua negara untuk meningkatkan investasi dan melindungi investasi investor satu negara yang berinvestasi di negara yang satunya. BIT mewajibkan negara melindungi investasi investor dan melarang negara melakukan tindakan sepihak seperti renegosiasi yang dipaksakan, nasionalisasi aset investor, dan tindakan lain yang merugikan investor. Indonesia sudah menandatangani sekitar 50 BIT. Dengan adanya BIT, sesungguhnya kontrak B to B membawa mudarat daripada manfaat. 

Investor asing dapat menggugat BUMN dan pemerintah pada saat yang sama. Kasus yang terjadi pada Venezuela dapat dijadikan contoh. Sekitar tahun 1997, PDVSA, perusahaan minyak milik Venezuela, menandatangani kontrak kerja sama (association agreement) dengan Exxon-Mobil untuk eksplorasi dan eksploitasi beberapa ladang minyak di Venezuela. Sepuluh tahun kemudian, Pemerintah Venezuela menasionalisasi aset ExxonMobil. 

ExxonMobil tidak hanya menggugat PDVSA berdasarkan association agreement di lembaga arbitrase ICC yang berpusat di Paris, tetapi juga Pemerintah Venezuela berdasarkan BIT di lembaga arbitrase ICSID, Washington DC. ICC menyatakan ExxonMobil berhak mendapatkan ganti rugi sekitar USD900 juta. Nilai gugatan ExxonMobil di ICSID sekitar USD7 miliar dan kasus tersebut masih berlangsung. Pola gugatan ExxonMobil juga diikuti ConocoPhillips. 

Dalam mengimplementasikan kesepakatan OPEC, Pemerintah Venezuela melalui PDVSA meminta ConocoPhillips dan perusahaan asing lainnya menurunkan produksi. ConocoPhillips merasa dirugikan dan menggugat PDVSA ke ICC dan Venezuela ke ICSID. Seandainya kontrak migas tersebut ditandatangani Pemerintah Venezuela dengan perusahaan asing, ExxonMobil dan ConocoPhillips hanya dapat menggugat satu pihak saja, yaitu Pemerintah Venezuela. 

ExxonMobil dan ConocoPhilips tidak punya dasar untuk menggugat PDVSA.Hal ini dapat kita buktikan dalam kasus Churchill Mining PLC melawan Pemerintah Republik Indonesia yang saat ini masih berlangsung di ICSID. Churchill Mining PLC, yang merasa hak mereka dilanggar oleh pemerintah (daerah), hanya dapat menggugat pemerintah,berdasarkan BIT antara Indonesia dan Britania Raya, karena izin pertambangan dikeluarkan pemerintah. Seandainya izin atau kontrak pertambangan dikeluarkan atau ditandatangani oleh BUMN, niscaya Churchill juga akan menggugat BUMN tersebut. 

Dengan demikian,dapat disimpulkan kontrak B to B tidak membuat pemerintah imun dari gugatan investor asing. Kontrak B to B tidak membuat negara “berdaulat” dalam pengertian bebas melakukan tindakan apa saja terhadap investasi investor.Namun,MK sudah menetapkan kontrak migas harus dalam bentuk B to B. Sebagai penafsir tunggal konstitusi, putusan MK haruslah dihormati. 

Sekarang apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko pemerintah digugat di arbitrase internasional? Langkah preventif yang harus dilakukan adalah dengan membuat kebijakan pengelolaan migas yang baik sejak awal. Negara berdaulat melakukan kebijakan apa saja sepanjang tidak melanggar komitmen terhadap investor. Begitu komitmen sudah dibuat haruslah ditaati. Kata Nabi, jika berjanji, tepatilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar