Jumat, 07 Desember 2012

Mainstream Pendidikan Tinggi Pertanian


Mainstream Pendidikan Tinggi Pertanian
Helmy Akbar ;  Mahasiswa Pasca Sarjana IPB, Anggota Asosiasi
Peneliti dan Pemerhati Sumberdaya Perairan dan Lingkungan-IPB
SUARA KARYA, 05 Desember 2012


Data Jiaravanon (2007) menunjukkan mayoritas petani Indonesia berpendidikan rendah. Sekitar 27,8 persen petani Indonesia tidak tamat SD, bahkan tidak sekolah dan mayoritas (49,2 persen) tamat SD. Hanya sedikit yang melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Tentu hal ini berpengaruh pada kecepatan atau kemampuan menyerap transfer of knowledge berkaitan dengan informasi dan teknologi pertanian.
Di sisi lain, sumber dari Dinas Pendidikan Nasional menyebutkan jumlah calon mahasiswa yang mendaftar pada bidang studi pertanian menurun dari tahun ke tahun. Ini terindikasi sejak tahun ajar 2002/2003, dari 57 ribu calon mahasiswa, turun menjadi 41 ribu calon mahasiswa, tiga tahun kemudian. Penurunan juga terjadi pada semua rumpun ilmu pertanian (termasuk perikanan, peternakan, dan kehutanan). Jikapun ada peningkatan, proporsi peminat bidang pertanian tetap lebih kecil dibanding bidang lain.
Rendahnya minat calon mahasiswa di bidang pertanian berawal dari gambaran negatif profesi petani di mata masyarakat. Menjadi petani sekarang sudah tidak kompetitif lagi. Penilaiannya sederhana, mana lebih sejahtera, menjadi petani, pejabat atau pengusaha? Di Indonesia, pertanian sudah telanjur identik dengan kemiskinan karena sebagian besar masyarakat perdesaan adalah petani gurem.
Generasi muda tertipu dengan kulit luar pertanian yang jorok, kotor, berlumpur dan panas. Tetapi, lupa memaknai betapa enaknya makan nasi, lauk pauk dari hasil pertanian, ketika sudah sampai di meja makan. Jika melihat makanan pokok, lauk-pauk, penganan, hingga bumbu masak siap saji yang berjejer di supermarket, semua bersumber dari pertanian. Tampaknya rantai sistem agribisnis tidak dipahami dengan baik oleh mereka.
Fakta lain, pertanian rakyat merosot drastis, tertinggal jauh di belakang 'industri pertanian'. Pengusaha bermodal sudah beralih ke sektor pertanian secara global. Bisa jadi, satu perusahaan bisa menangani proses pertanian dari pemuliaan bibit (paten) hingga distribusi bahkan pengolahan hasil panen. Plus, menyediakan alat pertanian, pestisida, dan lainnya. Di sektor perikanan, produksi udang nasional selama ini paling banyak disumbang oleh pengusaha asing seperti Thailand. Problemnya, mereka lebih suka menyimpan uang atau hasil keuntungan di negaranya, bukan di Indonesia. Maka, terjadilah fenomena kebocoran ekonomi (economic leakage).
Di sini, pertanian rakyat menjadi marginal, tidak berdaya saing dan dipertaruhkan. Bagi rakyat Indonesia, pertanian adalah sumber kehidupan, kultur, kearifan lokal, warisan turun temurun, keterampilan bersimbiosis dengan alam. Bukan memeras alam. Jika pertanian rakyat hilang maka negara kehilangan jati diri sebagai negara agraris atau negara maritim yang keduanya bertumpu pada natural resource yang sama yaitu pangan.
Lulusan perguruan tinggi pertanian banyak melarikan diri dari sektor pertanian. Kondisi ini mengakibatkan hilangnya regenerasi pengelola pertanian di masa depan, ketiadaan regenerasi berlanjut pada permasalahan keterbatasan tenaga ahli yang menekuni bidang ilmu pertanian. Kondisi ini berpotensi menciptakan ketergantungan pada asing dalam pengembangan teknologi dan mekanisasi pertanian, alat-alat pertanian, pestisida hingga paten bibit unggul tanaman.
Perguruan tinggi yang memiliki jurusan pertanian menjadi tidak percaya diri, tidak kreatif mengenalkan keunggulan yang dimiliki. Perguruan tinggi pertanian sibuk memutar otak membuka jurusan-jurusan baru yang lebih banyak diminta oleh pasar kerja. Bukan meningkatkan kapasitas dan daya kreasi bidang pertanian.
Hilangnya peran negara dalam melindungi pertanian rakyat berakibat pada krisis pangan. Impor digalakkan, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian ditinggalkan karena dianggap memboroskan anggaran. Dalam revisi UU Pangan terbaru negara malah berniat melepaskan tanggung jawab pengadaan (termasuk impor) dan distribusi pangan kepada swasta. Kebijakan pengelolaan pangan didesentralisasi, ekspor impor pangan dikendalikan daerah, bukan pusat. Suatu hal yang berbahaya. Karena, tidak semua daerah subur dan surplus pangan. Ego muncul, daerah berlomba meningkatkan pendapatan daerah. Sebagai solusinya, pemerintah harus memperbaiki citra pertanian dengan mengganti politik pangan agar lebih pro rakyat dan pro pertanian rakyat. Peng-hapusan subsidi pangan adalah suatu kekonyolan. Karena, negara-negara maju malah berhasrat mensubsidi kebutuhan petani, memberikan lahan pengelolaan yang luas dan abadi, membangun sistem irigasi, membeli hasil produksi, dan membuat pertanian rakyat menjadi ekspansif. Ini mengingat pertanian adalah sumber daya ekonomi riil dan berkelanjutan. Ide kebijakan desentralisasi pangan perlu dikawal jangan sampai menjadi alasan pemerintah pusat untuk berlepas tangan dan menjadi alasan bagi daerah untuk meraup untung.
Dalam hal distribusi, Bulog (pemerintah) harus difungsikan kembali sebagaimana mestinya, menyerap dan mendistribusikan hasil pertanian rakyat, mekanisme pasar dihapus sebagai satu-satunya alat pemenuhan kebutuhan akan pangan. Celah impor dipersempit, berlakukan hanya pada kondisi darurat pangan dan benar-benar dibutuhkan. Perlu sinergitas langkah antara pemerintah, institusi pendidikan, stakeholder pertanian masyarakat dan media massa. Dalam konteks pendidikan pertanian, para pemuda harus disadarkan dengan kampanye pertanian edukasi sejak duduk di bangku SD. Di sini, pola pikir pertanian dibentuk sejak dini.
Pengembangan riset di bidang teknologi dan mekanisasi pertanian perlu mendapat asupan dana penelitian yang cukup dan kontinyu dari pemerintah. Hasil-hasilnya diaplikasikan di lapangan oleh para dosen dan mahasiswa kepada para petani. Akademisi pertanian harus turun ke lapangan agar pendidikan pertanian lebih terserap dalam benak para mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar