Mainstream
Pendidikan Tinggi Pertanian
Helmy Akbar ; Mahasiswa Pasca Sarjana IPB, Anggota Asosiasi
Peneliti dan
Pemerhati Sumberdaya Perairan dan Lingkungan-IPB
|
SUARA
KARYA, 05 Desember 2012
Data Jiaravanon
(2007) menunjukkan mayoritas petani Indonesia berpendidikan rendah. Sekitar
27,8 persen petani Indonesia tidak tamat SD, bahkan tidak sekolah dan
mayoritas (49,2 persen) tamat SD. Hanya sedikit yang melanjutkan ke jenjang
lebih tinggi. Tentu hal ini berpengaruh pada kecepatan atau kemampuan
menyerap transfer of knowledge berkaitan dengan informasi dan teknologi
pertanian.
Di sisi lain,
sumber dari Dinas Pendidikan Nasional menyebutkan jumlah calon mahasiswa yang
mendaftar pada bidang studi pertanian menurun dari tahun ke tahun. Ini
terindikasi sejak tahun ajar 2002/2003, dari 57 ribu calon mahasiswa, turun
menjadi 41 ribu calon mahasiswa, tiga tahun kemudian. Penurunan juga terjadi
pada semua rumpun ilmu pertanian (termasuk perikanan, peternakan, dan
kehutanan). Jikapun ada peningkatan, proporsi peminat bidang pertanian tetap
lebih kecil dibanding bidang lain.
Rendahnya minat
calon mahasiswa di bidang pertanian berawal dari gambaran negatif profesi
petani di mata masyarakat. Menjadi petani sekarang sudah tidak kompetitif
lagi. Penilaiannya sederhana, mana lebih sejahtera, menjadi petani, pejabat
atau pengusaha? Di Indonesia, pertanian sudah telanjur identik dengan
kemiskinan karena sebagian besar masyarakat perdesaan adalah petani gurem.
Generasi muda
tertipu dengan kulit luar pertanian yang jorok, kotor, berlumpur dan panas.
Tetapi, lupa memaknai betapa enaknya makan nasi, lauk pauk dari hasil
pertanian, ketika sudah sampai di meja makan. Jika melihat makanan pokok,
lauk-pauk, penganan, hingga bumbu masak siap saji yang berjejer di
supermarket, semua bersumber dari pertanian. Tampaknya rantai sistem
agribisnis tidak dipahami dengan baik oleh mereka.
Fakta lain,
pertanian rakyat merosot drastis, tertinggal jauh di belakang 'industri
pertanian'. Pengusaha bermodal sudah beralih ke sektor pertanian secara
global. Bisa jadi, satu perusahaan bisa menangani proses pertanian dari
pemuliaan bibit (paten) hingga distribusi bahkan pengolahan hasil panen.
Plus, menyediakan alat pertanian, pestisida, dan lainnya. Di sektor
perikanan, produksi udang nasional selama ini paling banyak disumbang oleh
pengusaha asing seperti Thailand. Problemnya, mereka lebih suka menyimpan
uang atau hasil keuntungan di negaranya, bukan di Indonesia. Maka, terjadilah
fenomena kebocoran ekonomi (economic
leakage).
Di sini,
pertanian rakyat menjadi marginal, tidak berdaya saing dan dipertaruhkan.
Bagi rakyat Indonesia, pertanian adalah sumber kehidupan, kultur, kearifan
lokal, warisan turun temurun, keterampilan bersimbiosis dengan alam. Bukan
memeras alam. Jika pertanian rakyat hilang maka negara kehilangan jati diri
sebagai negara agraris atau negara maritim yang keduanya bertumpu pada natural resource yang sama yaitu
pangan.
Lulusan
perguruan tinggi pertanian banyak melarikan diri dari sektor pertanian.
Kondisi ini mengakibatkan hilangnya regenerasi pengelola pertanian di masa
depan, ketiadaan regenerasi berlanjut pada permasalahan keterbatasan tenaga
ahli yang menekuni bidang ilmu pertanian. Kondisi ini berpotensi menciptakan
ketergantungan pada asing dalam pengembangan teknologi dan mekanisasi
pertanian, alat-alat pertanian, pestisida hingga paten bibit unggul tanaman.
Perguruan
tinggi yang memiliki jurusan pertanian menjadi tidak percaya diri, tidak
kreatif mengenalkan keunggulan yang dimiliki. Perguruan tinggi pertanian
sibuk memutar otak membuka jurusan-jurusan baru yang lebih banyak diminta
oleh pasar kerja. Bukan meningkatkan kapasitas dan daya kreasi bidang
pertanian.
Hilangnya peran
negara dalam melindungi pertanian rakyat berakibat pada krisis pangan. Impor
digalakkan, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian ditinggalkan karena
dianggap memboroskan anggaran. Dalam revisi UU Pangan terbaru negara malah
berniat melepaskan tanggung jawab pengadaan (termasuk impor) dan distribusi
pangan kepada swasta. Kebijakan pengelolaan pangan didesentralisasi, ekspor
impor pangan dikendalikan daerah, bukan pusat. Suatu hal yang berbahaya.
Karena, tidak semua daerah subur dan surplus pangan. Ego muncul, daerah
berlomba meningkatkan pendapatan daerah. Sebagai solusinya, pemerintah harus
memperbaiki citra pertanian dengan mengganti politik pangan agar lebih pro
rakyat dan pro pertanian rakyat. Peng-hapusan subsidi pangan adalah suatu
kekonyolan. Karena, negara-negara maju malah berhasrat mensubsidi kebutuhan
petani, memberikan lahan pengelolaan yang luas dan abadi, membangun sistem
irigasi, membeli hasil produksi, dan membuat pertanian rakyat menjadi
ekspansif. Ini mengingat pertanian adalah sumber daya ekonomi riil dan
berkelanjutan. Ide kebijakan desentralisasi pangan perlu dikawal jangan
sampai menjadi alasan pemerintah pusat untuk berlepas tangan dan menjadi
alasan bagi daerah untuk meraup untung.
Dalam hal
distribusi, Bulog (pemerintah) harus difungsikan kembali sebagaimana
mestinya, menyerap dan mendistribusikan hasil pertanian rakyat, mekanisme
pasar dihapus sebagai satu-satunya alat pemenuhan kebutuhan akan pangan.
Celah impor dipersempit, berlakukan hanya pada kondisi darurat pangan dan
benar-benar dibutuhkan. Perlu sinergitas langkah antara pemerintah, institusi
pendidikan, stakeholder pertanian masyarakat dan media massa. Dalam konteks
pendidikan pertanian, para pemuda harus disadarkan dengan kampanye pertanian
edukasi sejak duduk di bangku SD. Di sini, pola pikir pertanian dibentuk
sejak dini.
Pengembangan riset di bidang
teknologi dan mekanisasi pertanian perlu mendapat asupan dana penelitian yang
cukup dan kontinyu dari pemerintah. Hasil-hasilnya diaplikasikan di lapangan
oleh para dosen dan mahasiswa kepada para petani. Akademisi pertanian harus
turun ke lapangan agar pendidikan pertanian lebih terserap dalam benak para
mahasiswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar