Dilema
Kenaikan Harga
Pande Radja Silalahi ; Ekonom
CSIS
|
SUARA
KARYA, 05 Desember 2012
Menjelang
akhir tahun, kenaikan harga biasanya tidak terelakkan lagi.
Ini perlu mendapat perhatian serius, terutama dari para pembuat keputusan
sejak dini. Dalam hal ini, koordinasi kebijakan sangat dibutuhkan dan
seharusnya hal ini dapat diperankan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa.
Semula
pemberitaan perihal kenaikan harga terutama pangan kurang menarik perhatian
karena, seperti biasanya menjelang tutup tahun, khususnya menyambut Natal dan
Tahun Baru, harga-harga komoditas cenderung mengalami peningkatan. Salah satu
harga yang sudah naik dan tampaknya tak akan mengalami penurunan dalam waktu
dekat adalah harga daging sapi.
Tetapi,
pernyataan yang dilontarkan oleh aparat pemerintah biasanya sama saja,
seperti saat menjelang hari-hari besar, puasa atau Idul Fitri. Pejabat yang
satu menyatakan kenaikan harga merupakan ulah para spekulan. Tetapi, sampai
saat ini belum ada pemberitaan mengenai spekulan yang ditangkap atau didakwa
melakukan tindakan melawan hukum.
Pejabat
yang lain menyatakan, untuk menghadapi kenaikan harga, maka akan dilakukan
operasi pasar. Padahal, dalam waktu yang bersamaan, pejabat yang bersangkutan
mengemukakan dalam beberapa waktu belakangan ini pasokan komoditas yang
harganya naik mengalami penurunan.
Yang
lebih memprihatinkan, di tengah terjadinya kenaikan harga muncul gagasan agar
bea masuk untuk komoditas tertentu ditiadakan atau dikurangi. Di sisi lain,
ada desakan agar Bulog diberi peran yang lebih besar untuk menstabilkan
harga.
Bagaimanapun,
menyimak perkembangan belakangan ini, dengan jelas terlihat bahwa pejabat
atau aparat tertentu merasa panik, tidak dapat lagi dengan jeli melihat
permasalahan yang sebenarnya. Karena itu, menawarkan jalan keluar yang justru
tidak diyakininya dan lebih percaya dengan jalan keluar yang ditawarkan
hingga persoalan keluar dari domain atau wilayahnya. Dengan keadaan sekarang
ini, maka nasihat orang bijak bahwa jangan membuat keputusan ketika lagi
marah atau panik, perlu diperhatikan.
Di
mana pun di dunia ini, kenaikan harga suatu komoditas tidak bersifat netral.
Untuk Indonesia, misalnya, kenaikan harga padi akan menguntungkan sebagian
petani di wilayah tertentu, tetapi menambah beban atau mengurangi daya beli
sebagian besar masyarakat. Kenaikan harga kedelai, misalnya, akan
menguntungkan sebagian petani, tetapi dapat mereduksi pendapatan produsen
tempe dan dapat menambah beban bagi konsumen tempe serta dapat berakibat
pengalihan penggunaan lahan.
Data
BPS menunjukkan bahwa pada 2011 produksi kedelai di Indonesia mengalami
penurunan 55.745 ton dan tahun 2012 diperkirakan turun lagi sekitar 71.545
ton, sehingga perkiraan produksi tahun ini akan berkisar 779.741 ton.
Penurunan itu berbarengan dengan terjadinya penurunan luas panen, yaitu tahun
2011 sebesar 5,84 persen dan tahun ini diperkirakan lebih besar lagi, sekitar
8,93 persen.
Sudah
umum diketahui bahwa Indonesia masih mengimpor kacang kedelai dalam jumlah
besar, sekitar 60 persen dari seluruh kebutuhan. Maka, Kementerian Pertanian
harus aktif memantau situasi negara eksportir kedelai. Karena jumlah produksi
sangat dipengaruhi oleh iklim, maka perkembangan iklim di negara eksportir
menjadi sangat penting dan tidak dapat diabaikan.
Setelah
mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh, hampir dapat dipastikan
bahwa Indonesia tidak akan mungkin swasembada kedelai dalam waktu singkat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar