Jumat, 21 Desember 2012

Melakukan Pembiaran?


Melakukan Pembiaran?
Sori Siregar ;   Cerpenis
KOMPAS, 21 Desember 2012



Jika diminta memilih, saya akan menggunakan kata membiarkan daripada melakukan pembiaran, membunuh ketimbang melakukan pembunuhan atau berkunjung sebagai padanan melakukan kunjungan. Saya memilih ketiganya karena lebih hemat. Prinsip ekonomi kata berlaku di sini.
Saya sangat kasihan kepada pembaca berita di hampir semua stasiun televisi karena mereka terpaksa membaca warta yang disampaikan dengan kecepatan peluru yang dimuntahkan mitraliur. Redaktur mereka yang senang pada kalimat panjang tampaknya tak peduli bahwa waktu yang tersedia untuk menyampaikan berita itu terbatas. Dapat dimaklumi mengapa pembaca berita TV itu melepaskan peluru mitraliur setiap hari karena semua berita yang akan disajikan harus tuntas dibaca.
Ungkapan melakukan pembiaran sedang laris manis. Namun, sejak awal saya tidak ingin menggunakannya. Memang saya pernah sekadar mencobanya, tetapi karena terdengar lucu, saya langsung tobat. Saya tertawa sendiri ketika mengatakan kepada istri saya, ”lakukanlah pembiaran karena jalan itu kan tidak sering dilalui kendaraan”. Kalimat itu lahir karena cucu kami, Kafka, asyik bermain bersama temannya di tengah jalan kompleks perumahan tempat kami tinggal. Artinya, kami ”membiarkan” cucu kami itu bermain sesuka hatinya di tengah jalan yang sepi itu.
Ketika mendengar frasa melakukan kebohongan publik, saya bertanya dalam hati mengapa tidak disingkatkan saja menjadi berbohong kepada publik atau lebih pendek lagi berbohong. Cukup banyak kata yang kita hemat dengan mengatakan berbohong. Namun, pertanyaan saya dalam hati itu saya jawab sendiri. Jangan-jangan melakukan kebohongan publik itu bahasa hukum atau bahasa notaris. Bila demikian halnya, tentu saya tak akan meminta melakukan pembunuhan karakter menjadi membunuh karakter. Saya harus tahu diri karena saya bukan pakar bahasa.
Mungkin saya tetap menyukai ekonomi kata karena dulu saya bekerja sebagai pewarta di beberapa media cetak. Saban hari saya bergumul dengan kalimat yang singkat, padat, dan lugas. Namun, karena akhir-akhir ini banyak media cetak dan elektronik bersahabat ria dengan kalimat panjang, rumit bahkan berbelit, saya merasa kaidah dasar jurnalistik yang mengutamakan ekonomi kata sudah ketinggalan zaman. Kalau memang betul begitu, betapa tertinggal saya. Haruskah saya menyesuaikan diri?
Namun, satu hal tidak akan saya lupakan dalam hidup saya. Suatu hari, ketika saya bertugas sebagai pewarta, seorang teman menyerahkan naskahnya kepada redaktur untuk diperiksa. Begitu membaca naskah itu, sang redaktur langsung mencoret sejumlah kata. Kemudian ia meneruskan tugasnya. Ketika naskah teman saya itu dikembalikannya, kami berdua langsung membaca: ingin mengetahui mengapa pada kalimat pertama saja, coretan sudah ditorehkan. Ternyata ungkapan yang harus digunakan teman saya itu hanyalah ”bulan lalu”, bukan ”pada bulan yang baru lalu” seperti yang ia tulis. Ketika kami terus membaca apa lagi yang dicoret, sang redaktur muncul. Dengan tenang ia berkata, ”Sampah harus dibuang, jangan biarkan mengotori rumah.”
Sampah. Kata itu terekam dalam memori saya hingga saat ini. Akhirnya saya memutuskan tak akan menyesuaikan diri dengan bahasa ”kontemporer” yang banyak penggunanya ini. Mungkin saya dinilai tertinggal, tetapi saya akan tetap membuang sampah dari rumah kalimat saya. ●










Tidak ada komentar:

Posting Komentar