Habibie,
Maidin, dan Utusan Malaysia
Abdullah Alamudi ; Pengajar pada Lembaga Pers Dr Soetomo;
Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers
(2007-2010)
|
SINAR
HARAPAN, 17 Desember 2012
PERS dan media sosial Indonesia
beberapa hari terakhir penuh dengan berbagai reaksi masyarakat terhadap
tulisan mantan Menteri Penerangan Malaysia Tan Sri Zainuddin Maidin yang
menyebut Presiden ke-3 Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, sebagai
“pengkhianat negara” dan penyebab perpecahan rakyat Indonesia.
Tuduhan itu muncul pada 10
Desember. Dalam tulisan Maidin di Utusan Malaysia, harian terbesar
berbahasa Melayu di Malaysia, sebagai reaksi atas ceramah mantan presiden itu
dalam acara yang diselenggarakan oleh Ketua Umum Partai Keadilan Rakyat
pimpinan Anwar Ibrahim di Universiti Selangor, 6 Desember.
Tulisan ini meninjau penerbitan tuduhan
itu dari segi kemungkinan terjadinya pelanggaran etika jurnalistik oleh
Utusan Malaysia, dilihat dari sudut Canons
of Journalism Malaysia dan Journalism
Code of Ethics mereka.
Seperti halnya di Indonesia,
perilaku wartawan Malaysia juga diatur dan dibatasi oleh Kode Etik
Jurnalistik. Persatuan Wartawan Nasional Malaysia memiliki Malaysian National Union of Journalists
Code of Ethics. Malahan, Code of
Ethics wartawan Malaysia dibimbing oleh Canons of Journalism (Prinsip-Prinsip Dasar Jurnalisme) Malaysia.
Kehadiran Kode Etik dan
Prinsip-Prinsip Dasar Jurnalisme Malaysia itu seharusnya memungkinkan
masyarakat pembaca, pendengar, dan penonton TV berharap bahwa berita dan features
yang diterbitkan/disiarkan media di Malaysia akan taat etika, tidak menghina,
melontarkan tuduhan palsu/tidak berdasar, dan mencemarkan nama baik
seseorang.
Pasal 6 Canon of Journalism Malaysia berbunyi, “He shall uphold standards of morality in the performance of his
duties and shall avoid plagiarism, calumny or slander, libel, sedition,
unfounded accusations or acceptance of bribe in any form.”
Tapi tampaknya, inilah prinsip
pertama yang dilanggar oleh Utusan Malaysia ketika ia menerbitkan tulisan
Maidin, mantan pemimpin redaksinya, yang melontarkan slander, penghinaan
terhadap Habibie bahwa mantan presiden itu adalah “pengkhianat negara.”
Maidin, yang pernah bekerja
sebagai wartawan selama lebih dari 40 tahun, bisa saja berkilah bahwa itu
adalah pendapatnya. Di Indonesia kita menghormati hak seseorang menyatakan
pendapat sebagai hak asasi yang dilindungi oleh Pasal 28 F, UUD 1945.
Itu diulangi dalam preambule
Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia. Tapi hak menyatakan pendapat
bukanlah hak untuk melakukan calumny
tuduhan jahat/fitnah, slander, penghinaan, unfounded accusation, tuduhan tak berdasar.
Apakah rakyat dan pers Malaysia
bebas menyatakan pendapat dan mengkritik pemerintah Malaysia, itu tentu bisa
dipertanyakan. Apakah Maidin berani mengkritik pemerintahnya secara terbuka,
patut diragukan.
Ini karena di Malaysia masih berlaku Internal Security Act peninggalan
kolonial Inggris, yang sampai sekarang dipertahankan pemerintah Malaysia
untuk membungkam lawan-lawan politiknya. Di samping itu, surat kabar Malaysia
masih wajib memperbaharui izin terbitnya setiap tahun.
Akurasi
Bagi pers Indonesia, Habibie
adalah tokoh yang mendatangkan kemerdekaan pers. Di zaman kepresidenannyalah
dia memerintahkan Menteri Penerangan Letjen Muhammad Yunus Yosfiah menyusun
draf RUU Pers yang membawa kemerdekaan pers–kemerdekaan yang pertama kali
selama 255 tahun—sejak koran pertama di Indonesia, Bataviasche Nouvelles
terbit pada 1744.
Bagaimana Maidin bisa menuduh
Habibie sebagai pengkhianat bangsa, sedangkan Habibielah yang membebaskan
semua tahanan politik yang mendekam di bawah Presiden Soeharto, orang yang
dipuji-puji Maidin dalam tulisannya itu.
Maidin menuduh Habibie pemecah
belah rakyat Indonesia sehingga timbul 48 partai politik. Ini pun sebuah false
accusation, sebab timbulnya sekian banyak partai politik di Indonesia adalah
salah satu hasil tumbuhnya demokrasi di negeri ini. Habibie yang membuka
pintu demokrasi itu.
Pasal 2 Journalism Code of Ethics Malaysia menegaskan, “In pursuance of this duty he will defend
the twin principles: freedom in the honest collection and publication of
news; and the right of fair comment and criticism.” Pertanyannya lantas,
manakah the right of fair comment and
criticism itu di dalam tulisan mantan pemimpin redaksi Utusan Malaysia
tersebut?
Kalau Habibie mengkhianati bangsa
Indonesia, seperti dituduhkan Maidin, pastilah sudah lama dia berkalang
tanah. Tapi rakyat Indonesia sangat menghormati Habibie karena dialah yang
“membebaskan” Indonesia dari Timor Timur.
Beban alokasi APBN untuk
pembangunan Timor Timur waktu itu, yang penduduknya cuma sekitar 800.000, hampir
dua kali lebih besar daripada anggaran pembangunan DKI Jakarta yang
berpenduduk sembilan kali lipat.
Fakta-fakta inilah yang antara
lain tampaknya tidak dilihat oleh mantan Menteri Penerangan Malaysia itu
sehingga bolehlah masyarakat pembaca mempertanyakan soal akurasi tulisan
seorang yang berpengalaman lebih dari 40 tahun sebagai wartawan itu.
Pertanyaan serupa bisa ditujukan
kepada redaktur Utusan Malaysia, bagaimana mereka melakukan editing function mereka sehingga
berita yang tidak akurat (inaccurate),
melanggar Pasal 6 Canon of Journalism
Malaysia, dan melanggar Pasal 7 Journalism
Code of Ethics-nya bisa diterbitkan.
Pasal 7 itu berbunyi, “He will regard as grave professional
offences the following: Plagiarism; Calumny, slander, libel and unfounded
accusations; The acceptance of a bribe in any form in consideration of either
publication or suppression”.
Utusan Malaysia sudah
menerbitkan artikel yang bersifat libel, pencemaran nama baik Habibie. Maka,
kalau para redaktur Utusan Malaysia taat pada Kode Etik dan Canons of
Journalism mereka, rasanya mereka akan mengakui secara jujur bahwa mereka
telah melanggar Pasal 7 dan semua pasal yang penulis sebut di atas.
Tinggallah sekarang pertanyaan,
apakah Utusan Malaysia mau melaksanakan ketentuan dalam Pasal 4 Canons of Journalism-nya, yang
menegaskan, “It shall be his duty to
rectify and publish information found to be incorrect”. Pasal 5 Journalism Code of Ethics-nya
menegaskan, “Any published information
which is found to be harmfully inaccurate he will do his utmost to rectify.”
Apakah Utusan Malaysia mau dan
bersedia meralat atau menarik kembali (menyatakan tidak pernah ada atau minta
maaf) atas tulisan Maidin, mantan pemimpin redaksinya? Wallahu ‘alam bissawab. Yang jelas, Utusan Malaysia sudah
menghapus tulisan Maidin itu dari website-nya.
Kebencian UMNO
Apa yang memicu kemarahan Maidin
terhadap Habibie? Jawabannya mungkin bisa ditemukan pada kebencian partai
berkuasa, UMNO, yang didukung Maidin, terhadap Ketua Umum Parti Keadilan
Rakyat Anwar Ibrahim, dan ketakutan pemerintah pada prinsip-prinsip demokrasi
yang diceramahkan Habibie. Adalah Ibrahim yang mengundang Habibie menjadi
pembicara utama dalam pertemuan dengan mahasiswa dan para pemuka masyarakat
di Universiti Selangor.
Dalam ceramahnya, Habibie
mendorong pluralisme, yang digambarkannya sebagai “paham yang sudah lama ada
di kalangan masyarakat Malaysia dan perlu diterapkan untuk mendapatkan
keseimbangan.” Katanya, “Manusia yang hidup dalam sistem demokrasi, dia
benar-benar bisa berkembang dan tidak usah takut-takut.”
Terhadap penistaan dan pencemaran
nama baiknya, Habibie tentu bisa menggunakan haknya menuntut pidana dan
menggugat ganti rugi terhadap Zainuddin Maidin di pengadilan Malaysia, tapi
itu bukan sifat Habibie. Apalagi, dia sangat mendukung dan membela
kemerdekaan pers. Pilihan lain adalah mengadu ke Dewan Pers Malaysia, tapi ke
mana? Di Malaysia tidak ada Dewan Pers.
Sejumlah tokoh senior wartawan
Malaysia sudah berulang kali datang ke Jakarta, bertukar pikiran dengan
sejumlah anggota Dewan Pers, termasuk penulis. Mereka telah mempelajari UU
Pers Indonesia.
Mereka ingin memiliki UU Pers
kurang lebih seperti UU Pers kita, tapi masyarakat pers Malaysia masih tarik
ulur dengan pemerintah, khususnya menteri dalam negeri, yang tidak ingin
kehilangan kontrolnya terhadap pers.
Sampai Dewan Pers terbentuk,
dengan kewenangan melindungi kemerdekaan pers, wartawan dari seluruh 11 surat
kabar dan media elektronik di Malaysia tidak akan pernah dapat menulis sesuai
dengan hati nuraninya.
Mereka akan tetap harus tunduk
pada kemauan penguasa, termasuk mantan pemimpin redaksinya, seperti yang
terjadi di Utusan Malaysia. Canons
of Journalism Malaysia serta Code
of Ethics-nya hanya menjadi dokumen suci yang akan terus dilanggar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar