Di Mana Posisi
RI dalam Rezim Perubahan Iklim
Deni Bram ; Kandidat Doktor Hukum Lingkungan
Internasional UI Pengajar Hukum Lingkungan Pascasarjana Universitas Pancasila
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Desember 2012
UMUR Protokol Kyoto telah ditentukan dengan membiarkan
instrumen internasional tersebut sebagai mayat hidup di tengah keegoisan
negaranegara komprador. Perdebatan sebelumnya mengenai eksistensi Protokol
Kyoto terjawab sudah. Isu perubahan iklim dengan segala dampak yang
dihasilkan memang begitu `seksi' untuk diperbincangkan dalam segala bentuk
tataran keilmuan.
Sudah menjadi suatu kepercayaan bahwa isu perubahan iklim
ditanggapi secara diakronis oleh negara maju dan negara berkembang. Negara
maju melihat isu perubahan iklim sebagai salah satu instrumen yang dapat
menjadi peluang untuk menunjukkan komitmen dalam bentuk membantu negara
berkembang, sedangkan bagi negara berkembang isu perubahan iklim pada
hakikatnya lebih berdimensi ancaman yang menggelayuti setiap bentuk sikap
tindak dari negara berkembang.
Ketidakadilan Sistematis
Beberapa argumentasi dan instrumen yang menjadi indikator
adanya ketidakadilan yang hadir saat ini dan proyeksi mengenai isu perubahan
iklim ke depan menjadi menarik untuk diperbincangkan.
Pertama, eksistensi instrumen penurunan emisi berbasis
pasar seperti emission trading dan clean development mechanism
menunjukkan penurunan emisi tidak lebih dari perbincangan transaksional. Hal
itu sebenarnya mencederai hakikat common
but differentiated responsibility dalam rezim perubahan iklim yang
menitikberatkan satuan beban kontributor emisi dalam penentuan beban tanggung
jawab.
Instrumen-instrumen berbasis pasar seperti itu akan menjadi
peluang bagi negara negara maju yang sekaligus kontributor besar layaknya Amerika
Serikat dan China untuk mengalihkan isu kepada negara berkembang dengan
sumber daya yang dimiliki. Modus yang sering dilakukan antara lain dengan
memberikan bantuan dalam rangka mengurangi laju deforestasi sehingga
perbincangan hutan sebagai penyerap karbon menjadi sangat menarik jika
dibandingkan dengan menutup pabrik pabrik penghasil emisi.
Kedua, ketidakadilan hadir dari lemahnya kemampuan
negosiator dalam pertemuan tahunan Conference
of the Parties (COP) yang menjadi ajang perundingan berbagai bentuk
regulasi yang akan diadopsi dalam upaya penanggulangan perubahan iklim. Salah
satu karakteristik Delegasi Republik Indonesia (Delri) dalam pertemuan COP
identik dengan banyaknya anggota dari segi kuantitas, tetapi lemah dari segi
kualitas. Pemahaman isu yang terbatas dan menjadikan ajang COP sebagai forum
untuk bertransaksi secara internasional telah menjadi ciri khas yang
tertambat dalam wajah Delri dalam beberapa pertemuan ke belakang.
Ketiga, ketidakadilan hadir dalam bentuk kebutuhan yang
berbeda antara negara berkembang dan negara maju dalam menghadapi isu
perubahan iklim. Tidak dapat dimungkiri, keberadaan negaranegara berkembang
pada umumnya serta Indonesia pada khususnya mempunyai keterbatasan dari segi
finansial. Hal itulah yang menjadi lumbung strategis bagi bantuan negara maju
sebagai instrumen pengalihan tanggung jawab. Kehadiran REDD pun bahkan hingga
kini masih menuai perdebatan bahwa instrumen ini tidak lebih dari transaksi
antarkelas yang mengorbankan kepentingan negara berkembang yang sedang lapar
demi masa depan negara maju untuk tetap melaju.
Peran Negosiator
Tidak dapat dimungkiri pula kehadiran negosiator yang
tidak hanya mewakili negara atau sekelompok negara yang memiliki peran
penting, tetapi juga mewakili kepentingan pihak masing-masing. Paling tidak
terdapat tiga catatan penting dalam menghadapi perundingan internasional. Pertama,
tak dapat disangkal bahwa kondisi politik ekonomi suatu negara memengaruhi
arah kebijakan iklim yang akan ditempuh pada tataran nasional.
Beberapa fenomena yang terjadi, seperti penarikan diri
Kanada dalam penyelenggaraan Conference
of the Parties di Durban dari Protokol Kyoto dan keengganan Rusia untuk
turut serta dalam periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto, sangat
dipengaruhi kondisi ekonomi internal yang ada pada tingkat nasional.
Selanjutnya, tingkat akseptabilitas sebuah negara terhadap
peraturan tertentu turut memengaruhi arah negosiasi internasional. Negaranegara
yang terbukti memberikan kontribusi besar dalam peningkatan konsentrasi gas
rumah kaca, seperti Amerika Serikat, China, dan India, sering kali berkukuh
dengan legal standing yang mereka miliki dalam beberapa proses negosiasi
internasional. Sebaliknya, negaranegara dengan tingkat kerentanan tinggi,
seperti negaranegara yang tergabung dalam AOSIS, berkukuh menginginkan
kehadiran sebuah regulasi yang lebih berkeadilan.
Terakhir, karakteristik delegasi yang terlibat dalam
sebuah proses negosiasi memiliki peran sebagai ujung tombak penerjemah arah
kebijakan nasional pada tataran internasional. Kondisi kebijakan luar negeri
suatu bangsa memang tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal seperti
keberadaan pendapatan yang bersumber dari asing atau tingkat kerentanan yang
tinggi, tetapi juga bergantung pada kekuatan di tataran internal seperti mutu
para delegasi.
Posisi Indonesia Pasca-Protokol
Kyoto
Salah satu diskursus yang berkembang dalam tataran pemikir
masalah ekologis ialah untuk tidak membicarakan isu lingkungan hidup dengan
dimensi jangka panjang kepada politikus yang kerap mempunyai kepentingan
jangka pendek. Seiring dengan berakhirnya usia dari periode komitmen pertama
Protokol Kyoto, masalah yang tertinggal yaitu apakah umur yang ada akan
diperpanjang atau justru akan ada sebuah pendekatan baru di COP akhir tahun
ini?
Indonesia harus dapat memainkan peran secara maksimal.
Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia mempunyai
tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dituntut untuk menentukan umur komitmen unilateral yang telah ditancapkan
Indonesia sebesar 26% tanpa bantuan asing dan 41% dengan bantuan asing.
Pergantian rezim sering kali menjadi salah
satu penghambat perbaikan sistematis dan struktural dalam upaya
penanggulangan perubahan iklim. Hal itu kemudian tidak menutup kemungkinan
pascaProtokol Kyoto, negara-negara berkembang akan semakin disudutkan untuk
mendapatkan kewajiban lebih secara keseluruhan dalam rangka menurunkan emisi
di tengah segala bentuk keterbatasan yang dialami. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar