Jumat, 14 Desember 2012

Di Mana Posisi RI dalam Rezim Perubahan Iklim


Di Mana Posisi RI dalam Rezim Perubahan Iklim
Deni Bram ;  Kandidat Doktor Hukum Lingkungan Internasional UI Pengajar Hukum Lingkungan Pascasarjana Universitas Pancasila
MEDIA INDONESIA, 13 Desember 2012


UMUR Protokol Kyoto telah ditentukan dengan membiarkan instrumen internasional tersebut sebagai mayat hidup di tengah keegoisan negara­negara komprador. Perdebatan sebelumnya mengenai eksistensi Protokol Kyoto terjawab sudah. Isu perubahan iklim dengan segala dampak yang dihasilkan memang begitu `seksi' untuk diperbincangkan dalam segala bentuk tataran keilmuan.

Sudah menjadi suatu kepercayaan bahwa isu perubahan iklim ditanggapi secara diakronis oleh negara maju dan negara berkembang. Negara maju melihat isu perubahan iklim sebagai salah satu instrumen yang dapat menjadi peluang untuk menunjukkan komitmen dalam bentuk membantu negara berkembang, sedangkan bagi negara berkembang isu perubahan iklim pada hakikatnya lebih berdimensi ancaman yang menggelayuti setiap bentuk sikap tindak dari negara berkembang.

Ketidakadilan Sistematis

Beberapa argumentasi dan instrumen yang menjadi indikator adanya ketidakadilan yang hadir saat ini dan proyeksi mengenai isu perubahan iklim ke depan menjadi menarik untuk diperbincangkan.

Pertama, eksistensi instrumen penurunan emisi berbasis pasar seperti emission trading dan clean development mechanism menunjukkan penurunan emisi tidak lebih dari perbincangan transaksional. Hal itu sebenarnya mencederai hakikat common but differentiated responsibility dalam rezim perubahan iklim yang menitikberatkan satuan beban kontributor emisi dalam penentuan beban tanggung jawab.

Instrumen-­instrumen berbasis pasar seperti itu akan menjadi peluang bagi negara­ negara maju yang sekaligus kontributor besar layaknya Amerika Serikat dan China untuk mengalihkan isu kepada negara berkembang dengan sumber daya yang dimiliki. Modus yang sering dilakukan antara lain dengan memberikan bantuan dalam rangka mengurangi laju deforestasi sehingga perbincangan hutan sebagai penyerap karbon menjadi sangat menarik jika dibandingkan dengan menutup pabrik ­ pabrik penghasil emisi.

Kedua, ketidakadilan hadir dari lemahnya kemampuan negosiator dalam pertemuan tahunan Conference of the Parties (COP) yang menjadi ajang perundingan berbagai bentuk regulasi yang akan diadopsi dalam upaya penanggulangan perubahan iklim. Salah satu karakteristik Delegasi Republik Indonesia (Delri) dalam pertemuan COP identik dengan banyaknya anggota dari segi kuantitas, tetapi lemah dari segi kualitas. Pemahaman isu yang terbatas dan menjadikan ajang COP sebagai forum untuk bertransaksi secara internasional telah menjadi ciri khas yang tertambat dalam wajah Delri dalam beberapa pertemuan ke belakang.

Ketiga, ketidakadilan hadir dalam bentuk kebutuhan yang berbeda antara negara berkembang dan negara maju dalam menghadapi isu perubahan iklim. Tidak dapat dimungkiri, keberadaan negara­negara berkembang pada umumnya serta Indonesia pada khususnya mempunyai keterbatasan dari segi finansial. Hal itulah yang menjadi lumbung strategis bagi bantuan negara maju sebagai instrumen pengalihan tanggung jawab. Kehadiran REDD pun bahkan hingga kini masih menuai perdebatan bahwa instrumen ini tidak lebih dari transaksi antarkelas yang mengorbankan kepentingan negara berkembang yang sedang lapar demi masa depan negara maju untuk tetap melaju.

Peran Negosiator

Tidak dapat dimungkiri pula kehadiran negosiator yang tidak hanya mewakili negara atau sekelompok negara yang memiliki peran penting, tetapi juga mewakili kepentingan pihak masing-masing. Paling tidak terdapat tiga catatan penting dalam menghadapi perundingan internasional. Pertama, tak dapat disangkal bahwa kondisi politik ekonomi suatu negara memengaruhi arah kebijakan iklim yang akan ditempuh pada tataran nasional.

Beberapa fenomena yang terjadi, seperti penarikan diri Kanada dalam penyelenggaraan Conference of the Parties di Durban dari Protokol Kyoto dan keengganan Rusia untuk turut serta dalam periode komitmen kedua dari Protokol Kyoto, sangat dipengaruhi kondisi ekonomi internal yang ada pada tingkat nasional.

Selanjutnya, tingkat akseptabilitas sebuah negara terhadap peraturan tertentu turut memengaruhi arah negosiasi internasional. Negara­negara yang terbukti memberikan kontribusi besar dalam peningkatan konsentrasi gas rumah kaca, seperti Amerika Serikat, China, dan India, sering kali berkukuh dengan legal standing yang mereka miliki dalam beberapa proses negosiasi internasional. Sebaliknya, negara­negara dengan tingkat kerentanan tinggi, seperti negara­negara yang tergabung dalam AOSIS, berkukuh menginginkan kehadiran sebuah regulasi yang lebih berkeadilan.

Terakhir, karakteristik delegasi yang terlibat dalam sebuah proses negosiasi memiliki peran sebagai ujung tombak penerjemah arah kebijakan nasional pada tataran internasional. Kondisi kebijakan luar negeri suatu bangsa memang tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal seperti keberadaan pendapatan yang bersumber dari asing atau tingkat kerentanan yang tinggi, tetapi juga bergantung pada kekuatan di tataran internal seperti mutu para delegasi.

Posisi Indonesia Pasca-Protokol Kyoto

Salah satu diskursus yang berkembang dalam tataran pemikir masalah ekologis ialah untuk tidak membicarakan isu lingkungan hidup dengan dimensi jangka panjang kepada politikus yang kerap mempunyai kepentingan jangka pendek. Seiring dengan berakhirnya usia dari periode komitmen pertama Protokol Kyoto, masalah yang tertinggal yaitu apakah umur yang ada akan diperpanjang atau justru akan ada sebuah pendekatan baru di COP akhir tahun ini?

Indonesia harus dapat memainkan peran secara maksimal. Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia mempunyai tingkat kerentanan yang sangat tinggi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dituntut untuk menentukan umur komitmen unilateral yang telah ditancapkan Indonesia sebesar 26% tanpa bantuan asing dan 41% dengan bantuan asing.

Pergantian rezim sering kali menjadi salah satu penghambat perbaikan sistematis dan struktural dalam upaya penanggulangan perubahan iklim. Hal itu kemudian tidak menutup kemungkinan pascaProtokol Kyoto, negara­-negara berkembang akan semakin disudutkan untuk mendapatkan kewajiban lebih secara keseluruhan dalam rangka menurunkan emisi di tengah segala bentuk keterbatasan yang dialami. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar