Kamis, 13 Desember 2012

Kelenturan dalam Politik


Kelenturan dalam Politik
Tjahjo Kumolo ;  Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan
SUARA MERDEKA, 12 Desember 2012


POLITIK itu lentur. Kalau para pakar mengatakan politik berbicara soal seni kemungkinan, artinya apa pun mungkin terjadi, itu tidak salah. Tapi di balik kemungkinan, tentu ada yang pasti. Politik tak bisa tanpa kepastian. Bagaimanapun, politik berbicara soal hidup manusia; kehidupan banyak orang. Itulah kepastian dalam politik. Tanpa memedulikan kepentingan umum, politik tak bisa dikatakan demokratis.
Publik sudah lama mengonsumsi berita kasus Hambalang. Beberapa hari lalu ada kejutan seperti dijanjikan Ketua KPK Abraham Samad. Andi Alifian Mallarangeng mundur dari jabatannya sebagai Menpora, terkait perkembangan persoalannya di KPK.

Tulisan ini bukanlah kajian hukum sehingga saya tidak akan menyoroti kasus hukum itu. Lebih baik kita fokus pada sikap politik Andi. Kawan-kawan sudah mengeluarkan pujian atas keberaniannya mundur dari jabatan. Kita perlu menambahkan pujian mengingat sikap seperti itu tak banyak kita temukan di negeri ini. 
Di negara maju sikap seperti itu bukan hal yang luar biasa, sudah lazim tokoh politik melepaskan jabatan karena alasan yang serius, dan kemudian mendapat pujian dari masyarakat. Kita bisa melihat pada pengunduran diri Presiden Amerika Serikat Richard Nixon setelah Watergate terungkap pada 1969.

Contoh ini bukan menyamakan, melainkan untuk menunjukkan bahwa sikap Nixon menjadi sejarah setelah ia memaparkan alasan moral yang sangat kuat di balik kemundurannya. Waktu itu, ia mengatakan tak ingin kasus hukum Watergate menjadi beban orang lain karena itu dia ingin bertanggung jawab secara kesatria.

Terkait dengan pilihan Andi untuk mundur, apakah ada kaitan mendasar dengan kasus hukum yang dihadapi, atau taktik politik untuk menyelamatkan reputasi. Kita perlu memahami bahwa Andi adalah politikus karena itu kita harus membaca dari dari sudut pandang politik. 

Ibarat karet, politik itu lentur, bisa ditarik ke kiri dan ke kanan. Andi memperlihatkan kelenturan itu. Sudah lama para pengamat mendesak Andi untuk mundur, atau mendorong Presiden SBY agar memberhentikan Andi dari kabinet. Kritik itu datang dari mereka yang ingin ketransparanan proses hukum kasus yang dihadapi. Kenapa baru sekarang Andi berani mengambil sikap untuk mundur?

Kalau Anda sepakat, bahwa diskusi politik adalah diskusi kepentingan, marilah kita mengubah pertanyaan ini biar lebih masuk akal: untuk kepentingan siapa Andi berani mengundurkan diri? Alasan pertama tentu saja untuk kepentingan pribadi, demi kenyamanan diri, dalam menghadapi keseriusan kondisi hukum dan politik. Juga bukan sesuatu yang sulit dipahami bila pengunduran diri itu merupakan bagian dari perhitungan politik sekelompok orang politik. Memang begitulah politik bekerja dalam realitas sesungguhnya.

Etika Politik

Harapan publik, juga atas nama kepentingan rakyat, pengunduran Andi benar-benar menjadi pelajaran politik yang baik, tentang bagaimana etika politik berfungsi memangku kekuasaan. Tak boleh ada nuansa permainan politik yang begitu kental karena kalau itu yang terjadi, pengunduran diri tersebut tak lagi menjadi teladan dalam berpolitik secara etis. 
Ia hanya dilihat sebagai bagian dari taktik. Kondisi kita sudah terlalu rumit. Politik sudah di tapal akhir kekarutmarutan, perlu ada langkah penyelamatan. 

Etika politik selalu menjadi seruan para moralis politik untuk kembali menghidupkan demokrasi yang sudah kolaps, dan kembali menguatkan harapan masyarakat tentang negara bangsa yang demokratis seperti dicita-citakan para pendiri bangsa, antara lain Bung Karno.

"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak menjadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang bekerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita," itulah penggalan pidato Presiden Soekarno ketika menegaskan dengan penuh semangat bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa tempe, bangsa yang cengeng, mudah resah, mudah menyerah, dan berwatak lembek seperti tempe.

Berpolitik dengan beretika adalah salah satu syarat untuk tidak menjadi bangsa tempe. Kita harus kuat di dalam jiwa dan kuat secara fisik, berdiri sebagai bangsa besar yang berkehidupan demokrasi atas dasar ideologi yang juga kuat, dan politik bekerja dalam koridor etika.

Politik memang lentur. Kepentingan apa pun bisa bertabrakan dalam satu peristiwa. Kemunduran Andi bisa berlatarkan banyak kepentingan, namun mudah-mudahan keberanian  melepaskan posisi politiknya lebih mendasarkan pada kesadaran etika politik, bukan oleh kepentingan kekuasaan yang susah dimengerti oleh rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar