Selasa, 11 Desember 2012

KPK dan Budaya Korupsi


KPK dan Budaya Korupsi
Willy Hangguman ;  Pemerhati Masalah Sosial Budaya
REPUBLIKA, 08 Desember 2012


Kita prihatin korupsi masih juga terjadi di pusat dan daerah. Deretan berita media massa setiap hari tak pernah lepas dari isu korupsi, padahal sudah lama kita memerangi tindak korupsi. Kita pun punya Komisi Pemberantasan Korupsi yang amat populer dengan singkatan KPK dan aktif memberangus korupsi.

Korupsi di daerah-daerah tak kalah nyaringnya. Mulai dari penyimpangan APBD hingga kasus suap, terutama sejak kita memasuki era otonomi daerah.
Bagaimana mungkin meningkatkan daya saing daerah sesuai amanat Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kalau pejabat dan kepala daerah terlilit kasus korupsi?

Sistem yang korup akan membuat orang di dalamnya korup. Kalimat tersebut tepat untuk menggambarkan situasi otonomi daerah saat ini. Kejatuhan Orde Baru pada 1998 menciptakan euforia dalam desentralisasi. Spirit otonomi daerah memiliki tujuan baik, yakni untuk memberikan kesempatan kepada daerah memajukan perekonomiannya. Sayang, implementasi otonomi daerah tidak diikuti dengan kesiapan perangkat hukum dan mentalitas pejabat yang jadi pelakunya. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah korupsi yang melibatkan kepala daerah.

Pastinya itu terjadi akibat lemahnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. UU Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan sangat besar bagi kepala daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk memecat kepala daerah yang bermasalah karena fungsinya hanya sebatas fungsi normatif, yakni membina. Lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan tiadanya mekanisme untuk menyeimbangkan kekuasaan berbuntut pada lahirnya `raja-raja kecil' di daerah. 

Posisi kepala daerah dianggap sebagai jalan untuk mempertebal kekayaan pribadi. Pemilukada dijadikan tindakan spekulatif, mengeluarkan modal besar di awal agar bisa meraup untung besar nantinya. Hasilnya? Beberapa kursi kepala daerah justru diduduki oleh orang-orang yang tidak kompeten dan korup. Realitas ini terlihat dari besarnya jumlah kepala daerah bermasalah pada 2012.

Indonesia Corruption Watch (ICW) memublikasikan statistik bahwa terdapat 285 kasus korupsi yang terjadi di tingkat pusat dan daerah. Sekitar 597 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Dari jumlah tersebut, sektor pemerintah daerah memiliki jumlah kasus terbanyak, 177 kasus.
Hal ini dikuatkan dengan statistik yang dikeluarkan oleh KPK dan mendagri.

Pada periode 2004-2011, tercatat setidaknya 29 kepala daerah dan delapan gubernur yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Pada Mei 2012, mendagri memublikasikan bahwa 173 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Pada November 2012, tercatat 153 PNS bekas terpidana malah mendapat promosi jabatan eselon II di tingkat provinsi dan atau kabupaten/kota.

Kenyataan di lapangan menunjukkan, desentralisasi kekuasaan dan euforia demokrasi tidak serta-merta membuat sistem berjalan dengan baik. Bahkan, justru dimanfaatkan oleh para oportunis. Tiadanya sistem check and balance membuat posisi kepala daerah jadi strategis. Sistem saat ini perlu dirombak karena telah membudayakan korupsi. Hal ini semakin tampak saat melibatkan swasta. Pemusatan kekuasaan di lingkaran elite kepala daerah cenderung tergoda membuat sistem ekonomi yang tidak sehat di daerah. 

Tidak mudah untuk mengatasi hal ini, namun transformasi perlu dilakukan dari hal yang paling mendasar. Beberapa langkah yang harus segera dilakukan, pertama, menguatkan peran pemerintah pusat dengan merevisi UU tentang otonomi daerah. Peran gubernur perlu diperkuat agar dapat memecat pejabat daerah tingkat II yang bermasalah.

Kedua, meningkatkan peran dan fungsi pengawasan KPK di daerah. Realisasinya bisa seperti kampanye antikorupsi agresif, penerbitan indikator kepuasan publik, pelatihan pegawai negeri sipil, audit secara berkala, dan perlindungan terhadap whistle blower. Dalam hal ini, KPK harus memberikan jaminan bahwa pihak swasta tidak akan terkriminalisasi. Ada kekhawatiran segala bentuk transfer uang kepada pejabat yang diartikan sebagai penyuapan, padahal realitasnya tidak selalu demikian.

Ketiga, mengevaluasi hasil pemekaran daerah. Sistem otonomi daerah saat ini memicu celah untuk melakukan tindakan korupsi sehingga pemekaran lebih baik dihentikan sampai terdapat perangkat hukum yang tepat untuk memperkuat pengawasan pusat di daerah.

Untuk mencegah korupsi, pemerintah harus membatasi akarnya. Swasta tidak memiliki pilihan, kecuali sistem ini dirombak dan menutup segala celah korupsi. Penguatan peran KPK sebagai badan pengawas adalah keharusan. Korban sesungguhnya dari korupsi adalah penduduk daerah. Sangat disayangkan jika kesempatan untuk memajukan ekonomi terhambat karena masalah birokrasi dan ketakutan akan dikriminalisasi. Jika sistem sudah tertata dengan baik, tentu pelaku bisnis tidak akan ragu bermain dengan mengikuti peraturan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar