KPK dan Budaya
Korupsi
Willy Hangguman ; Pemerhati
Masalah Sosial Budaya
|
REPUBLIKA,
08 Desember 2012
Kita prihatin korupsi
masih juga terjadi di pusat dan daerah. Deretan berita media massa setiap
hari tak pernah lepas dari isu korupsi, padahal sudah lama kita memerangi
tindak korupsi. Kita pun punya Komisi Pemberantasan Korupsi yang amat
populer dengan singkatan KPK dan aktif memberangus korupsi.
Korupsi di
daerah-daerah tak kalah nyaringnya. Mulai dari penyimpangan APBD hingga kasus
suap, terutama sejak kita memasuki era otonomi daerah.
Bagaimana mungkin meningkatkan daya saing daerah sesuai amanat Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kalau pejabat dan kepala daerah terlilit kasus korupsi?
Sistem yang korup akan
membuat orang di dalamnya korup. Kalimat tersebut tepat untuk menggambarkan
situasi otonomi daerah saat ini. Kejatuhan Orde Baru pada 1998 menciptakan
euforia dalam desentralisasi. Spirit otonomi daerah memiliki tujuan baik,
yakni untuk memberikan kesempatan kepada daerah memajukan
perekonomiannya. Sayang, implementasi otonomi daerah tidak diikuti
dengan kesiapan perangkat hukum dan mentalitas pejabat yang jadi pelakunya.
Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah korupsi yang melibatkan kepala
daerah.
Pastinya itu terjadi
akibat lemahnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. UU
Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan sangat besar bagi kepala daerah.
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk
memecat kepala daerah yang bermasalah karena fungsinya hanya sebatas fungsi
normatif, yakni membina. Lemahnya pengawasan pemerintah pusat dan tiadanya
mekanisme untuk menyeimbangkan kekuasaan berbuntut pada lahirnya `raja-raja
kecil' di daerah.
Posisi kepala daerah
dianggap sebagai jalan untuk mempertebal kekayaan pribadi. Pemilukada
dijadikan tindakan spekulatif, mengeluarkan modal besar di awal agar bisa
meraup untung besar nantinya. Hasilnya? Beberapa kursi kepala daerah justru
diduduki oleh orang-orang yang tidak kompeten dan korup. Realitas ini
terlihat dari besarnya jumlah kepala daerah bermasalah pada 2012.
Indonesia Corruption
Watch (ICW) memublikasikan statistik bahwa terdapat 285 kasus korupsi
yang terjadi di tingkat pusat dan daerah. Sekitar 597 orang ditetapkan
sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Dari jumlah tersebut, sektor
pemerintah daerah memiliki jumlah kasus terbanyak, 177 kasus.
Hal ini dikuatkan dengan statistik yang dikeluarkan oleh KPK dan mendagri.
Pada periode
2004-2011, tercatat setidaknya 29 kepala daerah dan delapan gubernur yang
terkait dengan tindak pidana korupsi. Pada Mei 2012, mendagri memublikasikan
bahwa 173 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Pada November 2012, tercatat
153 PNS bekas terpidana malah mendapat promosi jabatan eselon II di tingkat
provinsi dan atau kabupaten/kota.
Kenyataan di lapangan
menunjukkan, desentralisasi kekuasaan dan euforia demokrasi tidak serta-merta
membuat sistem berjalan dengan baik. Bahkan, justru dimanfaatkan oleh para
oportunis. Tiadanya sistem check
and balance membuat posisi kepala daerah jadi strategis. Sistem saat ini
perlu dirombak karena telah membudayakan korupsi. Hal ini semakin tampak saat
melibatkan swasta. Pemusatan kekuasaan di lingkaran elite kepala daerah
cenderung tergoda membuat sistem ekonomi yang tidak sehat di daerah.
Tidak mudah untuk
mengatasi hal ini, namun transformasi perlu dilakukan dari hal yang paling
mendasar. Beberapa langkah yang harus segera dilakukan, pertama, menguatkan
peran pemerintah pusat dengan merevisi UU tentang otonomi daerah. Peran
gubernur perlu diperkuat agar dapat memecat pejabat daerah tingkat II yang
bermasalah.
Kedua, meningkatkan
peran dan fungsi pengawasan KPK di daerah. Realisasinya bisa seperti kampanye
antikorupsi agresif, penerbitan indikator kepuasan publik, pelatihan pegawai
negeri sipil, audit secara berkala, dan perlindungan terhadap whistle blower. Dalam hal ini, KPK
harus memberikan jaminan bahwa pihak swasta tidak akan terkriminalisasi. Ada
kekhawatiran segala bentuk transfer uang kepada pejabat yang diartikan
sebagai penyuapan, padahal realitasnya tidak selalu demikian.
Ketiga, mengevaluasi
hasil pemekaran daerah. Sistem otonomi daerah saat ini memicu celah untuk
melakukan tindakan korupsi sehingga pemekaran lebih baik dihentikan sampai
terdapat perangkat hukum yang tepat untuk memperkuat pengawasan pusat di
daerah.
Untuk mencegah
korupsi, pemerintah harus membatasi akarnya. Swasta tidak memiliki pilihan,
kecuali sistem ini dirombak dan menutup segala celah korupsi. Penguatan peran
KPK sebagai badan pengawas adalah keharusan. Korban sesungguhnya dari korupsi
adalah penduduk daerah. Sangat disayangkan jika kesempatan untuk memajukan
ekonomi terhambat karena masalah birokrasi dan ketakutan akan
dikriminalisasi. Jika sistem sudah tertata dengan baik, tentu pelaku bisnis
tidak akan ragu bermain dengan mengikuti peraturan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar