Membangkitkan
Industri Dirgantara
Hari Tjahjono-Cornelis Radjawane-Suhanto
; Praktisi Dunia Penerbangan
|
REPUBLIKA,
01 Desember 2012
Maskapai
asing saat ini terus berlomba untuk masuk ke rute-rute penerbangan di
Indonesia. Tiap akhir pekan, bandar udara di berbagai kota akan berubah
seperti terminal bus akibat lonjakan penumpang di setiap rute. Bahkan di
Bandara Internasional Soekarno-Hatta, beberapa maskapai sudah kesulitan
mendapatkan izin untuk menginapkan pesawatnya.
Dalam
alat angkutnya, penetrasi beberapa manufaktur pesawat dunia, seperti Embraer
(Brasil), Bombardier (Kanada), ATR (kerja sama Prancis dan Italia), hingga
Sukhoi (Rusia) sangat gencar untuk menjual produknya di Indonesia, mencoba
mencari celah pasar pesawat jet penumpang kecil yang tak diisi oleh the big two: Airbus dan Boeing. Dengan
kondisi ini, Indonesia sudah jaya di lapangan komunikasi udara.
Namun,
jelas bukan seperti diimpikan Bung Karno. Pesan Bung Karno sangat gamblang
bahwa bangsa Indonesia harus menguasai teknologi membuat kapal laut dan
pesawat terbang, bukan memborong pesawat terbang buatan asing.
Untuk mencapainya, Bung Karno tak hanya beretorika. Awal 1950-an, Indonesia mengirimkan beberapa pelajar terbaiknya-termasuk di antaranya Oetarjo Diran dan BJ Habibie-untuk belajar teknologi pesawat ke luar negeri. Pada 1958, para pelajar itu sudah mulai kembali ke Indonesia dan mulailah era pengembangan teknologi dirgantara. Akhir 1962, Oetarjo Diran dan Ken Liem Laheru (Liem Keng Kie) mendirikan Jurusan Penerbangan di Institut Teknologi Bandung (ITB) memulai era pendidikan tinggi dalam bidang teknologi dirgantara di Indonesia. Berbekal sumber daya manusia baru yang diasah lewat pendidikan teknik penerbangan, pada 1976 didirikanlah industri strategis pembuat pesawat terbang bernama IPTN yang terus mengembangkan teknologi. Dimulai dari perakitan akhir, lisensi pesawat dan helikopter, sampai produksi bersama pesawat CN-235 dengan CASA Spanyol.
Puncaknya
adalah pembuatan pesawat N-250 yang mengadopsi fly by wire, teknologi kendali terbang yang masih asing pada era
1990-an. Pesawat N-250 sukses menjalani terbang perdana pada 10 Agustus 1995
di Bandung. Sukses ini tentu tak bisa dilepaskan dari peran pendidikan tinggi
teknik penerbangan di Indonesia yang saat itu hampir semua lulusannya tersedot
dalam proyek pembuatan pesawat tersebut.
Kesuksesan
terbang N-250 segera disusul dengan langkah berikutnya, men- desain pesawat
penumpang jet N-2130. Sayangnya, kejayaan tersebut berumur pendek ketika
krisis ekonomi menerpa tahun 1998 yang membuat pemerintah harus mengakhiri
dukungan politik mau pun finansial kepada pengembang industri pesawat
terbang. Akibatnya, IPTN yang kini bernama PT Dirgantara Indonesia seakan
mati suri.
Meraih Lagi Kejayaan
Pertanyaan
lain yang selalu muncul di benak penulis: mungkinkah masa kejayaan di
industri kedirgantaraan di Tanah Air bisa terulang lagi. Apakah semua
stakeholder, regulator, pengelola bandara, manufaktur, maskapai, perusahaan
perawatan pesawat, hingga ke institusi pendidikan tinggi, sudahkah punya roadmap menuju ke sana?
Menurut
penulis, ada empat tahapan yang perlu dilalui untuk mencapai kejayaan kembali
itu. Pertama, sinergi. Ini merupakan fase yang sangat penting. Semua stakeholder dalam industri kedirgantaraan
harus bergerak ke arah yang sama untuk kepentingan sebagai bangsa, bukan
sekadar kepentingan kelompok.
Contoh nyata dalam sinergi yang dimaksud adalah penambahan jumlah pesawat yang dioperasikan oleh sebuah maskapai operator dengan penambahan kapasitas bandara yang harus disediakan.
Tahap
kedua, integrasi. Perlu adanya program yang terintegrasi dari semua stakeholder. Persepsi terhadap sebuah
permasalahan bersama janganlah diselesaikan dari satu sudut pandang. Perbedaan
yang ada janganlah dijadikan alat saling membunuh, tetapi harus dimanfaatkan
untuk saling melengkapi untuk kemajuan bersama.
Ketiga
adalah kemandirian. Indonesia mempunyai potensi sumber daya manusia sangat
besar. Kekuatan ini harus bisa dikeluarkan untuk membangun sebuah kemandirian
bangsa. Sebelum menggunakan produk/jasa luar negeri, pertanyakan dulu apakah
memang Indonesia belum/tidak mampu. Sayang sekali apabila potensi yang sangat
besar ini harus terasingkan di negeri sendiri.
Lalu,
babak final dalam pencapaian sebuah kejayaan kembali di industri
kedirgantaraan adalah hadirnya sebuah kekuatan bangsa. Kekuatan bangsa akan
lahir dengan mudah apabila tiga tahapan sebelumnya sudah terlampaui. Bangsa
yang hebat lahir dari adanya pendidikan yang kuat. Industri dirgantara dengan
pola kerja sama yang semakin kompleks dan selalu berubah harus disikapi
dengan bijak oleh institusi pendidikan.
Program
link and match antara pendidikan
tinggi dan industri harus berlangsung dalam sebuah kesinambungan. Selama
pendidikan masih menjadi sebuah menara gading yang tak ter sentuh, perubahan
untuk perbaikan hanya akan menghasilkan kenihilan.
Dengan
pendidikan yang inovatif, industri dirgantara yang sedang mati suri bukan tak
mungkin akan bangun kembali, bahkan bisa menghadirkan Habibie-Habibie muda
untuk Indonesia yang lebih kuat, seperti cita-cita Bung Karno. Akhir kata: Dirgahayu 50 tahun Teknik Penerbangan ITB!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar