Kamis, 13 Desember 2012

Protokol


Protokol
Dinna Wisnu ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
SINDO, 12 Desember 2012


Pada suatu kesempatan saya bertemu sejumlah senior dari Kementerian Luar Negeri RI. Rata-rata dari mereka pernah menjabat posisi-posisi penting di kantor-kantor perwakilan Indonesia di luar negeri, termasuk di antaranya sebagai duta besar. 

Diskusi mengalir dan sampai pada momen berbagi pengalaman tentang manis dan pahitnya membangun kerja sama dengan negara-negara mitra. Contoh kecilnya soal protokol terkait kunjungan resmi kenegaraan. Pada September 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut Perdana Menteri Thailand yang baru Yingluck Shinawatra. Upacara penyambutannya sangat lengkap, bahkan dengan dentuman meriam, upacara mengecek barisan, serta siaran pers bersama.

Media mengutip acara ini sebagai kunjungan kenegaraan. Para diplomat senior di Indonesia rupanya pening mendengar ini semua. Saat diskusi muncul kritik bahwa upacara tersebut tidak tepat. Dalam tata protokol diplomasi di seluruh dunia, suatu kunjungan oleh pejabat tinggi negara tidak bisa disamakan dengan kunjungan kenegaraan. Istilah kunjungan kenegaraan hanya bisa disematkan pada kunjungan resmi oleh kepala negara, jadi tidak bisa di level perdana menteri. 

Dalam kunjungan kenegaraan ada tahapan-tahapan protokol lengkap yang harus dilalui, mulai dari penyambutan di bandara, sambutan resmi dan upacara bendera di Istana Negara, dentuman meriam, peletakan karangan bunga di taman makam pahlawan, serta kunjungan-kunjungan resmi dan makan malam. Artinya bahwa kunjungan kenegaraan tidak bisa beberapa jam saja, apalagi disambung dengan kunjungan ke negara lain. Padahal persis itulah yang dilakukan Perdana Menteri Yingluck waktu itu. 

Selain itu, jumlah penyambut dari Indonesia juga harus disesuaikan dengan jumlah tamu. Jika jumlah penyambut dari Indonesia jauh lebih banyak dari jumlah tamu, apalagi level senioritasnya setingkat menteri dan menteri koordinator, pesan diplomatik yang tertangkap akan keliru.Kekeliruan ini dilakukan oleh Indonesia. Dari Indonesia ada deretan menteri senior,sedangkan dari Thailand hanya tiga orang termasuk Perdana Menteri Yingluck. Singkat kata, mata saya lebih terbuka akan aspek-aspek sensitif dalam dunia diplomasi. 

Protokol merupakan kesepakatan internasional yang wajib dijalankan semua pihak yang melakukan kerja sama internasional sebagai wakil resmi negara. Protokol adalah sebuah seni. Protokol meracik aspek-aspek politik, etika, tradisi, budaya, game theory,kepentingan, dan yang tidak kurang adalah rasa dan kepekaan. Secara filosofis, protokol mengirim pesan hormat kepada tamu, bahkan sampai ke ranah upaya persuasi agar dialog antarnegara semakin baik dan agar hubungan antarnegara semakin mesra. 

Dengan demikian, kepala negara tersebut umumnya akan memilih waktu kunjung yang tepat misalnya bertepatan dengan perayaan sekian tahun hubungan diplomatik, atau karena kondisi di kawasan tertentu memburuk sehingga diperlukan “angin segar”, atau ada harapan akan kerja sama yang lebih baik karena situasi internasional yang lebih kondusif antardua negara.Tak heran jika kemudian dalam kunjungan kenegaraan kepala negara tidak hanya saling bersalaman atau berfoto bersama dengan latar belakang bendera, tetapi mereka juga berpidato yang inspiratif, mengutip sejarah kerja sama,atau menunjukkan kepekaan akan tradisi dan adat istiadat setempat. 

Artinya bahwa protokol tadi boleh juga disesuaikan dengan adat setempat.Misalnya terkait pengalaman diplomat yang pernah ditempatkan di Timur Tengah dan Amerika Selatan. Di sana jamuan makan malam menjadi acara rutin dan serius yang perlu dihadiri. Namun, makan malam dilakukan sebagai puncak dan penutup acara. Artinya masakan baru keluar sangat larut malam, bahkan dini hari dan dengan menu yang di luar kebiasaan orang Indonesia.

Tetapi,prinsip dasar jamuan makan dan penghargaan terhadap delegasi Indonesia tetap dijunjung sehingga mau tidak mau Indonesia perlu menyesuaikan diri. Walaupun tentu bisa dibayangkan bahwa secara manusiawi sulit juga berpikir tajam di jam kerja yang tidak normal. Di Tanah Air generasi muda diplomat kita justru luput menghargai esensi dasar dari protokol diplomasi.Keluputan yang paling penting mungkin adalah rasa dan kepekaan. Salah satu faktor penyebabnya mungkin karena urusan luar negeri sekarang tidak lagi dianggapsemataranahwewenang Kementerian Luar Negeri. 

Berbagai kementerian sibuk dengan agenda masing-masing dan mengontak langsung perwakilan negara lain. Ketika mereka ingin agendanya “gol”, mereka langsung saja melaju ke Istana Negara. Istana Negara pun memilih jalur cepat. Segala urusan dengan pihak asing dianggap perlu diurus Presiden.Menteri Luar Negeri dan stafnya kerap hanya gigit jari.Padahal kita lihat sendiri tadi,jangankan soal keselarasan sejarah kerja sama dengan negara-negara itu, dari segi protokolnya saja keliru. 

Perlu dipahami bahwa diplomasi adalah wujud terbaik dari hubungan internasional. Pengembangan hubungan baik tersebut paling efektif dikembangkan melalui diplomasi bilateral (diplomasi antardua negara). Diplomasi bilateral yang buruk berisiko tinggi mendatangkan perang misalnya pengalaman kegagalan diplomasi sejumlah negara pada 1913 dan 1944 yang berujung pada Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua. 

Karena itu,pada sisi yang ekstrem, Mahbubani dalam Asia the New Hemispheremengatakan bahwa diplomasi seharusnya tidak perlu approval atau disapproval karena tujuan dari diplomasi adalah membangun hubungan untuk perdamaian antarsemua pihak.Bila tidak ada diplomasi, tidak akan ada perdamaian. Itu sebabnya diplomasi bilateral menjadi roh dari banyak macam interaksi antarnegara. Komunikasi, kerja sama, bahkan ketegangan antarnegara terbukti perlu untuk selalu dibawa pada diplomasi dua negara. 

Karena hubungan antarnegara tidak luput dari kesalahpahaman, kepatuhan terhadap aturan protokol menjadi perlu. Tetapi, sebenarnya ada hal penting lain yang perlu kita pahami terkait protokol diplomasi bilateral tadi. Diplomasi selalu melibatkan negosiasi dan dalam negosiasi pasti terjadi tawar-menawar.Artinya bahwa tiap kontak yang terjadi antarpihak yang sedang bernegosiasi akan menjadi bagian dari upaya mencari hasil negosiasi yang optimal.Sekali kita keliru memberi “sinyal”, rumitlah upaya kita untuk mengambil hasil terbaik. 

Pihak yang perlu kita hargai dan kita pertajam terus kemampuannya dalam bidang mencari titik optimal hasil negosiasi dari hubungan berbagai negara tak lain adalah Kementerian Luar Negeri RI. Struktur internal di Kementerian Luar Negeri cukup membingungkan.Dulu mereka punya Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri dan Direktorat Jenderal Hubungan Politik Luar Negeri sehingga relatif jelas siapa yang harus dihubungi oleh kementerian lain,pemerintah daerah, dan media jika mereka butuh acuan atau arahan. 

Sekarang direktorat di Kementerian Luar Negeri berdasarkan kawasan, padahal dalam tiap kawasan pasti ada urusan politik dan ekonomi.Selain itu, rotasi pejabat di Kementerian Luar Negeri juga relatif cepat yakni 3-4 tahun.Alih-alih mendekatkan diri pada Kementerian Luar Negeri,masing-masing kementerian mencari cara lain untuk mengembangkan kerja sama dengan asing.Akibatnya terjadi ketimpangan di sanasini. Apa pun yang terjadi,Kementerian Luar Negeri tetap perlu menjadi penanggung jawab segala bentuk kerja sama dengan pihak asing. 

Untuk itu, mari kita benahi penerapan ihwal sederhana yang sebenarnya prinsip penting dalam menjaga relasi kita dengan negara-negara lain. Penyesuaian terhadap aturan protokol boleh dilakukan selama hal itu tidak menyebabkan salah persepsi dan membantu daya tawar kita dalam memperjuangkan kepentingan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar