“Kiamat” Mapel
Bahasa Jawa
Eko Wahyudi ; Guru Bahasa Jawa SMP 1 Kecamatan
Karangsambung, Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa Kabupaten
Kebumen
|
SUARA
MERDEKA, 18 Desember 2012
Dalam waktu sebulan terakhir ini guru
Bahasa Jawa di Jateng meninggi intensitasnya dalam berkomunikasi, baik
melalui pesan singkat, telepon, maupun jejaring sosial di internet. Mereka
resah oleh informasi tidak dicantumkannya mata pelajaran Bahasa Jawa dalam
draf perubahan kurikulum 2013. Ada sinyalemen mereka bakal kehilangan
kesempatan mengajar atau harus alih tugas mengampu mata pelajaran lain.
Memang, belum ada titik
final ketidakpastian Bahasa Jawa pasti berakhir pada tahun pelajaran baru
2013, dan kondisi itu justru mengeskalasi keresahan. Mengingat urgensi
pembelajaran Bahasa Jawa adalah sebagai salah satu cara melestarikan,
sewajarnya Kemendikbud meninjau ulang draf perubahan kurikulum tersebut.
Setidak-tidaknya
mempertimbangkan kembali risiko yang bakal terjadi. Seperti pada regulasi
yang mewajibkan guru mengajar 24 jam per minggu belum lama ini, banyak guru
harus beralih ke mata pelajaran lain. Jika demikian status profesional akan
makin dipertanyakan.
Jika draf kurikulum itu
benar-benar menghapus Bahasa Jawa (muatan lokal), itu sama saja artinya
dengan ''kiamat'' Bahasa Jawa. Kemendikbud seolah-olah tidak memberikan
kesempatan hidup dan perkembangan bahasa itu melalui jalur pendidikan.
Ironisnya, dalam draf
perubahan ada mata pelajaran baru (Prakarya) dengan alokasi waktu 4 jam per
minggu. Hal itu dimungkinkan untuk menampung (kelompok) muatan lokal,
termasuk Bahasa Jawa.
Padahal, permasalahan, dan
tantangan tiap sekolah berbeda-beda. Pada konsep KTSP guru dan sekolah
mendapat kebebasan mengelola kurikulum pengembangan dari standar isi. Dalam
pengembangan tersebut masih dibatasi adanya muatan lokal yang wajib
dilaksanakan.
Di Jawa Tengah, Bahasa
Jawa merupakan muatan lokal wajib yang harus dilaksanakan oleh tiap satuan
pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah. Haruskan kebijakan yang sudah
baik itu dihapuskan? Atau Bahasa Jawa melebur dalam mapel Prakarya, atau
gabungan dari beberapa muatan lokal yang menjadi satu?
Ada
Keberpihakan
Jika demikian maka akan
ada lebih dari 1 guru Prakarya. Hal ini masih menyisakan masalah berupa
jumlah jam mengajar guru, proses penilaian, dan target pencapaian kurikulum.
Kemendikbud tinggal memiliki waktu satu semester untuk melakukan peninjauan
ulang draf tersebut, terkecuali kurikulum 2013 diberlakukan pada waktu lain.
Dalam waktu itu pula
semestinya disegerakan koordinasi antara pemerintah pusat dan provinsi untuk
mengambil kata mufakat atas permasalahan tersebut. Tidak bisa dimungkiri,
dalam pelajaran itu siswa mendapat materi unggah-ungguh untuk menunjukkan
status strata sosial kemasyarakatan dalam berkomunikasi.
Dengan unggah-ungguh itu
antarpenutur saling menjaga kenyamanan hati agar tidak terjadi
ketersinggungan. Melalui unggah-ungguh itu siswa mengenal budi pekerti,
empati, dan pengendalian diri dari berucap dan bersikap yang tidak baik.
Nilai-nilai itu kini boleh dikatakan menipis karena berbagai faktor.
Pemprov Jateng beberapa
waktu lalu juga telah melakukan upaya hukum melalui Perda Nomor 17 Tahun 2012
tentang Penyelamatan dan Pelestarian Bahasa, Budaya, dan Aksara Jawa. Selain
itu, keputusan Gubernur mengenai kurikulum Bahasa Jawa juga telah diselaraskan
dari keputusan Gubernur tahun 2005, menjadi 2010.
Bahkan dalam sebulan
terakhir, Dinas Pendidikan Provinsi Jateng telah merumuskan
rekomendasi atas
evaluasi dan rancangan kurikulum Bahasa Jawa 2013. Ada dua pertanyaan
dari peristiwa ini, pertama; benarkah Bahasa Jawa tidak akan diajarkan lagi,
lalu untuk apa merencanakaan revisi kurikulum baru?
Kedua; Pemprov akan dan
telah me-nempuh langkah apa guna menanggapi regulasi kurikulum nasional?
Penulis yakin masih ada keberpihakan dari berbagai lembaga ataupun elemen
masyarakat untuk ikut mempertahankan mata pelajaran Bahasa Jawa di sekolah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar