Rabu, 19 Desember 2012

Ketahanan Pasokan Energi Nasional


Ketahanan Pasokan Energi Nasional
Fathor Rahman ;  Pengamat Masalah Energi
MEDIA INDONESIA, 18 Desember 2012


PEMBUBARAN Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang serta-merta sangat mengejutkan industri migas dan berbagai kalangan. Sejak pembubaran mereka, fungsi dan tugas pengawasan dan pengendalian kegiatan hulu migas menjadi vakum. Hal itu tentu saja akan mengancam kontinuitas produksi migas yang saat ini sekitar 2,5 juta setara barel per hari. Jumlah itu memberikan kontribusi lebih dari Rp300 triliun kepada penerimaan negara.

Pemerintah bertindak cepat dengan menerbitkan Perpres No 95 Tahun 2012, yang ditindaklanjuti dengan Kepmen No 3135K/08/MEM/2012, yang berbuntut pada pendirian SK Migas (Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas) yang bekerja untuk sementara menggantikan fungsi dan tugas BP Migas. Dengan kesigapan pemerintah tersebut, dalam jangka pendek, pembubaran BP Migas tampaknya tidak memberikan dampak signifikan terhadap terganggunya produksi minyak dan gas nasional.

Namun dalam jangka menengah dan panjang, implikasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 36/PUU-X/2012 tersebut perlu dilihat secara objektif mengingat keputusan itu membawa implikasi ketidakpastian dalam melakukan bisnis kegiatan hulu migas di Indonesia. Pembentukan SK Migas, yang mengandung kata `sementara' di dalamnya, tidak dapat mengobati munculnya ketidakpastian baru dalam bisnis hulu migas tersebut. Salah satu tuduhan pemohon yang menghantarkan sudden death untuk BP Migas ialah pelabelan bahwa BP Migas proasing, walaupun kalau dilihat secara objektif banyak logika yang tidak nyambung. Secara ekstrem, opini negatif sengaja dibentuk bahwa bekerja sama dengan investor asing ialah menggadaikan kedaulatan negara. Padahal, khusus untuk sektor hulu migas yang sarat modal, teknologi, dan berisiko tinggi, pemerintah mendapat bagian net-revenue sekitar 85% dan investor hanya mendapat 15% untuk minyak.

Di samping investor nasional, pemerintah perlu mengundang investor migas asing untuk menjadi `tukang cangkul' pengembangan industri migas Indonesia karena mereka punya kekuatan finansial dan teknologi yang kuat serta keleluasaan untuk membagi risiko di antara portofolio investasi mereka yang tersebar di seluruh dunia. 

Di sisi lain, peningkatan produksi migas di Indonesia sudah bergerak ke wilayah yang sulit sehingga risikonya meningkat baik secara teknis maupun secara komersial, jauh di atas ladang-ladang migas di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Australia.

Kebijakan itulah yang diambil pemerintah untuk mengembangkan lapangan-lapangan migas guna memasok pasokan energi domestik sekaligus sebagai sumber penerimaan negara. BP Migas hanya berfungsi sebagai mandor untuk mengawasi dan mengendalikan kontrak kerja sama berdasarkan kebijakan pemerintah. Kalau kebijakan tersebut proasing, seharusnya kebijakannya yang disempurnakan tanpa harus menggusur `mandornya'.

Berdampak Produksi

Walaupun di tahun-tahun terakhir ini perekonomian nasional membukukan pertumbuhan yang relatif tinggi di atas 6% per tahun, pada masa mendatang perekonomian nasional akan mengalami tantangan besar, seperti munculnya gejala defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan, masalah perburuhan, minimnya infrastruktur (termasuk infrastruktur di sektor energi), dan tingginya biaya birokrasi perizinan.

Tahun 2012 ialah tahun pertama Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan di sektor minyak dan gas karena nilai ekspor gas lebih rendah daripada impor minyak bumi dan BBM. Angka defisit itu tampaknya akan semakin membengkak pada tahun-tahun mendatang karena volume impor minyak dan BBM akan semakin meningkat. Mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama Indonesia harus juga mengimpor gas/LNG un mengimpor gas/LNG untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Tanpa hiruk-pikuk pembubaran BP Migas, Indonesia sedang mengalami tantangan berat dalam pengadaan pasokan minyak dan gas untuk menjaga ketahanan energi nasional sekaligus menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Bila dilihat dari temuan cadangan baru minyak bumi dalam 20 tahun terakhir, sulit untuk mengerem laju penurunan produksi minyak. Dengan prediksi produksi minyak sebesar 860 ribu barel per hari pada 2013 dapat diperkirakan, produksi minyak Indonesia kecil kemungkinan untuk kembali ke level 1 juta barel per hari pada 2014, walaupun Blok Cepu beroperasi maksimal pada tahun tersebut.

Percepatan pengurasan sumur minyak existing melalui metode oil enhanced recovery masih memerlukan kajian dan perencanaan yang rinci dan memakan waktu. Jika dikombinasikan dengan upaya pengaktifan kembali sumur sumur tua ladang minyak, kombinasi usaha tersebut hanya akan memberikan perlambatan laju penurunan produksi.

Beban Tambahan

Dengan melihat rencana pengembangan lapangan ke depan, Wood Mackenzie bahkan memperkirakan produksi minyak Indonesia akan jatuh ke level 400 ribu barel per hari pada 2020. Investor migas asing yang khawatir terhadap jaminan kekuatan hukum pascabubarnya BP Migas akan menambah runyam ritme investasi bisnis hulu migas khususnya kegiatan eksplorasi. Keprihatinan juga melanda pasokan gas untuk keperluan domestik. Walaupun mendiang BP Migas selama hidupnya sudah berusaha maksimal, mengalokasikan sebesar 20 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/TCF), setara dengan 3,4 miliar barel minyak, dalam kontrak jual beli gas domestik ternyata alokasi tersebut belum memadai.

Sejak kenaikan harga minyak yang menjulang (mencapai US$140 per barel) pada 2008, Indonesia mengalami ledakan permintaan ledakan permintaan gas, konsumen BBM berbondong bondong ingin beralih ke gas dalam waktu yang singkat. Di sisi lain, pengembangan lapang an gas memerlukan waktu 7­10 tahun sehingga terjadilah defisit pasokan gas di beberapa wilayah di Indonesia. Saat ini shortage pasokan gas untuk domestik diperkirakan sekitar 1.500 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau setara dengan 255 ribu barel setara minyak per hari, dan sejalan dengan laju permintaan gas yang didorong pertumbuhan ekonomi serta menurunnya pasokan gas existing

Maka, gap antara suplai dan permintaan gas akan semakin melebar, mengancam pertumbuhan sektor industri dan kesinambungan pasokan energi primer untuk pembangkitan listrik.

Dari gambaran Neraca Gas Nasional yang dibuat Ditjen Migas, gap antara permintaan dan suplai gas dari lapangan existing akan melebar ke level 3.500 mmscfd pada 2015 dan bertambah lebar lagi menjadi 4.200 mmscfd (sama dengan 700 ribu barel setara minyak per hari) pada 2020.

Sebelum bubarnya BP Migas, Indonesia optimistis dapat memacu produksi gas nasional melalui beberapa proyek pengembangan gas yang sangat ambisius, seperti Proyek Masela, Proyek Gas Laut Dalam di Selat Makasar, Tangguh Train-3, Proyek CBM, dan Proyek Natuna Timur, yang diperkirakan on-stream secara bertahap mulai 2015.

Di luar Proyek Natuna, proyek-proyek pengembangan lapangan gas tersebut diharapkan memberikan tambah an pasokan gas yang memadai untuk memenuhi ekspektasi pertumbuhan permintaan domestik dan mengompensasi penurunan gas existing, dengan ekspektasi tambahan produksi sekitar 1.100 mmscfd pada 2015 dan meningkat menjadi 3.400 mmcfd (sama dengan 590 ribu barel setara minyak per hari) pada 2020.

Namun, seiring dengan kekhawatiran investor migas asing terhadap jaminan kepastian hukum di Indonesia, apakah proyek-proyek gas yang ambisius tersebut dapat diim plementasikan tepat waktu sesuai dengan rencana semula?
Proyek-proyek gas besar tersebut merupakan proyek pengembangan gas yang sarat risiko baik teknis maupun ekonomis, dengan rentang biaya investasi di kisaran US$8 miliar­US$12 miliar per proyek. Tidak berlebihan jika investor migas asing perlu memperoleh jaminan kepastian hukum atas investasi yang akan mereka tanamkan di Indonesia.

Apalagi dalam pembubaran BP Migas pemohon juga memberikan nuansa sentimen antiinvestor asing. Jika proyekproyek tersebut tertunda satu tahun saja, karena investor harus mempertimbangkan risiko jaminan kepastian hukum, konsumen gas Indonesia akan menambah ongkos pengeluaran energinya sekitar US$12,5 miliar pada periode 2016-2020. Sebab, mereka harus menggunakan BBM dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga gas.

Penundaan proyek-proyek tersebut juga akan menaikkan volume impor BBM secara signifikan sehingga bakal lebih membebani ekonomi makro Indonesia, khususnya dalam mengendalikan defisit neraca perdagangan.

Beban pemerintah atas pembubaran BP Migas tidak berakhir dengan pembentukan SK Migas. Pemerintah bersamasama DPR perlu secepatnya merevisi UU Migas, membentuk badan permanen pengelola bisnis hulu migas, guna mengembalikan `trust' yang memudar dari para investor migas sekaligus menyempurnakan bagian-bagian yang kurang sempurna dari perjalanan masa lalu. Sebenarnya penyempurnaan UU Migas Tahun 2001 bukanlah masalah yang sulit, tetapi dalam prosesnya sudah telanjur menjadi rumit setelah pembubaran BP Migas. Hiruk-pikuk tersebut berimplikasi terhadap kepastian hukum dalam menjalankan bisnis hulu migas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar