Ketahanan
Pasokan Energi Nasional
Fathor Rahman ; Pengamat Masalah Energi
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Desember 2012
PEMBUBARAN Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (BP Migas) yang serta-merta sangat mengejutkan industri migas dan
berbagai kalangan. Sejak pembubaran mereka, fungsi dan tugas pengawasan dan
pengendalian kegiatan hulu migas menjadi vakum. Hal itu tentu saja akan
mengancam kontinuitas produksi migas yang saat ini sekitar 2,5 juta setara barel
per hari. Jumlah itu memberikan kontribusi lebih dari Rp300 triliun kepada
penerimaan negara.
Pemerintah bertindak cepat dengan menerbitkan Perpres No
95 Tahun 2012, yang ditindaklanjuti dengan Kepmen No 3135K/08/MEM/2012, yang
berbuntut pada pendirian SK Migas (Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Migas) yang bekerja untuk sementara menggantikan fungsi dan tugas
BP Migas. Dengan kesigapan pemerintah tersebut, dalam jangka pendek,
pembubaran BP Migas tampaknya tidak memberikan dampak signifikan terhadap
terganggunya produksi minyak dan gas nasional.
Namun dalam jangka menengah dan panjang, implikasi
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 36/PUU-X/2012 tersebut perlu dilihat
secara objektif mengingat keputusan itu membawa implikasi ketidakpastian
dalam melakukan bisnis kegiatan hulu migas di Indonesia. Pembentukan SK
Migas, yang mengandung kata `sementara' di dalamnya, tidak dapat mengobati
munculnya ketidakpastian baru dalam bisnis hulu migas tersebut. Salah satu
tuduhan pemohon yang menghantarkan sudden death untuk BP Migas ialah
pelabelan bahwa BP Migas proasing, walaupun kalau dilihat secara objektif
banyak logika yang tidak nyambung. Secara ekstrem, opini negatif sengaja
dibentuk bahwa bekerja sama dengan investor asing ialah menggadaikan
kedaulatan negara. Padahal, khusus untuk sektor hulu migas yang sarat modal,
teknologi, dan berisiko tinggi, pemerintah mendapat bagian net-revenue sekitar 85% dan investor
hanya mendapat 15% untuk minyak.
Di samping investor nasional, pemerintah perlu mengundang
investor migas asing untuk menjadi `tukang cangkul' pengembangan industri
migas Indonesia karena mereka punya kekuatan finansial dan teknologi yang
kuat serta keleluasaan untuk membagi risiko di antara portofolio investasi
mereka yang tersebar di seluruh dunia.
Di sisi lain, peningkatan produksi
migas di Indonesia sudah bergerak ke wilayah yang sulit sehingga risikonya
meningkat baik secara teknis maupun secara komersial, jauh di atas
ladang-ladang migas di Timur Tengah, Amerika Latin, dan Australia.
Kebijakan itulah yang diambil pemerintah untuk
mengembangkan lapangan-lapangan migas guna memasok pasokan energi domestik
sekaligus sebagai sumber penerimaan negara. BP Migas hanya berfungsi sebagai
mandor untuk mengawasi dan mengendalikan kontrak kerja sama berdasarkan
kebijakan pemerintah. Kalau kebijakan tersebut proasing, seharusnya
kebijakannya yang disempurnakan tanpa harus menggusur `mandornya'.
Berdampak Produksi
Walaupun di tahun-tahun terakhir ini perekonomian nasional
membukukan pertumbuhan yang relatif tinggi di atas 6% per tahun, pada masa
mendatang perekonomian nasional akan mengalami tantangan besar, seperti
munculnya gejala defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan, masalah
perburuhan, minimnya infrastruktur (termasuk infrastruktur di sektor energi),
dan tingginya biaya birokrasi perizinan.
Tahun 2012 ialah tahun pertama Indonesia mengalami defisit
neraca perdagangan di sektor minyak dan gas karena nilai ekspor gas lebih
rendah daripada impor minyak bumi dan BBM. Angka defisit itu tampaknya akan
semakin membengkak pada tahun-tahun mendatang karena volume impor minyak dan
BBM akan semakin meningkat. Mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama
Indonesia harus juga mengimpor gas/LNG un mengimpor gas/LNG untuk menopang
pertumbuhan ekonomi nasional.
Tanpa hiruk-pikuk pembubaran BP Migas, Indonesia sedang
mengalami tantangan berat dalam pengadaan pasokan minyak dan gas untuk
menjaga ketahanan energi nasional sekaligus menopang pertumbuhan ekonomi
nasional. Bila dilihat dari temuan cadangan baru minyak bumi dalam 20 tahun
terakhir, sulit untuk mengerem laju penurunan produksi minyak. Dengan
prediksi produksi minyak sebesar 860 ribu barel per hari pada 2013 dapat
diperkirakan, produksi minyak Indonesia kecil kemungkinan untuk kembali ke
level 1 juta barel per hari pada 2014, walaupun Blok Cepu beroperasi maksimal
pada tahun tersebut.
Percepatan pengurasan sumur minyak existing melalui metode
oil enhanced recovery masih
memerlukan kajian dan perencanaan yang rinci dan memakan waktu. Jika dikombinasikan
dengan upaya pengaktifan kembali sumur sumur tua ladang minyak, kombinasi
usaha tersebut hanya akan memberikan perlambatan laju penurunan produksi.
Beban Tambahan
Dengan melihat rencana pengembangan lapangan ke depan,
Wood Mackenzie bahkan memperkirakan produksi minyak Indonesia akan jatuh ke
level 400 ribu barel per hari pada 2020. Investor migas asing yang khawatir
terhadap jaminan kekuatan hukum pascabubarnya BP Migas akan menambah runyam
ritme investasi bisnis hulu migas khususnya kegiatan eksplorasi. Keprihatinan
juga melanda pasokan gas untuk keperluan domestik. Walaupun mendiang BP Migas
selama hidupnya sudah berusaha maksimal, mengalokasikan sebesar 20 triliun
kaki kubik (trillion cubic feet/TCF), setara dengan 3,4 miliar barel minyak,
dalam kontrak jual beli gas domestik ternyata alokasi tersebut belum memadai.
Sejak kenaikan harga minyak yang menjulang (mencapai
US$140 per barel) pada 2008, Indonesia mengalami ledakan permintaan ledakan
permintaan gas, konsumen BBM berbondong bondong ingin beralih ke gas dalam
waktu yang singkat. Di sisi lain, pengembangan lapang an gas memerlukan waktu
710 tahun sehingga terjadilah defisit pasokan gas di beberapa wilayah di
Indonesia. Saat ini shortage
pasokan gas untuk domestik diperkirakan sekitar 1.500 juta kaki kubik per
hari (mmscfd) atau setara dengan 255 ribu barel setara minyak per hari, dan
sejalan dengan laju permintaan gas yang didorong pertumbuhan ekonomi serta
menurunnya pasokan gas existing.
Maka, gap antara suplai dan permintaan gas akan semakin melebar, mengancam
pertumbuhan sektor industri dan kesinambungan pasokan energi primer untuk
pembangkitan listrik.
Dari gambaran Neraca Gas Nasional yang dibuat Ditjen
Migas, gap antara permintaan dan suplai gas dari lapangan existing akan
melebar ke level 3.500 mmscfd pada 2015 dan bertambah lebar lagi menjadi
4.200 mmscfd (sama dengan 700 ribu barel setara minyak per hari) pada 2020.
Sebelum bubarnya BP Migas, Indonesia optimistis dapat
memacu produksi gas nasional melalui beberapa proyek pengembangan gas yang
sangat ambisius, seperti Proyek Masela, Proyek Gas Laut Dalam di Selat
Makasar, Tangguh Train-3, Proyek CBM, dan Proyek Natuna Timur, yang
diperkirakan on-stream secara bertahap mulai 2015.
Di luar Proyek Natuna, proyek-proyek pengembangan lapangan
gas tersebut diharapkan memberikan tambah an pasokan gas yang memadai untuk
memenuhi ekspektasi pertumbuhan permintaan domestik dan mengompensasi
penurunan gas existing, dengan ekspektasi tambahan produksi sekitar 1.100
mmscfd pada 2015 dan meningkat menjadi 3.400 mmcfd (sama dengan 590 ribu
barel setara minyak per hari) pada 2020.
Namun, seiring dengan kekhawatiran investor migas asing
terhadap jaminan kepastian hukum di Indonesia, apakah proyek-proyek gas yang
ambisius tersebut dapat diim plementasikan tepat waktu sesuai dengan rencana
semula?
Proyek-proyek gas besar tersebut merupakan proyek
pengembangan gas yang sarat risiko baik teknis maupun ekonomis, dengan
rentang biaya investasi di kisaran US$8 miliarUS$12 miliar per proyek. Tidak
berlebihan jika investor migas asing perlu memperoleh jaminan kepastian hukum
atas investasi yang akan mereka tanamkan di Indonesia.
Apalagi dalam pembubaran BP Migas pemohon juga memberikan
nuansa sentimen antiinvestor asing. Jika proyekproyek tersebut tertunda satu
tahun saja, karena investor harus mempertimbangkan risiko jaminan kepastian
hukum, konsumen gas Indonesia akan menambah ongkos pengeluaran energinya
sekitar US$12,5 miliar pada periode 2016-2020. Sebab, mereka harus
menggunakan BBM dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga gas.
Penundaan proyek-proyek tersebut juga akan menaikkan
volume impor BBM secara signifikan sehingga bakal lebih membebani ekonomi
makro Indonesia, khususnya dalam mengendalikan defisit neraca perdagangan.
Beban
pemerintah atas pembubaran BP Migas tidak berakhir dengan pembentukan SK
Migas. Pemerintah bersamasama DPR perlu secepatnya merevisi UU Migas,
membentuk badan permanen pengelola bisnis hulu migas, guna mengembalikan `trust' yang memudar dari para
investor migas sekaligus menyempurnakan bagian-bagian yang kurang sempurna
dari perjalanan masa lalu. Sebenarnya penyempurnaan UU Migas Tahun 2001
bukanlah masalah yang sulit, tetapi dalam prosesnya sudah telanjur menjadi
rumit setelah pembubaran BP Migas. Hiruk-pikuk tersebut berimplikasi terhadap
kepastian hukum dalam menjalankan bisnis hulu migas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar