Jaminan
Pekerja Sosial
Razali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS-RI
|
REPUBLIKA,
18 Desember 2012
Laporan Bank Dunia
(2010) tentang Ketenagakerjaan di Indonesia, antara lain, menyebutkan
berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi bangsa ini. Di antara
permasalahan itu adalah pertumbuhan ekonomi yang belum berdampak pada
kesejahteraan pekerja, regulasi yang belum memberikan perlindungan terhadap
pekerja, dan pembangunan ketenagakerjaan yang belum berdimensi masa depan.
Inti persoalan dari
laporan itu adalah bahwa pekerja di Indonesia berada dalam kondisi rentan.
Tidak hanya terjadi akibat tekanan ekonomi, seperti pemutusan hubungan kerja
(PHK), tapi kerentanan itu juga akibat faktor non ekonomi, seperti kecelakaan
kerja, sakit, persalinan, cacat, dan pensiun. Jaminan sosial Maka, untuk
mengatasi kerentanan pekerja terjerembab dalam kubangan kemiskinan dan
ketidakberdayaan, pemerintah akan melaksanakan sistem jaminan sosial nasional
(SJSN), yang akan diberlakukan mulai tahun 2014.
Adapun, kepesertaan SJSN bersifat wajib bagi seluruh warga negara, pegawai
negeri sipil (PNS), TNIPolri, pejabat negara, pekerja swasta, pekerja
informal, dan penduduk tidak mampu.
Secara faktual,
keberadaan jaminan sosial tidak hanya berfungsi sebagai jaring pengaman dalam
menghadapi ketidakpastian (uncertainty) akibat dampak krisis, PHK, dan
kecelakaan kerja. Jaminan sosial juga dapat mendorong masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya ke taraf yang lebih tinggi
(UNDP, 2005). Pengalaman krisis 1997, misalnya, menunjukkan bahwa tanpa
jaminan sosial kehidupan anakanak dari keluarga pekerja menjadi rentan.
Mereka menghadapi persoalan serius terkait kelangsungan pendidikan dan pemeliharaan
kesehatan. Hal ini terjadi karena pola konsumsi masyarakat berubah yang
membuat proporsi terbesar dari penghasilannya itu untuk pengeluaran pangan
sehingga proporsi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan menciut.
Hasil Susenas 1998
menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk pangan membengkak dari 55,31
persen sebelum krisis menjadi 59,61 persen sesudah krisis. Sementara,
pengeluaran untuk pendidikan turun dari 1,71 persen menjadi 1,63 persen. Dan,
pengeluaran kesehatan turun dari 2,53 persen menjadi 2,16 persen. Celakanya,
meningkatnya pengeluaran untuk pangan bukan berarti kuantitas dan kualitas
pangan yang dikonsumsi meningkat, melainkan akibat harga pangan yang
meningkat.
Terhentinya pendidikan
anak karena absennya jaminan sosial untuk mengantisipasi krisis, terutama
mengancam kelompok remaja, karena mereka terpaksa bekerja untuk membantu
penghasilan keluarga. Hal ini terdeteksi dari turunnya partisipasi sekolah
pada kelompok usia 1315 tahun dari sebesar 77,3 persen se belum krisis
menjadi sebesar 75,8 persen sesudah krisis.
Kemampuan Mengiur
Namun, penyelenggaraan
SJSN mem butuhkan partisipasi pekerja berupa iuran untuk menjadi peserta. Hal
ini memang tidak mudah dilakukan karena tidak semua pekerja memiliki kemampuan
mengiur (membayar iuran), terutama pekerja miskin yang pendapatannya di bawah
garis kemiskinan. Berdasarkan data Sakernas Pebruari 2012 tentang besarnya
upah pekerja yang berusaha sendiri, sebagai buruh/karyawan, serta pekerja
bebas pertanian dan nonpertanian, diketahui bahwa hanya sekitar 56,33 persen
pendapatan dari pekerjaan utamanya berada di atas garis kemiskinan. Ini
berarti sekitar 43,67 persen pekerja berada di bawah garis kemiskinan dan
diperkirakan akan mengalami kesulitan mengiur.
Lebih jauh, hasil
Sakernas itu mengungkapkan bahwa menurut lapangan pekerjaan utama, pekerja di
sektor pertanian merupakan kelompok pekerja yang paling banyak berada di
bawah garis kemiskinan, yaitu sebesar 72,57 persen. Sementara, pekerja dengan
jam kerja kurang dari 15 jam seminggu merupakan yang terbanyak pekerja
miskinnya, yaitu sebesar 77 persen. Dan, pekerja tamatan SD ke bawah
terbanyak pekerja miskinnya, yakni sebesar 55,24 persen. Dengan
ketidakmampuan pekerja mengiur, apakah pekerja miskin akan terpinggirkan dari
kepesertaan SJSN?
Jika merujuk pada
Pasal 28H ayat 3 dan Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 maka tidak
cukup alasan bahwa mereka yang tak mampu mengiur tidak menjadi peserta
SJSN. Adapun, Pasal 28H ayat 3 mem berikan penjelasan bahwa setiap orang
ber hak atas jaminan sosial. Pasal 34 ayat 2 menjelaskan bahwa negara me
ngembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
mereka yang lemah dan tak mampu. Maka, keterlibatan pemerintah untuk
membantu pekerja miskin amat di perlukan agar seluruh penduduk menjadi
peserta SJSN. Sesuai dengan saran UNDP (2005), pemerintah di Negara-negara
berkembang perlu mengalokasikan anggaran sebesar 20-25 persen untuk
penyelenggaraan jaminan sosial.
Bahkan, meski pekerja
di negara negara maju tidak tergolong miskin secara absolut namun pemerintah
di negara negara itu secara rutin mengalokasikan anggaran untuk jaminan
sosial sebesar 25 persen dari produk domestik brutonya (Barr, 2004). Lebih
jauh, Barr (2004) menyebutkan bahwa upaya peningkatan ekonomi untuk
membangun masyarakat yang maju tidak akan tercapai jika pemerintah gagal
dalam menyediakan jaminan sosial yang memadai.
Pendapat Barr (2004)
itu sekaligus mengisyaratkan bahwa untuk membangun masyarakat yang maju perlu
ada jaminan terhadap penduduk dalam berusaha dan bekerja dari ketidakpastian
selama mereka bekerja dan sesudah pensiun. Khusus setelah pensiun, jaminan
sosial sangat diperlukan karena bangsa Indonesia saat ini tengah menuju
proses penuaan penduduk (aging
population).
Diperkirakan, pada
2020 Indonesia mulai mengalami penuaan penduduk dengan persentase penduduk
usia 60 tahun ke atas sebesar 10,1 persen.
Bahkan, jaminan sosial pascapensiun kian diperlukan karena mereka rentan terpinggirkan akibat pergeseran sistem kekeluargaan dari keluarga besar (ex tended family) ke keluarga inti. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar