Rabu, 19 Desember 2012

Jaminan Pekerja Sosial


Jaminan Pekerja Sosial
Razali Ritonga ;  Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS-RI
REPUBLIKA, 18 Desember 2012


Laporan Bank Dunia (2010) tentang Ketenagakerjaan di Indonesia, antara lain, menyebutkan berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi bangsa ini. Di antara permasalahan itu adalah pertumbuhan ekonomi yang belum berdampak pada kesejahteraan pekerja, regulasi yang belum memberikan perlindungan terhadap pekerja, dan pembangunan ketenagakerjaan yang belum berdimensi masa depan. 
Inti persoalan dari laporan itu adalah bahwa pekerja di Indonesia berada dalam kondisi rentan. Tidak hanya terjadi akibat tekanan ekonomi, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), tapi kerentanan itu juga akibat faktor non ekonomi, seperti kecelakaan kerja, sakit, persalinan, cacat, dan pensiun. Jaminan sosial Maka, untuk mengatasi kerentanan pekerja terjerembab dalam kubangan kemiskinan dan ketidakberdayaan, pemerintah akan melaksanakan sistem jaminan sosial nasional (SJSN), yang akan diberlakukan mulai tahun 2014.

Adapun, kepesertaan SJSN bersifat wajib bagi seluruh warga negara, pegawai negeri sipil (PNS), TNIPolri, pejabat negara, pekerja swasta, pekerja informal, dan penduduk tidak mampu. 

Secara faktual, keberadaan jaminan sosial tidak hanya berfungsi sebagai jaring pengaman dalam menghadapi ketidakpastian (uncertainty) akibat dampak krisis, PHK, dan kecelakaan kerja. Jaminan sosial juga dapat mendorong masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya ke taraf yang lebih tinggi (UNDP, 2005). Pengalaman krisis 1997, misalnya, menunjukkan bahwa tanpa jaminan sosial kehidupan anakanak dari keluarga pekerja menjadi rentan. Mereka menghadapi persoalan serius terkait kelangsungan pendidikan dan pemeliharaan kesehatan. Hal ini terjadi karena pola konsumsi masyarakat berubah yang membuat proporsi terbesar dari penghasilannya itu untuk pengeluaran pangan sehingga proporsi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan menciut. 

Hasil Susenas 1998 menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk pangan membengkak dari 55,31 persen sebelum krisis menjadi 59,61 persen sesudah krisis. Sementara, pengeluaran untuk pendidikan turun dari 1,71 persen menjadi 1,63 persen. Dan, pengeluaran kesehatan turun dari 2,53 persen menjadi 2,16 persen. Celakanya, meningkatnya pengeluaran untuk pangan bukan berarti kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi meningkat, melainkan akibat harga pangan yang meningkat. 

Terhentinya pendidikan anak karena absennya jaminan sosial untuk mengantisipasi krisis, terutama mengancam kelompok remaja, karena mereka terpaksa bekerja untuk membantu penghasilan keluarga. Hal ini terdeteksi dari turunnya partisipasi sekolah pada kelompok usia 1315 tahun dari sebesar 77,3 persen se belum krisis menjadi sebesar 75,8 persen sesudah krisis. 

Kemampuan Mengiur

Namun, penyelenggaraan SJSN mem butuhkan partisipasi pekerja berupa iuran untuk menjadi peserta. Hal ini memang tidak mudah dilakukan karena tidak semua pekerja memiliki kemampuan mengiur (membayar iuran), terutama pekerja miskin yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data Sakernas Pebruari 2012 tentang besarnya upah pekerja yang berusaha sendiri, sebagai buruh/karyawan, serta pekerja bebas pertanian dan nonpertanian, diketahui bahwa hanya sekitar 56,33 persen pendapatan dari pekerjaan utamanya berada di atas garis kemiskinan. Ini berarti sekitar 43,67 persen pekerja berada di bawah garis kemiskinan dan diperkirakan akan mengalami kesulitan mengiur. 

Lebih jauh, hasil Sakernas itu mengungkapkan bahwa menurut lapangan pekerjaan utama, pekerja di sektor pertanian merupakan kelompok pekerja yang paling banyak berada di bawah garis kemiskinan, yaitu sebesar 72,57 persen. Sementara, pekerja dengan jam kerja kurang dari 15 jam seminggu merupakan yang terbanyak pekerja miskinnya, yaitu sebesar 77 persen. Dan, pekerja tamatan SD ke bawah terbanyak pekerja miskinnya, yakni sebesar 55,24 persen.  Dengan ketidakmampuan pekerja mengiur, apakah pekerja miskin akan terpinggirkan dari kepesertaan SJSN? 

Jika merujuk pada Pasal 28H ayat 3 dan Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 maka tidak cukup alasan bahwa mereka yang tak mampu mengiur tidak menjadi peserta SJSN. Adapun, Pasal 28H ayat 3 mem berikan penjelasan bahwa setiap orang ber hak atas jaminan sosial. Pasal 34 ayat 2 menjelaskan bahwa negara me ngembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan mereka yang lemah dan tak mampu. Maka, keterlibatan pemerintah untuk membantu pekerja miskin amat di perlukan agar seluruh penduduk menjadi peserta SJSN. Sesuai dengan saran UNDP (2005), pemerintah di Negara-negara berkembang perlu mengalokasikan anggaran sebesar 20-25 persen untuk penyelenggaraan jaminan sosial.

Bahkan, meski pekerja di negara negara maju tidak tergolong miskin secara absolut namun pemerintah di negara negara itu secara rutin mengalokasikan anggaran untuk jaminan sosial sebesar 25 persen dari produk domestik brutonya (Barr, 2004). Lebih jauh, Barr (2004) menyebutkan bahwa upaya peningkatan ekonomi untuk membangun masyarakat yang maju tidak akan tercapai jika pemerintah gagal dalam menyediakan jaminan sosial yang memadai.

Pendapat Barr (2004) itu sekaligus mengisyaratkan bahwa untuk membangun masyarakat yang maju perlu ada jaminan terhadap penduduk dalam berusaha dan bekerja dari ketidakpastian selama mereka bekerja dan sesudah pensiun. Khusus setelah pensiun, jaminan sosial sangat diperlukan karena bangsa Indonesia saat ini tengah menuju proses penuaan penduduk (aging population). 

Diperkirakan, pada 2020 Indonesia mulai mengalami penuaan penduduk dengan persentase penduduk usia 60 tahun ke atas sebesar 10,1 persen.
Bahkan, jaminan sosial pascapensiun kian diperlukan karena mereka rentan terpinggirkan akibat pergeseran sistem kekeluargaan dari keluarga besar (ex tended family) ke keluarga inti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar