Kamis, 20 Desember 2012

Bersiaga di Kala Jeda


Laporan Akhir Tahun tentang Bencana Geologi
Bersiaga di Kala Jeda
KOMPAS, 20 Desember 2012



Sepanjang 2012 adalah tahun tenang bagi bumi Nusantara yang retas. Tak ada gempa mematikan seperti yang melanda Aceh 2004, Nias 2005, Yogyakarta 2006, atau Mentawai 2010. Gunung-gunung api pun lebih banyak bertapa.
Setelah rentetan bencana geologi, bumi Nusantara seperti memberi kesempatan untuk menyiapkan diri terhadap hantaman besar yang barangkali menanti. Sebagai negeri yang berada di jalur Cincin Api Pasifik, Nusantara berada di zona kegempaan teraktif di dunia. Jalur ini menjadi rumah bagi 90 persen gempa di bumi dan 81 persen di antaranya yang terkuat. Di zona ini pula gunung-gunung api teraktif bermunculan.
Frekuensi bencana geologi (gempa bumi, gunung meletus, dan tanah longsor) memang hanya menyumbang 3 persen dari kejadian bencana di Indonesia, tetapi korban meninggal ataupun hilang yang diakibatkannya mencapai 87 persen dari total korban bencana di Indonesia.
Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI), selama tahun 1815-2011 terdapat 11.910 kejadian bencana yang menyebabkan 329.585 jiwa meninggal dan hilang, serta lebih dari 15,8 juta jiwa mengungsi. Dari jumlah tersebut, sekitar 77 persen adalah bencana hidrometeorologi, 3 persen bencana geologi, serta sisanya bencana karena ulah manusia dan biologi.
Lemahnya Mitigasi
Walaupun tak ada petaka geologi yang mematikan, sepanjang tahun ini terjadi dua gempa bumi yang patut diberi catatan dengan tinta merah.
Gempa pertama terjadi di ujung barat Nusantara pada Rabu, 11 April 2012. Gempa ini berpusat di sekitar Pulau Simeulue, berkekuatan 8,5 skala Richter dan 8,8 SR. Kedua gempa beriringan ini muncul di lempeng (samudra) Indo-Australia, di luar zona subduksi. Di Sumatera, gempa di luar subduksi jarang terjadi sehingga karakternya tak banyak diketahui.
Minimnya pengetahuan sempat membuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) salah membaca pertanda. Sesaat setelah gempa, BMKG mengumumkan peringatan tsunami sehingga memicu gelombang pengungsian di sepanjang pantai barat Sumatera.
Di Padang, warga berlomba memacu sepeda motor atau mobil menuju perbukitan. Dengan segera kemacetan terjadi di jalanan sekitar pantai. Padahal, berdasarkan simulasi, tsunami bisa menerjang Padang 29 menit setelah gempa. Adapun jangkauan air tsunami bisa mencapai 3 kilometer dari pantai.
Padang adalah kota yang dianggap paling siap menghadapi tsunami setelah sejumlah ahli berulang-ulang memberi peringatan tentang ancaman gempa besar dari subduksi Mentawai. Namun, sore itu, keteraturan seperti dalam simulasi yang kerap digelar sama sekali tidak terlihat. Bahkan, sebagian petugas penekan tombol sirene tanda bahaya ikut menyelamatkan diri.
Gempa itu juga memicu kepanikan di Banda Aceh, kota yang diluluhlantakkan tsunami 2004. Seperti di Padang, warga Banda Aceh bergegas menjauh dengan kendaraan bermotor sehingga menimbulkan kemacetan. Kecelakaan terjadi di mana-mana.
Enam sirene tsunami yang dipasang dengan biaya Rp 1,2 miliar per unit terlambat berbunyi, bahkan sebagian membisu. Warga berhamburan dengan bingung. Arus listrik yang padam setelah gempa menambah kekacauan.
Beberapa hari setelah kejadian itu, ahli gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, mengepalai tim kajian cepat untuk mengevaluasi sistem peringatan dini di Aceh dan Padang. Kesimpulannya membuat jeri: sistem peringatan dini tak bekerja. ”Jika gempa itu diikuti tsunami, Banda Aceh pasti habis. Korban tak akan kalah dengan tsunami 2004,” katanya.
Zona Gelap
Gempa berikutnya terjadi di Indonesia timur pada Senin, 10 Desember 2012. Gempa itu berkekuatan 7,4 SR, berpusat di perairan Maluku Tenggara. Tak ada tsunami yang terjadi, tak ada kepanikan.
Namun, bagi ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, gempa malam itu adalah penanda awal. ”Kami belum tahu persis siklus dan karakter kegempaan di kawasan timur Indonesia ini karena selama ini sangat jarang diteliti,” kata Widjo.
Menurut catatan dia, dalam 100 tahun terakhir, setidaknya terjadi 11 gempa bermagnitudo di atas 8 di sana, di antaranya tahun 1904 (magnitudo 8,4), tahun 1916 (8,1), tahun 1932 (8,3), tahun 1938 (8,6), tahun 1950 (8,1), tahun 1963 (8,2), tahun 1971 (8,1), dan tahun 1979 (8,1).
Selain keaktifan lempeng, yang juga harus diwaspadai adalah kondisi kontur di darat dan laut sangat curam yang memungkinkan longsor. Jika longsor terjadi di laut, bisa memicu tsunami besar. Longsor bawah laut diduga pernah terjadi di Laut Seram, September 1899. Gempa waktu itu berkekuatan 7,8 SR, tetapi memicu tsunami setinggi 12 meter. ”Kekuatan gempa segitu mestinya hanya berpotensi memicu tsunami maksimal 3 meter. Kuat dugaan saat itu terjadi longsor bawah laut,” ujarnya.
Masyarakat Seram mengenal gempa 1899 itu dengan sebutan ”Bahaya Seram”. Warga Negeri (Desa) Elpaputih, Seram Bagian Barat, Maluku, hingga kini masih merekam peristiwa itu sebagai hilangnya negeri mereka karena hantaman air laut. Diperkirakan lebih dari 3.000 orang tewas.
Naturalis Georg Everhard Rumphius juga mencatat gempa dahsyat disusul tsunami yang melanda Pulau Ambon dan Seram, 17 Februari 1674. ”Sejarah kegempaan di kawasan timur Indonesia ini seharusnya membuat kita memalingkan penelitian ke kawasan ini,” kata Widjo. ”Pemerintah juga harus serius menyiapkan kewaspadaan masyarakat di sana.”
Sayangnya, hingga saat ini, persiapan itu terlihat masih sangat minim. Bahkan, penelitian di sana pun sangat jarang. Kawasan timur Indonesia ibarat zona gelap gempa.
Berubah Karakter
Selain kewaspadaan terhadap gempa, perhatian lebih juga harus ditujukan pada gunung-gunung api di Indonesia, yang belakangan menunjukkan evolusi. Beberapa gunung api yang berubah karakternya adalah Lokon di Sulawesi Utara, Kelud di Jawa Timur, Merapi di Yogyakarta, dan Sinabung di Sumatera Utara.
Lokon, misalnya, dulu paling lama meletus dalam kurun seminggu, kemudian istirahat selama tiga hingga empat tahun. Namun, sejak Juli 2011, gunung ini terus meletus, tanpa jeda, Hingga Desember 2012, Lokon meletus lebih dari 800 kali. Sebaliknya, Kelud yang semula eksplosif dengan letusan freatik tiba-tiba menjadi efusif dan membentuk kubah lava. Sulit meramalkan bagaimana letusan gunung-gunung api ini ke depan.
Perubahan karakter gunung api ini menuntut perubahan strategi mitigasi bencana. Untuk melakukan mitigasi yang tepat, dibutuhkan penelitian intensif tentang kebumian.
Namun, dikepung gunung-gunung api yang hiperaktif dan telah berubah karakternya ini, diimpit zona kegempaan yang terus mengancam, penelitian tentang kebumian di negeri ini masih minim. Kita seharusnya malu, justru Singapura yang membentuk pusat penelitian tentang kebumian, Earth Observatory of Singapore. Padahal, laboratorium alamnya ada di Indonesia. (Ahmad Arif)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar