Gejala Amnesia
Pancasila
Ali Rif’an ; Kader Muda NU, Peneliti di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 12 Desember 2012
Ada gejala menghawatirkan di kalangan masyarakat saat ini:
Pancasila mulai pelan-pelan dilupakan. Di kalangan elite politik, misalnya,
gejala itu terlihat saat sila kelima Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” mulai tak lagi menjadi landasan perjuangan.
Pancasila sekadar tercantum dalam anggaran
dasar/anggaran rumah tangga. Para elite politik malah terjebak dalam
pragmatisme dan transaksionalisme politik yang buntutnya semakin membuat
rakyat sengsara.
Sementara itu, di ranah sosial,
menggeliatnya konflik komunal dan horizontal di berbagai daerah—mulai dari
Madura, Lampung, Poso, hingga Papua—menandakan bahwa nalar kebinekaan sudah
tak lagi terpatri dalam diri setiap individu masyarakat Indonesia. Hasil
survei CSIS dan LIPI barangkali bisa memperkuat argumen tersebut.
Berdasarkan hasil survei dua lembaga itu
disebutkan bahwa jumlah orang yang menganggap sah melakukan kekerasan atas
nama agama meningkat dari 9,8 persen pada 2005 menjadi 24 persen pada 2012.
Inilah ironi di tengah bangsa ini yang telah memiliki format kewarganegaraan
ideal sekaligus agung bernama Pacasila.
Format Ideal
Harus diakui, Pancasila merupakan format
ideal bangsa ini. Tanpa Pancasila sebagai falsafah hidup dan landasan dalam
kehidupan berbangsa, mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan
berdiri hari ini.
Tak pelak jika Pancasila kerap disebut
sebagai katalisator bagi masyarakat Indonesia yang penduduknya sangat
pelangi: beragam suku, bahasa, dan budaya. Dengan Pancasila, orang dari
Batak, Madura, Minang, Jawa, bisa duduk berdampingan.
Selain itu, Pancasila juga memiliki
nilai-nilai amat universal. Meski dibuat oleh orang Indonesia, tapi
nilai-nilai di dalamnya selalu relevan dalam konteks kekinian, kedisinian,
dan bahkan global. Yudi Latif pernah memberikan metafora menarik ihwal
Pancasila.
Ibarat pohoh, tulis Yudi Latif, Pancasila
itu mengakar kuat di bawah dan menjulang tinggi ke atas. Ke bawah artinya
nilai-nilai Pancasila memang mengakar pada bangsa Indonesia, sementara ke
atas artinya Pancasila juga bisa diterima—dan bisa juga mengambil—nilai-nilai
lain dari luar Indonesia.
Dosen Filsafat UI Rocky Gerung—saat
peluncuran buku Negara
Paripurna karya Yudi Latif—pernah mengatakan bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila sebenarnya diserap dari khazanah pengetahuan dan
nilai-nilai dari luar Indonesia. Artinya, Pancasila mencakup nilai-nilai yang
komplet karena ia merupakan rangkuman dari nilai-nilai Barat dan Timur.
Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
misalnya merupakan prinsip monoteisme yang merupakan ajaran agama Samawi
(nilai Timur)—yang tak pernah satu pun agama itu pernah turun di Indonesia.
Begitu halnya dengan nilai-nilai
kemanusiaan (humanisme), persatuan Indonesia (nasionalisme), permusyawaratan
(parlemen), dan keadilan sosial yang nilai-nilainya justru diserap dari
ideologi marxisme (Jemie Simatupang, 2011).
Ini artinya, para pendiri bangsa
ini—seperti Bung Karno, Hatta, dkk—adalah orang yang cerdas nan cerdik karena
memiliki pembacaan akan masa depan bangsa ini secara sempurna. Mereka sadar
betul bahwa agar sebuah ideologi bisa selalu berkembang dan tidak tertutup
dengan perubahan, ia harus memiliki pertalian dengan ideologi-ideologi lain.
Meski Pancasila mengadopsi—sebagian lain
menyebut sari pati—dari nilai-nilai agama, nasionalisme, sosialisme, dan
marxisme, tapi di dalamnya terpancar wajah Indonesia. Inilah letak hebatnya
Pancasila. Bahkan di kalangan masyarakat bawah (grassroot), inti Pancasila dimaknai
sebagai gotong royong sebagaimana telah ada di bumi Indonesia secara turun-temurun.
Inilah yang membuat banyak orang kerap
menyebut Pancasila adalah anugerah Tuhan untuk Indonesia. Pancasila memang
“cipratan” dari luar Indonesia, tapi ia telah menyatu dengan watak dan
karakter bangsa Indonesia.
Pancasila menjadi identitas, ideologi,
fasafah, serta “mantra adiluhung” dalam centang-prentang kehidupan berbangsa.
Dalam hal ini, Bung Karno pernah berkata, “Internasionalisme tidak dapat
hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme
tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya
internasionalisme.”
Kembali ke Pancasila
Karena itu, sudah saatnya bangsa ini
kembali ke Pancasila. Masyarakat Indonesia tidak boleh amnesia terhadap
Pancasila. Nilai Pancasila harus menjadi “batu pijak” dari setiap kebijakan
para elite politik. Ini artinya, setiap kebijakan harus “mengerami” terlebih
dahulu nilai-nilai Pancasila.
Kata “keadilan” yang merupakan nilai paling
menonjol dari esensi Pancasila haruslah menjadi acuan bagi setiap kebijakan
yang ada.
Begitu halnya “kesetaraan” yang menjadi
nilai adiluhung Pancasila harus terus dipegang erat bagi setiap individu
masyarakat. Nilai Pancasila mengharamkan adanya penistaan agama dan kelompok.
Nilai Pancasila jutru mengajak semua pihak—tanpa membedakan SARA—duduk
berdampingan saling mengisi dan gotong royong.
Itu karena Pancasila sejatinya adalah
konsensus yang menjamin semua warga memiliki kesamaan hak dan kewajiban
seraya tunduk pada rule of law
(supremasi hukum).
Dalam Pancasila tersirat pesan bawa warga
minoritas mendapatkan ruang untuk ikut berpartisipasi dalam pemecahan masalah
umum tanpa perlu takluk terhadap kebudayaan atau masyarakat dominan
(mayoritas).
Seperti kata John Rawls (Theory of Justice, 1994) bahwa posisi
warga adalah sama di dalam tatanan negara, itulah pesan penting dari
Pancasila.
Pancasila merupakan titik yang membuka
ruang eksklusivitas di mana setiap warga Indonesia memiliki hak untuk
berserikat, dilindungi, dan berekspresi. Karena itu, Pancasila harus terus
terpatri dalam momori, tingka laku, dan “mesu budi” bagi setiap diri individu
masyarakat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar