Kamis, 13 Desember 2012

Gejala Amnesia Pancasila


Gejala Amnesia Pancasila
Ali Rif’an ;  Kader Muda NU, Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SINAR HARAPAN, 12 Desember 2012


Ada gejala menghawatirkan di kalangan masyarakat saat ini: Pancasila mulai pelan-pelan dilupakan. Di kalangan elite politik, misalnya, gejala itu terlihat saat sila kelima Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mulai tak lagi menjadi landasan perjuangan.

Pancasila sekadar tercantum dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Para elite politik malah terjebak dalam pragmatisme dan transaksionalisme politik yang buntutnya semakin membuat rakyat sengsara.

Sementara itu, di ranah sosial, menggeliatnya konflik komunal dan horizontal di berbagai daerah—mulai dari Madura, Lampung, Poso, hingga Papua—menandakan bahwa nalar kebinekaan sudah tak lagi terpatri dalam diri setiap individu masyarakat Indonesia. Hasil survei CSIS dan LIPI barangkali bisa memperkuat argumen tersebut.

Berdasarkan hasil survei dua lembaga itu disebutkan bahwa jumlah orang yang menganggap sah melakukan kekerasan atas nama agama meningkat dari 9,8 persen pada 2005 menjadi 24 persen pada 2012. Inilah ironi di tengah bangsa ini yang telah memiliki format kewarganegaraan ideal sekaligus agung bernama Pacasila.

Format Ideal

Harus diakui, Pancasila merupakan format ideal bangsa ini. Tanpa Pancasila sebagai falsafah hidup dan landasan dalam kehidupan berbangsa, mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan berdiri hari ini.

Tak pelak jika Pancasila kerap disebut sebagai katalisator bagi masyarakat Indonesia yang penduduknya sangat pelangi: beragam suku, bahasa, dan budaya. Dengan Pancasila, orang dari Batak, Madura, Minang, Jawa, bisa duduk berdampingan.
Selain itu, Pancasila juga memiliki nilai-nilai amat universal. Meski dibuat oleh orang Indonesia, tapi nilai-nilai di dalamnya selalu relevan dalam konteks kekinian, kedisinian, dan bahkan global. Yudi Latif pernah memberikan metafora menarik ihwal Pancasila.

Ibarat pohoh, tulis Yudi Latif, Pancasila itu mengakar kuat di bawah dan menjulang tinggi ke atas. Ke bawah artinya nilai-nilai Pancasila memang mengakar pada bangsa Indonesia, sementara ke atas artinya Pancasila juga bisa diterima—dan bisa juga mengambil—nilai-nilai lain dari luar Indonesia.

Dosen Filsafat UI Rocky Gerung—saat peluncuran buku Negara Paripurna karya Yudi Latif—pernah mengatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebenarnya diserap dari khazanah pengetahuan dan nilai-nilai dari luar Indonesia. Artinya, Pancasila mencakup nilai-nilai yang komplet karena ia merupakan rangkuman dari nilai-nilai Barat dan Timur.

Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” misalnya merupakan prinsip monoteisme yang merupakan ajaran agama Samawi (nilai Timur)—yang tak pernah satu pun agama itu pernah turun di Indonesia.

Begitu halnya dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), persatuan Indonesia (nasionalisme), permusyawaratan (parlemen), dan keadilan sosial yang nilai-nilainya justru diserap dari ideologi marxisme (Jemie Simatupang, 2011).
Ini artinya, para pendiri bangsa ini—seperti Bung Karno, Hatta, dkk—adalah orang yang cerdas nan cerdik karena memiliki pembacaan akan masa depan bangsa ini secara sempurna. Mereka sadar betul bahwa agar sebuah ideologi bisa selalu berkembang dan tidak tertutup dengan perubahan, ia harus memiliki pertalian dengan ideologi-ideologi lain.

Meski Pancasila mengadopsi—sebagian lain menyebut sari pati—dari nilai-nilai agama, nasionalisme, sosialisme, dan marxisme, tapi di dalamnya terpancar wajah Indonesia. Inilah letak hebatnya Pancasila. Bahkan di kalangan masyarakat bawah (grassroot), inti Pancasila dimaknai sebagai gotong royong sebagaimana telah ada di bumi Indonesia secara turun-temurun.

Inilah yang membuat banyak orang kerap menyebut Pancasila adalah anugerah Tuhan untuk Indonesia. Pancasila memang “cipratan” dari luar Indonesia, tapi ia telah menyatu dengan watak dan karakter bangsa Indonesia.

Pancasila menjadi identitas, ideologi, fasafah, serta “mantra adiluhung” dalam centang-prentang kehidupan berbangsa. Dalam hal ini, Bung Karno pernah berkata, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.”

Kembali ke Pancasila

Karena itu, sudah saatnya bangsa ini kembali ke Pancasila. Masyarakat Indonesia tidak boleh amnesia terhadap Pancasila. Nilai Pancasila harus menjadi “batu pijak” dari setiap kebijakan para elite politik. Ini artinya, setiap kebijakan harus “mengerami” terlebih dahulu nilai-nilai Pancasila.

Kata “keadilan” yang merupakan nilai paling menonjol dari esensi Pancasila haruslah menjadi acuan bagi setiap kebijakan yang ada.

Begitu halnya “kesetaraan” yang menjadi nilai adiluhung Pancasila harus terus dipegang erat bagi setiap individu masyarakat. Nilai Pancasila mengharamkan adanya penistaan agama dan kelompok. Nilai Pancasila jutru mengajak semua pihak—tanpa membedakan SARA—duduk berdampingan saling mengisi dan gotong royong.

Itu karena Pancasila sejatinya adalah konsensus yang menjamin semua warga memiliki kesamaan hak dan kewajiban seraya tunduk pada rule of law (supremasi hukum).

Dalam Pancasila tersirat pesan bawa warga minoritas mendapatkan ruang untuk ikut berpartisipasi dalam pemecahan masalah umum tanpa perlu takluk terhadap kebudayaan atau masyarakat dominan (mayoritas).

Seperti kata John Rawls (Theory of Justice, 1994) bahwa posisi warga adalah sama di dalam tatanan negara, itulah pesan penting dari Pancasila.

Pancasila merupakan titik yang membuka ruang eksklusivitas di mana setiap warga Indonesia memiliki hak untuk berserikat, dilindungi, dan berekspresi. Karena itu, Pancasila harus terus terpatri dalam momori, tingka laku, dan “mesu budi” bagi setiap diri individu masyarakat Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar