Selasa, 18 Desember 2012

Kegaduhan Politik Membuat Rakyat Lelah


Laporan Akhir Tahun Bidang Politik dan Hukum
Kegaduhan Politik Membuat Rakyat Lelah
KOMPAS, 17 Desember 2012



Dua tahun setelah berkuasa, 1983, Presiden Perancis Francois Mitterrand (1916-1996) menyadari bahwa ekonomi negaranya terus menurun. Pemimpin Partai Sosialis itu pun berada di persimpangan jalan: mempertahankan kebijakan partai yang tetap dibiayai perusahaan negara sehingga menjadi beban negara atau menerapkan kebijakan austerity (pemangkasan anggaran negara) seperti kebijakan kelompok konservatif sebelumnya. Mitterrand pun berputar haluan, yakni mengutamakan kepentingan negara dan mengabaikan ideologi partainya.
Mitterrand yang memilih jalan negarawan bukanlah politisi kita. Perdebatan politisi-negarawan di Indonesia tak berujung sampai hari ini. Sepanjang 2012, panggung politik nasional lebih banyak mempertontonkan kisah kegaduhan politik yang berkelindan dengan hukum yang ruwet. Peran partai yang tulus bekerja untuk rakyat masih terus dipertanyakan. Kerja partai hampir bisa dipastikan selalu linier dengan pendulangan suara dalam pemilu. Bahkan, belum ditetapkan saja menjadi peserta Pemilu 2014, prosesnya sudah bikin gaduh ketika 18 partai politik yang gagal dalam verifikasi administrasi mesti diikutkan dalam verifikasi faktual.
Politisi kita memang tak seperti Mitterrand. Citra politisi bahkan makin terjungkal. Tidak saja karena lebih banyak mementingkan kelompok atau partainya, tetapi lebih parah lagi karena keterlibatan mereka dalam kasus-kasus korupsi. Walaupun sudah banyak yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi, rasanya para politisi tak juga kapok. Parahnya, ada anggapan, mereka yang ditangkap hanya karena kesialan.
Compang-Camping
Politisi DPR, yang merupakan elemen mendasar dalam demokrasi, memperlihatkan perilaku berpolitik yang compang-camping, baik dari sisi kinerja maupun etis. Setelah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, sepertinya kita tengah menghitung politisi yang antre masuk penjara. Politisi Demokrat, Angelina Sondakh, sedang diadili.
Proyek pengadaan Al Quran melibatkan anggota DPR asal Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar. Proyek pusat pelatihan olahraga di Hambalang, Bogor, bahkan menyeret tokoh penting Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, yang kemudian mundur sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga juga Sekretaris Dewan Pembina Demokrat. Kasus bail out Bank Century senilai Rp 6,7 triliun, yang disinyalir melibatkan petinggi negeri ini, masih menyandera politik kita.
Kisah mafia di DPR bukanlah kasak-kusuk. Ibarat ”buang angin”, sangat terasa, tetapi tak mudah dibuktikan. Dalam proyek Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, politisi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, telah divonis 6 tahun penjara. Kasus itu bahkan menyebut-nyebut sejumlah anggota Badan Anggaran DPR yang harus bolak-balik diperiksa KPK.
Belakangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan yang bernyanyi soal dugaan sejumlah anggota DPR pemeras BUMN. Masih belum selesai, Sekretaris Kabinet Dipo Alam juga menggelindingkan dugaan kongkalikong antara DPR dan tiga kementerian.
Kekuasaan dan uang harus diakui selalu berkelindan dalam politik kita. Memang, dalam tradisi utilitarian yang diinisiasi oleh filsuf Jeremy Bentham (1748-1832), uang menjadi alat ukur kemanfaatan. Konsep ini mengacu pada etika bahwa yang baik adalah yang berguna dan menguntungkan. Legitimasi pemerintah bergantung pada kesediaan untuk memaksimalkan kebahagiaan atau kepuasan. Namun, harus diingat, kebahagiaan yang dimaksud ini harusnya mencapai kepuasan publik.
Karut-marut itu juga mengakibatkan relasi eksekutif dan legislatif hampir tak pernah seiring. Bahkan, koalisi gabungan yang dibangun untuk mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono tidak pernah solid. Dalam kasus Bank Century dan rencana menaikkan harga bahan bakar minyak, koalisi gabungan itu jelas-jelas pecah. Partai Demokrat sepertinya kedodoran mengendalikan manuver anggota koalisi. Akibatnya, efektivitas Kabinet Indonesia Bersatu II yang dikenal tambun ini juga dipertanyakan.
Legislatif dan eksekutif juga tak sejalan dalam masalah pemekaran daerah. Walaupun jelas-jelas ada moratorium sejak 2009, nyatanya 12 daerah baru diputuskan untuk dibentuk tahun 2012. Padahal, berdasarkan evaluasi, mayoritas daerah hasil pemekaran berkinerja buruk, menjadi alat mainan elite daerah, dan jauh dari harapan untuk menyejahterakan rakyat. Belum ditambah begitu banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.
Tidak mengherankan jika rakyat merasakan ada kelelahan terhadap politik.
Kepenatan itu sangat terasa tatkala banyak masalah yang tidak terselesaikan tuntas: politik terlalu gaduh sepanjang tahun, hukum tampak bengkok ketika tajam ke bawah tetapi majal ke atas, keteladanan para pemimpin yang nyaris tak bersisa, tindakan amoral yang dominan, dan lembaga-lembaga formal tak berfungsi optimal. Bisa jadi situasi ”tak normal” ini mirip situasi anominya Emile Durkheim (1858-1917).
Dalam konteks inilah barangkali bisa ditelusuri betapa mudahnya publik marah dan mengambil tindakan sendiri- sendiri. Dalam pandangan positif, kemarahan publik bisa dilihat saat ramai-ramai berdiri di depan KPK setiap ada upaya untuk mengganggu atau mendelegitimasi lembaga itu.
Akan tetapi, kemarahan benar-benar destruktif tatkala tindakan sepihak massa yang secara masif memicu kekerasan dan konflik sosial saat rakyat merasa tersumbat. Kegaduhan politik inilah yang benar-benar membuat rakyat penat.  (M Subhan SD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar