Laporan Akhir
Tahun Bidang Politik dan Hukum
Kegaduhan
Politik Membuat Rakyat Lelah
|
KOMPAS,
17 Desember 2012
Dua tahun setelah
berkuasa, 1983, Presiden Perancis Francois Mitterrand (1916-1996) menyadari
bahwa ekonomi negaranya terus menurun. Pemimpin Partai Sosialis itu pun
berada di persimpangan jalan: mempertahankan kebijakan partai yang tetap
dibiayai perusahaan negara sehingga menjadi beban negara atau menerapkan
kebijakan austerity
Mitterrand
yang memilih jalan negarawan bukanlah politisi kita. Perdebatan politisi-negarawan
di Indonesia tak berujung sampai hari ini. Sepanjang 2012, panggung politik
nasional lebih banyak mempertontonkan kisah kegaduhan politik yang
berkelindan dengan hukum yang ruwet. Peran partai yang tulus bekerja untuk
rakyat masih terus dipertanyakan. Kerja partai hampir bisa dipastikan selalu
linier dengan pendulangan suara dalam pemilu. Bahkan, belum ditetapkan saja
menjadi peserta Pemilu 2014, prosesnya sudah bikin gaduh ketika 18 partai
politik yang gagal dalam verifikasi administrasi mesti diikutkan dalam
verifikasi faktual.
Politisi
kita memang tak seperti Mitterrand. Citra politisi bahkan makin terjungkal.
Tidak saja karena lebih banyak mementingkan kelompok atau partainya, tetapi
lebih parah lagi karena keterlibatan mereka dalam kasus-kasus korupsi.
Walaupun sudah banyak yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi, rasanya para
politisi tak juga kapok. Parahnya, ada anggapan, mereka yang ditangkap hanya
karena kesialan.
Politisi
DPR, yang merupakan elemen mendasar dalam demokrasi, memperlihatkan perilaku
berpolitik yang compang-camping, baik dari sisi kinerja maupun etis. Setelah
mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, sepertinya kita
tengah menghitung politisi yang antre masuk penjara. Politisi Demokrat,
Angelina Sondakh, sedang diadili.
Proyek
pengadaan Al Quran melibatkan anggota DPR asal Partai Golkar, Zulkarnaen
Djabar. Proyek pusat pelatihan olahraga di Hambalang, Bogor, bahkan menyeret
tokoh penting Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, yang kemudian mundur
sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga juga Sekretaris Dewan Pembina Demokrat.
Kasus bail out Bank Century senilai Rp 6,7 triliun, yang disinyalir
melibatkan petinggi negeri ini, masih menyandera politik kita.
Kisah
mafia di DPR bukanlah kasak-kusuk. Ibarat ”buang angin”, sangat terasa,
tetapi tak mudah dibuktikan. Dalam proyek Dana Penyesuaian Infrastruktur
Daerah, politisi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, telah divonis 6
tahun penjara. Kasus itu bahkan menyebut-nyebut sejumlah anggota Badan
Anggaran DPR yang harus bolak-balik diperiksa KPK.
Belakangan,
Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan yang bernyanyi soal dugaan
sejumlah anggota DPR pemeras BUMN. Masih belum selesai, Sekretaris Kabinet
Dipo Alam juga menggelindingkan dugaan kongkalikong antara DPR dan tiga
kementerian.
Kekuasaan
dan uang harus diakui selalu berkelindan dalam politik kita. Memang, dalam
tradisi utilitarian yang diinisiasi oleh filsuf Jeremy Bentham (1748-1832),
uang menjadi alat ukur kemanfaatan. Konsep ini mengacu pada etika bahwa yang
baik adalah yang berguna dan menguntungkan. Legitimasi pemerintah bergantung
pada kesediaan untuk memaksimalkan kebahagiaan atau kepuasan. Namun, harus
diingat, kebahagiaan yang dimaksud ini harusnya mencapai kepuasan publik.
Karut-marut
itu juga mengakibatkan relasi eksekutif dan legislatif hampir tak pernah
seiring. Bahkan, koalisi gabungan yang dibangun untuk mendukung pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono tidak pernah solid. Dalam kasus Bank
Century dan rencana menaikkan harga bahan bakar minyak, koalisi gabungan itu
jelas-jelas pecah. Partai Demokrat sepertinya kedodoran mengendalikan manuver
anggota koalisi. Akibatnya, efektivitas Kabinet Indonesia Bersatu II yang
dikenal tambun ini juga dipertanyakan.
Legislatif
dan eksekutif juga tak sejalan dalam masalah pemekaran daerah. Walaupun
jelas-jelas ada moratorium sejak 2009, nyatanya 12 daerah baru diputuskan
untuk dibentuk tahun 2012. Padahal, berdasarkan evaluasi, mayoritas daerah
hasil pemekaran berkinerja buruk, menjadi alat mainan elite daerah, dan jauh
dari harapan untuk menyejahterakan rakyat. Belum ditambah begitu banyak
kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.
Tidak
mengherankan jika rakyat merasakan ada kelelahan terhadap politik.
Kepenatan
itu sangat terasa tatkala banyak masalah yang tidak terselesaikan tuntas:
politik terlalu gaduh sepanjang tahun, hukum tampak bengkok ketika tajam ke
bawah tetapi majal ke atas, keteladanan para pemimpin yang nyaris tak
bersisa, tindakan amoral yang dominan, dan lembaga-lembaga formal tak
berfungsi optimal. Bisa jadi situasi ”tak normal” ini mirip situasi anominya
Emile Durkheim (1858-1917).
Dalam
konteks inilah barangkali bisa ditelusuri betapa mudahnya publik marah dan
mengambil tindakan sendiri- sendiri. Dalam pandangan positif, kemarahan
publik bisa dilihat saat ramai-ramai berdiri di depan KPK setiap ada upaya
untuk mengganggu atau mendelegitimasi lembaga itu.
Akan
tetapi, kemarahan benar-benar destruktif tatkala tindakan sepihak massa yang
secara masif memicu kekerasan dan konflik sosial saat rakyat merasa
tersumbat. Kegaduhan politik inilah yang benar-benar membuat rakyat penat. (M Subhan SD) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar