Laporan Akhir
Tahun Bidang Politik dan Hukum
Belajar
Mengelola Konflik Menemukan Jalan Keluar
|
KOMPAS,
17 Desember 2012
Indonesia terdiri dari
berbagai suku, budaya, agama, dan golongan. Solidaritas nasional berhasil
mengikat kemajemukan itu dalam bangunan berbentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi
memberi tanggung jawab kepada negara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia. Bagaimana tanggung jawab itu diemban?
Sebagai
negara hukum, semua kelompok—apa pun latar belakangnya—memiliki hak dan
kewajiban sama sebagai warga negara. Semboyan kita sungguh indah: Bhinneka
Tunggal Ika alias berbeda-beda, tetapi tetap satu.
Dasar,
bentuk, konstitusi, dan jargon negara Indonesia jelas mengakui dan menghargai
kemajemukan sebagai kekayaan bangsa. Modal itu diharapkan dikelola dengan
baik sehingga dapat mendorong terciptanya cita-cita bersama, yaitu masyarakat
yang sejahtera, cerdas, adil, dan makmur.
Namun,
konsep ideal itu masih sulit diwujudkan dalam kehidupan nyata. Setidaknya
demikian gambaran selama tahun 2012, yang diwarnai sejumlah gesekan sosial
berlatar belakang perbedaan suku, budaya, agama, dan golongan. Kita kaget
karena beberapa peristiwa itu menyuguhkan kekerasan, meluas, dan merenggut
nyawa warga.
Pada
Maret 2012, misalnya, meletus bentrokan di Abepura, Papua. Berawal dari
ketersinggungan satu orang, gesekan membesar menjadi kerusuhan massal.
Akibatnya, 4 orang cedera dan 3 rumah rusak.
Kejutan
paling menonjol adalah konflik antarwarga di Way Panji, Lampung Selatan,
Lampung, akhir Oktober 2012. Dipicu kesalahpahaman kabar pelecehan terhadap
perempuan, warga Desa Balinuraga—transmigran asal Bali—bertikai dengan warga
Desa Agom, kemudian merambat ke Desa Sidoreno. Sebanyak 14 orang tewas, 6
terluka, dan 166 rumah terbakar.
Saat
proses perdamaian di Way Panji belum kelar, awal November lalu, warga Kampung
Kusuma Dadi justru bertikai dengan warga Kampung Buyut di Kecamatan Bekri di
Kabupaten Lampung Tengah. Pemicunya adalah warga Bekri dianggap main hakim
sendiri dengan membakar pencuri sapi asal Kampung Buyut. Tak ada korban jiwa,
tetapi 41 rumah rusak.
Ada
juga sengketa lahan antarwarga desa, seperti di Nusa Tenggara Timur dan
Maluku. Konflik serupa terjadi antara warga dan perusahaan, seperti di Aceh
dan Papua. Daftar konflik sosial ini dapat diperpanjang lagi dengan pemicu
beragam, seperti soal identitas kelompok, harga diri, atau penguasaan sumber
daya alam.
Dalam
bangsa yang majemuk selalu ada kemungkinan retakan sosial yang memunculkan
gesekan. Masalah muncul ketika kita gagal mengelola gesekan itu untuk
mencegah kekerasan sekaligus menghasilkan kesepakatan bersama. Ini memicu
berbagai konflik selama ini.
Lalu,
kenapa kita tidak mampu mengelola konflik? Menurut sosiolog dari Universitas
Negeri Jakarta, Robertus Robet, dalam pengalaman Indonesia, konflik biasanya
hasil irisan dari berbagai soal: politik, ekonomi, hukum, etnis, dan budaya.
Setiap konflik memiliki karakter lokal yang kental.
Dari
sisi politik, penyelenggara pemerintahan nasional dan lokal terlalu sibuk
dengan diri sendiri sehingga abai menangani gejala- gejala gesekan sosial
sejak dini. Ketika konflik meletus, penanganannya terlambat. Dalam beberapa
kasus pemilihan umum kepala daerah, retakan sosial tersebut justru
dimanfaatkan untuk keuntungan politik.
Kesenjangan
ekonomi dengan pasar dikuasai pemodal yang hanya berorientasi keuntungan
menciptakan perasaan tidak adil bagi masyarakat yang terpinggirkan. Perasaan
tersebut kian mengeras ketika hukum tidak adil, bahkan terkesan memihak kaum
pemodal dan elite penguasa. Kondisi tersebut diperuncing oleh menguatnya
kantong-kantong primordial berdasarkan etnis, suku, atau ekonomi.
Ketika
semua arsiran masalah tersebut bertemu, hal-hal kecil saja sudah cukup
menyulut warga marah dan bertikai. Dari hanya melibatkan beberapa orang,
gesekan gampang melebar menjadi kerusuhan massal. Saat pranata sosial tidak
mampu mengatasinya, meletuplah konflik lebih besar.
Konflik
sosial harus serius diantisipasi sebelum mengguncang sendi-sendi bangunan
bangsa. Untuk itu, pertama-tama, kita mesti kembali merujuk pilar-pilar
kesepakatan para pendiri bangsa: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika. Semangat ini diterjemahkan oleh setiap komponen bangsa sesuai
dengan peran masing-masing.
Sebagai
penyelenggara negara, pemerintah dituntut untuk melindungi bangsa Indonesia
dan tumpah darah Indonesia. Tegakkan keadilan dalam hukum, ekonomi, dan
sosial. Hukum harus dijalankan secara konsisten dan tanpa pandang bulu.
Kembangkan
ekonomi secara merata sehingga semua kelompok masyarakat menikmati
pembangunan. Perkuat tatanan sosial yang membaurkan semua kelompok secara
sederajat. Cegah munculnya kelompok-kelompok yang hidup secara eksklusif.
Kita
juga perlu menghidupkan organ-organ sosial, seperti kaum adat, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau media. Semua itu dapat
diberdayakan untuk mengelola konflik dan menemukan jalan keluarnya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar