Selasa, 18 Desember 2012

Belajar Mengelola Konflik Menemukan Jalan Keluar


Laporan Akhir Tahun Bidang Politik dan Hukum
Belajar Mengelola Konflik Menemukan Jalan Keluar
KOMPAS, 17 Desember 2012



Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya, agama, dan golongan. Solidaritas nasional berhasil mengikat kemajemukan itu dalam bangunan berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi memberi tanggung jawab kepada negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Bagaimana tanggung jawab itu diemban?
Sebagai negara hukum, semua kelompok—apa pun latar belakangnya—memiliki hak dan kewajiban sama sebagai warga negara. Semboyan kita sungguh indah: Bhinneka Tunggal Ika alias berbeda-beda, tetapi tetap satu.
Dasar, bentuk, konstitusi, dan jargon negara Indonesia jelas mengakui dan menghargai kemajemukan sebagai kekayaan bangsa. Modal itu diharapkan dikelola dengan baik sehingga dapat mendorong terciptanya cita-cita bersama, yaitu masyarakat yang sejahtera, cerdas, adil, dan makmur.
Namun, konsep ideal itu masih sulit diwujudkan dalam kehidupan nyata. Setidaknya demikian gambaran selama tahun 2012, yang diwarnai sejumlah gesekan sosial berlatar belakang perbedaan suku, budaya, agama, dan golongan. Kita kaget karena beberapa peristiwa itu menyuguhkan kekerasan, meluas, dan merenggut nyawa warga.
Pada Maret 2012, misalnya, meletus bentrokan di Abepura, Papua. Berawal dari ketersinggungan satu orang, gesekan membesar menjadi kerusuhan massal. Akibatnya, 4 orang cedera dan 3 rumah rusak.
Kejutan paling menonjol adalah konflik antarwarga di Way Panji, Lampung Selatan, Lampung, akhir Oktober 2012. Dipicu kesalahpahaman kabar pelecehan terhadap perempuan, warga Desa Balinuraga—transmigran asal Bali—bertikai dengan warga Desa Agom, kemudian merambat ke Desa Sidoreno. Sebanyak 14 orang tewas, 6 terluka, dan 166 rumah terbakar.
Saat proses perdamaian di Way Panji belum kelar, awal November lalu, warga Kampung Kusuma Dadi justru bertikai dengan warga Kampung Buyut di Kecamatan Bekri di Kabupaten Lampung Tengah. Pemicunya adalah warga Bekri dianggap main hakim sendiri dengan membakar pencuri sapi asal Kampung Buyut. Tak ada korban jiwa, tetapi 41 rumah rusak.
Ada juga sengketa lahan antarwarga desa, seperti di Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Konflik serupa terjadi antara warga dan perusahaan, seperti di Aceh dan Papua. Daftar konflik sosial ini dapat diperpanjang lagi dengan pemicu beragam, seperti soal identitas kelompok, harga diri, atau penguasaan sumber daya alam.
Ketidakadilan
Dalam bangsa yang majemuk selalu ada kemungkinan retakan sosial yang memunculkan gesekan. Masalah muncul ketika kita gagal mengelola gesekan itu untuk mencegah kekerasan sekaligus menghasilkan kesepakatan bersama. Ini memicu berbagai konflik selama ini.
Lalu, kenapa kita tidak mampu mengelola konflik? Menurut sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, dalam pengalaman Indonesia, konflik biasanya hasil irisan dari berbagai soal: politik, ekonomi, hukum, etnis, dan budaya. Setiap konflik memiliki karakter lokal yang kental.
Dari sisi politik, penyelenggara pemerintahan nasional dan lokal terlalu sibuk dengan diri sendiri sehingga abai menangani gejala- gejala gesekan sosial sejak dini. Ketika konflik meletus, penanganannya terlambat. Dalam beberapa kasus pemilihan umum kepala daerah, retakan sosial tersebut justru dimanfaatkan untuk keuntungan politik.
Kesenjangan ekonomi dengan pasar dikuasai pemodal yang hanya berorientasi keuntungan menciptakan perasaan tidak adil bagi masyarakat yang terpinggirkan. Perasaan tersebut kian mengeras ketika hukum tidak adil, bahkan terkesan memihak kaum pemodal dan elite penguasa. Kondisi tersebut diperuncing oleh menguatnya kantong-kantong primordial berdasarkan etnis, suku, atau ekonomi.
Ketika semua arsiran masalah tersebut bertemu, hal-hal kecil saja sudah cukup menyulut warga marah dan bertikai. Dari hanya melibatkan beberapa orang, gesekan gampang melebar menjadi kerusuhan massal. Saat pranata sosial tidak mampu mengatasinya, meletuplah konflik lebih besar.
Konflik sosial harus serius diantisipasi sebelum mengguncang sendi-sendi bangunan bangsa. Untuk itu, pertama-tama, kita mesti kembali merujuk pilar-pilar kesepakatan para pendiri bangsa: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Semangat ini diterjemahkan oleh setiap komponen bangsa sesuai dengan peran masing-masing.
Sebagai penyelenggara negara, pemerintah dituntut untuk melindungi bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Tegakkan keadilan dalam hukum, ekonomi, dan sosial. Hukum harus dijalankan secara konsisten dan tanpa pandang bulu.
Kembangkan ekonomi secara merata sehingga semua kelompok masyarakat menikmati pembangunan. Perkuat tatanan sosial yang membaurkan semua kelompok secara sederajat. Cegah munculnya kelompok-kelompok yang hidup secara eksklusif.
Kita juga perlu menghidupkan organ-organ sosial, seperti kaum adat, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau media. Semua itu dapat diberdayakan untuk mengelola konflik dan menemukan jalan keluarnya. (Ilham Khoiri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar